Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, akhirnya keluarga kecil bahagia ini tiba ditempat tujuan.
Ketiganya turun, tak lupa Dina juga membantu Elfaris keluar dari mobil Jazz hitam yang dikemudian oleh Bisma suaminya.
"Yeee ahilnya sampai juga.." Elfaris bersorak riang. Nampaknya sangat senang sekali bocah tampan ini.
"Iya dong udah sampai. Yuk masuk? Kita temuin om Dicky dan temenin
bunda kasih kado ini buat om Dicky." Dina meraih lengan mungil Elfaris
lalu menuntunnya.
"Iya bunda. Ais pasti temenin." Elfaris mengangguk setuju tanpa ada
penolakan. Meski ia tidak terlalu akrab dengan Dicky, tapi Elfaris
berusaha menyenangkan sang bunda dengan mengikuti ajakannya.
Dina tersenyum. Ada kebanggaan tersendiri saat melihat raut wajah
serta senyum tulus dari jagoan kesayangannya ini. Poni hitam Elfaris
diusapnya pelan. Tangan mungil itu pun ia tuntun masuk kedalam rumah
mewah dihadapannya tempat Dicky tinggal.
"Ayah ayo yaah?" tiba-tiba Elfaris menolehkan pandangannya menatap
kearah Bisma. Mengajak sang ayah yang entah kenapa menjadi pendiam
seperti itu.
"I..iya sayang. Ini ayah juga mau masuk ko." ujar Bisma setuju. Raut
wajahnya berubah menjadi tersenyum. Ia berlari kecil menyusul Dina dan
Elfaris. Berjalan beriringan bersama istri dan jagoan kecilnya.
"Kerumah mamahnya siang aja ya? Aku mau main-main disini dulu sama
Dicky. Aku kangen sama dia." ujar Dina menatap wajah suaminya.
"Iya. Apapun yang mau kamu lakukan, lakukanlah. Aku gak akan mungkin
marah ko sayang. Sore juga gak papa kerumah mamahnya. Asal kamu seneng
itu udah kebahagiaan besar buat aku.." balas Bisma lembut. Dina
tersenyum, ada rasa bangga dan kagum akan sikap suaminya ini.
"Makasih. Maaf aku kalau sempat marah sama kamu. Aku ternyata salah.
Kamu itu benar-benar suami terbaik dan teradil yang pernah aku miliki.
Makasih Bisma, makasih suamiku.."
"Hihi iya istriku. Sama-sama. Kamu lucu deh, jadi gemes denger kamu ngomong kayak gitu.." Bisma sedikit terkekeh.
"Hehe abis kamu tuh baik banget. Aku beneran kagum sama kamu Bis,
nyesel banget aku udah marah-marah gak jelas dan cemburu sama kamu.
Padahal kamu begitu baiknya sama aku, aku benee.."
"Usstt udah ah, apapun akan aku lakukan selama itu positif dan bisa membuat istri aku senang. Aku pasti akan coba lakuin.
Kebahagiaan kamu, Franda, dan Elfaris. Itu adalah kebahagiaan
terbesar aku. Jadi jangan pernah berfikir macam-macam lagi ya? Aku tuh
sayang banget sama kamu Din. Sma halnya aku sayang sama Franda dan Ais.
Kalian sumber kebahagiaan terbesar aku." jelas Bisma. Ia menghentikan
langkahnya dan memandang wajah Dina serius penuh arti.
Dina tersenyum. Senyumannya begitu lebar, ada rasa haru bercampur
bahagia terlihat dari raut wajahnya. Tak lama satu kecupan pun ia
daratkan dipipi kiri Bisma. Mengecupnya sekilas namun penuh arti.
"Aku juga sayang kamu. Kebahagiaan aku sepenuhnya karna kamu. Aku
sayang kamu Bis.." ujarnya lagi-lagi mampu membuat Bisma terdiam dan
tersenyum.
Seukir senyum pun ikut Bisna sunggingkan dari bibir tipisnya. Ia
merangkul pundak Dina. Menarik pelan kepala Dina lalu mengecupnya. Bisma
tidak banyak bicara lagi. Ia segera melangkahkan kakinya karna tak mau
berlama-lama membuat Elfaris menunggu untuk segera masuk kedalam.
"Ko Ais dadi ingat bunda yah? Hmm coba bunda ada disini. Pasti akan lebih lame dan selu. Ais kangen bunda.." Elfaris membatin.
**
Rafael kini masih terlihat berbaring diatas tempat tidurnya. Kedua
kelopak mata sipitnya tiba-tiba ia buka. Pandangannya pun menyorot
menyapu isi ruangan kamarnya. Sosok Franda ia cari, namun perempuan
cantik itu tidak terlihat disana.
"Ndaa.." panggilnya terdengar sedikit parau.
Rafael beranjak. Ia memegang dadanya yang masih terasa sakit seraya melangkah mencari adik satu-satunya itu.
"Franda kemana? Ko dia gak ada disini?
Bukannya tadi Franda disini temenin aku?" fikir Rafael bingung.
Dengan kondisi yang belum terlalu stabil. Pria tampan bermata sipit
ini keluar dari kamarnya. Ia terus memanggil nama Franda adik
tercintanya yang entah saat ini ada dimana.
**
"Sshh... Duuh Biss, perut aku makin sakkit. Sshh.." terdengar desahan serta rintihan Franda dari dalam kamarnya.
Rasa sakit akibat kontraksi bayi didalam perutnya itu semakin lama
semakin terasa sakit. Franda terus berusaha menahan semuanya. Sesekali
ia mencengkram bajunya sendiri, meremas sprai serta kadang menggigit
bibir bawahnya menahan rasa yang teramat sangat sakit.
"Bbiss.. Aku gak kuat.. Sakiit Biss..." suaranya terdengar lirih.
Franda berusaha kuat menahan rasa sakit diperutnya itu. BB hitam
disampingnya kembali ia raih. Dengan tangan bergetar, Franda mencoba
menghubungi Bisma kembali. Mengiriminya pesan singkat saat nomor Bisma
masih saja berada diluar jangkauan.
"Biss kamu udah pernah janji sama aku.
Kamu ud ah janji akan temanin aku kalau aku melahirkan nanti.
Ssh, dan sekarang aku mau melahirkan Biss.
Anak kamu, mau lahir, kenapa kamu, gak ada disini?
Kamu bohong Bisma. Ka mu, bohoong sama aku. Hiks, kamu boh hoong
sshh.." Franda terus mencengkram sprai disampingnya. Rasa sakit itu
semakin lama semakin bertambah sakit. Dua sungai kecil itu pun ikut
mengalir seiring rintihan yang Franda keluarkan dari mulutnya.
Franda berusaha kembali mengirimi Bisma pesan. Ia tidak putus
semangat untu menghubungi suaminya itu. Kedua tangannya semakin bergetar
menahan rasa sakit. Ketikan-ketikan huruf yang disentuhnya seolah
menjadi sulit karna rasa sakit tak semakin sakit hingga sukit untuk
ditahannya.
"Sshhh sakiitt.. Sayang bunda mohon jangan sekarang. Bunda mohon naak..
Tunggu ayah datang dulu, bunda moh hoonn aww shhh!!" Franda
mencengkram perut buncitnya. Ia meremasnya kuat seiring rasa sakit yang
semakin kuat dirasakannya.
"Bis aku beneran udah gak sanggup Biss.
Aku gak kuat, sakit banget Bis, sakkiit.." Franda kemballi
mencengkram sprei disampingnya. Air matanya mengalir tanpa bisa
ditahannya lagi. Ia menangis. Rasa sakit pada hatinya rupanya lebih
sakit dari pada perutnya. Apalagi Bisma sama sekali tidak diketahui
keberadaannya. Menghubunginya saja begitu sulit dan teramat sulit.
"Shhh hiks.. Kamu jahaat. Kamu jahat Bis. Kamu udah bohongin aku.
Kamu jahat Bisma kamu jah haat hiks.." Franda menangis terisak. Hatinya
benar-benar dibuat hancur berkeping oleh Bisma akan ulahnya ini.
"Kalau sampai anak ini mati. Jangan pernah kamu salahin aku Bis!
Jangan pernah sedikitpun kamu salahin aku. Kamu pembohong Bisma. Kamu
pembo-hoong.. Shhh hiks.. Kamu pembohoong.." lirih Franda terkulai
lemas.
Darah segar pun mulai keluar dari dalam rahimnya. Cairan merah itu
mengalir membasahi betis putihnya. Franda tidak sanggup berkata apa-apa
lagi. Ia hanya mampu menangis dan menangis menahan itu semua. Melihat
darah segar sudah keluar rasanya tubuh Franda semakin dibuat lemas tak
bertenaga.
"Kamu lihat ini Bis? Kenapa kamu gak ada disini?
Kamu udah ingkarin janji kamu.
Kamu udah bohongin aku.
Sakit Biss.. Sakiittt!!" Franda semakin dibuat lemas tak berdaya. Ia
lebih memilih untuk diam karna yang diharapkannya sudah tidak mungkin
bisa berada disana.
"Astaga, FRANDA?"
Tiba-tiba bola mata Rafael melonjak kaget melihat apa yang terjadi
didalam kamar adiknya itu. Ia berlari cepat menghampiri Franda dan
melihat kondisi Franda yang sangat mengkhawatirkan.
"Nda kamu kenapa Nda?
Kenapa bisa kayak gini? Kamuu.. Kamu kenappaa?" Rafael berucap lirih
diselingi air mata. Dadanya semakin terasa sakit melihat kondisi
adiknya seperti ini.
"Ssh sakit Coh.. Ssakiit..
Bisma udah bohongin Ndaa. Shh sakiit Cooh.." suara Franda terdengar parau terisak.
Rafael menggeleng. Air matanya semakin deras membanjiri wajahnya.
Ini pertama kalinya ia melihat Franda menangis sampai seperti ini. Rasa
sesak dan sakit didadanya pun semakin terasa menyesak.
"Kita kerumah sakit sekarang. Kamu harus kuat Nda. Kamu harus
kuat.." tanpa menunggu lama, Rafael segera mengangkat tubuh Franda.
Membawanya keluar kamar untuk segera dilarikan kerumah sakit.
"Ya Tuhan aku mohon jangan sekarang..
Ijinkan aku menyelamatkan adikku dulu Tuhan..
Ijinkan aku menyelamatkan nyawanya. Aku mohon Tuhan.. Aku mohoon..."
batin Rafael. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti karna rasa sakit
dijantungnya kembali terasa.
Rafael menarik nafasnya panjang. Ia melihat wajah Franda yang
semakin melemah. Ia juga menatap perut besar Franda yang tengah
ditumbuhi calon keponakan keduanya.
"Ada dua nyawa yang harus aku selamatkan.
Kamu harus kuat Nda. Cocoh gak mau Nda kenapa-napa. Kamu harus kuat.
Cocoh janji akan secepatnya bawa kamu kerumah sakit. kamu dan keponakan
Cocoh harus selamat. kalian berdua harus selamat.."
Tanpa menunggu lama lagi, Rafael kembali meneruskan langkahnya. Ia
tidak menghiraukan rasa sakit didadanya. Rasa sakit itu seolah hilang
detik itu juga.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak Komentar, Nggak Kece :p