Sabtu, 15 Februari 2014

Diantara Tiga Cinta #Part 43



Wajah Rafael tampak semakin memucat. Keringat dingin keluar dari dahinya. Dadanya terasa sesak. Ia berdiri didepan pintu masuk rumah sakit. Berdiri dengan kedua kaki yang sudah tidak sanggup lagi ditahannya untuk tetap tegak. Dadanya semakin sakit, sakit bahkan sangat sakit.

"Dook..teer, to..loong.."

"BRUKK."

Tiba-tiba suara lemasnya tak terdengar, tubuhnya ambruk bersamaan dengan tubuh Franda yang tengah dibopongnya. Keduanya sama-sama jatuh dan tergeletak dilantai.

"Astaga! Dokteeer..!!" seorang perawat yang kebetulan lewat dan melihat kejadian didepan kedua bola matanya itu langsung berlari menghampiri Rafael juga Franda.

"S..sus, t..tolong.. Tolong a..dik, saya. Ssuus..teer.." Rafael berusaha menatap wajah perempuan berbaju serba putih yang menghampirinya. Dadanya semakin terasa sakit. Ia mencengkram kuat dada kekarnya itu. Hingga akhirnya suara parau dan lemahnya tidak terdengar lagi.

"Dokteeerr..!! Susteer!! Tolong.. Ada pasien yang butuh pertolongan.." dengan wajah paniknya sang suster berteriak. Ia meraih lengan kiri Rafael yang sudah terasa lemah denyut nadinya.

"Sssh.. Sak..kitt.. S..sakit Biss, sakiitt.." tiba-tiba Suster tersebut melirik Franda yang duduk lemas bersimbuh darah seraya memegangi perut buncitnya.

"Astaghfirullah.. Ada apa ini?" tak lama seorang dokter wanita berkacamata bening datang menghampiri Franda dan Rafael.

"S..saya tidak tahu pasti dok, t..tapi keduanya sangat butuh pertolongan.." sang suster berujar gugup.

"Yasudah. Kita bawa pasien secepatnya. Ini tidak bisa dibiarkan terus seperti ini. Ayo suster, cepat panggil siapapun untuk membantu mengangkat pasien."

"B..baik dok, s..saya permisi sebentar.." suster muda itu pun beranjak dan bergegas mencari pertolongan. Keadaan rumah sakit yang tengah sepi membuat kesulitan membawa masuk Franda maupun Rafael untuk ditangani.

Dokter cantik berkacamata bening itu mendekati Franda. Ia melihat tetesan darah segar yang ta hentinya mengalir dari betis Franda.

"S..sakit Biss.. Sakiitt.. Bisma sakiit.." Franda merintih parau seraya mencengkram perut besarnya. Rasa yang begitu sakit, hingga ia hanya bisa merintih menahan itu
semua. Nama Bisma pun terus dipanggilnya. Berharap kalau Bisma bisa datang dan menemeninya saat persalinan nanti seperti yang telah Bisma janjikan padanya.

"Sabar ya bu, sepertinya anda akan segera melahirkan. Tunggu sebentar.." Dokter muda itu berujar lembut, raut wajahnya sangat panik. Namun ia tetap berusaha tenang dengan situasi dan kondisi seperti ini.


Tak lama para petugas rumah sakit yang lain pun datang dan segera membantu Rafael untuk dibawa keruangan UGD. Sedangkan Franda dibawa keruang bersalin karna ia akan segera melahirkan.

"Nadinya ko gak berdenyut yah? Apa jangan-jangan pasien ini udah...?" tiba-tiba salah satu petugas rumah sakit yang membantu membawa Rafael keruang UGD tampak heran dan panik. Pergelangan kiri Rafael diraihnya dan dirasakan tidak ada lagi denyutan urat nadi disana.

Sementara itu..

Sepulang dari rumah Dicky sang adik. Dina dan Bisma juga Elfaris memang langsung mampir kerumah kedua orang tua Bisma. Wajah Dina tampak begitu ceria, ia bahkan sampai tak henti mengucapkan terimakasih karna Bisma sudah mau mengantarnya kerumah Dicky yang terletak didaerah Bandung.

"Dicky seneng banget aku datang tadi. Dia sampe ciumin pipi aku berkali-kali. Seneng aku lihat wajah dia Bis, dia beneran seneng lihat aku datang.." Dina duduk ditepi tempat tidurnya. Memandang Bisma tanpa henti dengan senyuman yang terus ia sunggingkan didepan suaminya.

Bisma ikut tersenyum. Ia mendekat dan duduk disamping Dina. Meraih puncak kepala Dina, lalu ditariknya hingga mudah ia jangkau untuk diberikan satu kecupan. "Sama-sama sayang. Kalau kamu seneng, aku juga lihatnya jadi seneng.." ujarnya begitu lembut.

Dina tersenyum. Ia melingkarkan kedua tangannya dipinggang Bisma lalu memeluknya erat dari samping.

"Aku kangen kebersamaan sama kamu. Kangen banget Bis.. Seneng akhirnya bisa berdua lagi kayak sekarang.." Dina membatin senang. Wajahnya ia tenggelamkan didada bidang Bisma. Menghirup dalam- dalam aroma parfum yang sangat disukainya itu.

"Tumben Dina jadi manja gini. Tapi jujur aku paling seneng kalau kamu udah bersikap kayak gini. Gak cemburuan lagi, lebih lembut dan manis.. Makin sayang sama kamu Nda.." Bisma membalas pelukan hangat Dina. Bibirnya tersenyum, entah ia sadar atau tidak kalau barusan ia memanggil Dina dengan sebutan Franda. Keduanya pun akhirnya terhanyut dalam posisi saling memeluk dan memberikan kenyamanan satu sama lain.





**
"Udah dong.. Masa nangis terus jagoan opa? Kan Aris baru sampai sayang. Masa mau langsung pulang, hem?" om Haris merapikan poni lurus Elfaris yang sedikit berkeringat. Bocah tampan itu digendongnya karna tak henti menangis sejak tadi.

"Hiks.. Tapi Ais mau pulang opaa. Ais mau pulang.. Ais mau pulang aja, Ais mau ketemu bunda. Ais mau bunda opaa. Hiks bundaa.." Elfaris terisak lirih. Kedua pipinya basah dengan air mata. Entah kenapa tiba- tiba ia menjadi menangis seperti ini. Meminta untuk pulang. Padahal beberapa menit yang lalu ia tidak bersikap seperti ini.

Tante Casma juga om Haris yang melihat cucunya seperti ini otomatis menjadi panik. Keduanya terus
berusaha membujuk dan meredakan tangisan Elfaris. Namun bukannya  berhenti menangis, bocah tampan justru malah semakin terisak.

"Hiks.. Ais mau pulaang.. Hiks opa antelin Ais pulang. Ais mau pulang aja opa, Ais mau pulang.. Hiks bundaa.." lirihnya menggeleng memohon agar segera diantar pulang ke Jakarta agar bisa bertemu dengan sang bunda.

Tante Casma beralih menggendong Elfaris. Wanita paruh baya itu memangku Elfaris diatas pangkuannya. Merasakan rasa sedih yang terjadi pada bocah tampan itu. Hatinya terasa sakit melihat Elfaris menangis tersedu seperti ini.

"Cepat panggil Bisma pah, suruh dia antar Aris pulang. Mamah tidak tega lihat dia nangis kayak gini. Kasihan dia. Pasti gak biasa jauh dari Franda. Panggil Bisma pah.." suruh tante Casma. Tangannya mengelus kening Elfaris dan mengusap kedua pipi cucu kesayangannya yang basah karna air mata.

"I..iya mah. Sebentar, papah panggil Bisma dulu." om Haris mengangguk setuju. Ia segera melangkah cepat keluar, mencari Bisma didalam kamarnya.

"Hiks.. Ais mau ketemu bunda.. Ais mau ketemu bunda aja oma, hiks.. Ais mau buundaa.." Elfaris menatap lirih wajah wanita paruh baya yang tengah memangkunya. Dadanya terasa sesak. Air matanya seolah tidak dapat dihentikannya, ia sepertinya bisa merasakan apa yang tengah terjadi pada Franda sang bunda.

Tante Casma mengangguk. Tiba-tiba saja setetes bulir bening air mata ikut keluar dari sudut matanya. Hatinya sangat sakit melihat cucunya menangis seperti ini. Selama ini yang diketahuinya Elfaris adalah sosok yang periang dan ceria, bukan justru cengeng seperti sekarang ini.

"Sebenarnya apa terjadi sama kamu nak.. Tidak biasanya Aris kayak gini? Kenapa juga hatiku merasa tidak nyaman, merasa gelisah dan takut. Apa yang sebenarnya tengah terjadi?" tante Casma membatin cemas. Ia mendekap tubuh Elfaris, memeluknya erat mencoba membuatnya tenang dan berhenti menangis.


Tak lama Bisma datang diikuti Dina dan om Haris dari belakang. Bisma sangat panik, ia bergegas menghampiri Elfaris, lalu meraih tubuh jagoan kecilnya itu.

"Ayaaah.. Ayaah.. Hiks, ayaah.." Elfaris menangis tersedu. Bisma mendekapnya. Mengusap punggung Elfaris, menenangkan bocah tampan itu.

"Husst.. Ais kenapa sayang? Ko nangis sih? Bukannya tadi Ais lagi main sama oma opa? Ko sekarang nangis, Ais kenapa hem?" Bisma menatap wajah Elfaris. Mengusap pipi Elfaris dan menghapus air mata jagoan kecilnya itu.

"Ais mau pulang yahh.. Ais mau pulang, Ais mau pulang aja. Ais mau pulaang.." pinta Elfaris menggeleng
lirih memandang sang ayah. Mata beningnya kembali berair dan mengeluarkan air mata.

"Iya nanti kita pulang. Kita pulang ya? Tapi gak sekarang. Besok pagi kita pulang. Sekarang Ais jangan nangis lagi, kan kita baru sampai. Masa mau langsung pulang, hem?" Bisma berujar dengan lembutnya.

Kepala Elfaris menggeleng. Air matanya kembali keluar. Rasanya begitu sakit mendengar sang ayah tidak mengabulkan keinginannya.

"Ais mau pulang yah.. Ais mau pulaang.." lirihnya sedikit memohon. Nada suaranya memelan, ia memang tidak berani melawan Bisma, namun keingiannya untuk pulang sangat kuat.

Tak lama Dina mendekat menghampiri Elfaris juga Bisma. Ia mengelus puncak kepala bocah tampan yang sangat disayanginya itu.

"Diluar gelap sayang, pulangnya besok aja yah? Sebentar lagi pasti mau turun hujan. Kalau kita tetap pulang, nanti takut terjadi apa-apa. Kita kan baru sampai. Katanya Ais mau naik kuda besok, ko mau pulang sih, hem?" Dina berujar lembut membujuk Elfaris.

Namun bocah tampan itu lagi-lagi menggeleng. Ia memalingkan wajahnya. Menyembunyikan rasa sedih dan kecewa karna tidak ada yang mau mengabulkan keinginannya. Elfaris menangis dipundak Bisma, memejamkan matanya seraya memanggil lirih sang bunda.

"Ais cuma mau ketemu bunda. Ais gamau disini, Ais juga gamau naik kuda. Ais mau pulang.. Ais cuma mau pulaang.. Om Laffa tolong Ais.. Jeput Ais oomm.." lirihnya terasa sesak didada. Air matanya terus keluar seiring isak tangis yang terdengar dari mulut mungilnya.

"Gak papa mah pah. Nanti juga gak nangis. Mungkin Ais keinget sama Franda. Dia kan emang gak terbiasa jauh dari bundanya. Nanti juga enggak ko, Bisma permisi dulu. Biar Ais sama Bisma aja. Ayo sayang?" Bisma beranjak keluar dari kamar kedua orang tuanya. Tubuh Elfaris tetap ia gendong. Dina
pun mengikuti langkahnya dari belakang.

"Ko perasaan mamah mendadak jadi tidak enak ya pah?" tante Casma memegang dadanya penuh kecemasan.

"Mungkin itu hanya perasaan mamah saja. Sudah, lebih baik kita istirahat saja. Mamah jangan terlalu banyak fikiran, nanti mamah bisa drop lagi." om Haris mengajak tante Casma agar duduk diatas tempat tidurnya. Beristirahat dan membuang semua fikiran buruk yang dapat mengganggu kesehatannya.

Tante Casma mengangguk mengiyakan. Meski hatinya masih terasa gundah, namun ia mencoba membuang perasaan gelisah tersebut jauh-jauh.

**
"Ayo buu, dorong lebih kuat. Ayoo anda pasti bisa, dorong bu. Dorong bayinya agar bisa segera keluar. Ayoo.."

"Eeenggh!! Eeeengg!!"

"Ayo dorong lebih kuat. Dorong bu.."

Franda malah berhenti mengejan. Sepertinya tenaganya sudah terkuras habis. Tubuhnya sangat lemas namun bayinya belum juga mau keluar. Air matanya justru yang terus keluar dari kedua sudut matanya.

"Lihat Biss.. Bayinya gak mau lahir. Anak kamu gak mau keluar.. Aku yakin dia nunggu kamu. Kamu kemana Bisma, kamu kemanna... Hiks, sakiit Biss, sakiit.."

Franda membatin lirih. Rasanya hati Franda lebih sakit dari semua rasa sakit yang kini dirasakannya. Bisma mengingkari janjinya. Bisma tidak menepati semua ucapannya. Itu yang membuat Franda sakit, bahkan sangat-sangat sakit.

"Biss.. Aku gak kuat. Aku bener- bener gak kuat.. Kamu jahat Bisma, kamu jahaaat... Eeeenggghh!!" Franda mencoba kembali mengejan disela isak tangisnya. Namun tetap saja, bayinya belum juga mau keluar. Apa mungkin bayi keduanya ini benar-benar menunggu kehadiran Bisma? Ayahnya yang memang sudah berjanji akan mendampingi dan menemani saat proses persalinan?
Ini sangat menyiksa Franda. Rasa sakit itu semakin lama dirasakannya, terlebih rasa sakit dihatinya lebih
teramat sakit dari semua ini.

"Hiks, ini yang aku takutkan Bis.. Dulu aku hampir mati saat melahirkan Elfaris. Aku hampir kehilangan nyawa aku. Bahkan nyawa Elfaris terancam hampir tidak bisa diselamatkan. Dan sekarang semuanya terulang. Aku takut Bisma aku takuut.."

Franda mencengkram sprei disamping kiri dan kanannya kuat. Bibirnya ia gigit menahan semua rasa sakit karna proses persalinannya.

"Kamu kejam! Kamu benar-benar kejam! Kamu ingkarin janji kamu. Kamu bohongin aku.
Kamu bilang mau temani aku saat persalinan kedua ini. Tapi kamu sekarang gak ada disini. Kamu kejam Bisma kamu jahaat.. Kamu cuma mau anak aja dari aku. Kamu gak pernah sungguh-sungguh cinta sama aku. Kamu hanya cinta sama Dina dan anak aku. Aku benci kamu Biss. Aku benar-benar benci kamu hiks.."

Suara lirih serta isak tangis Franda hampir saja tidak terdengar. Suara itu lambat laun melemah, hingga akhirnya Franda seolah pasrah dan tidak mau memperjuangkan kelahiran bayi keduanya. Ia pingsan, yah, dirinya tidak sadarkan diri seketika itu juga.

"Astaga. Bagaimana ini dokter? Pasien pingsan.." suara suster muda itu terdengar panik.


***
Malam kini mulai berlarut. Setelah berhasil menenangkan buah hatinya, dan membuat jagoan kecilnya itu tertidur pulas. Akhirnya Bisma pun bangkit dari atas tempat tidur Elfaris. Ia ketiduran saat menemani
Elfaris tadi. Bisma tersenyum. Ia memandang teduh wajah jagoan kecilnya yang sudah tertidur pulas. Satu kecupan pun didaratkannya tepat dikening Elfaris.

Bisma beranjak keluar dari kamar Elfaris. Ia berniat menemui Dina dikamar sebelah. Namun entah kenapa tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Langkahnya pun tertuju pada area dapur. Bisma menuruni anak tangga rumahnya satu persatu. Keadaannya sangat sunyi. Sepertinya semua penghuni rumah sudah tertidur pulas semua.


"BRAAAKKSSS!!!"


Tiba-tiba saja pintu utama rumahnya terbuka lebar seolah ada yang mendobraknya dari luar. Bisma yang melihatnya sampai tersentak kaget. Ia mendekati pintu rumahnya itu, melihat apa yang terjadi disana.

"Aneh.. Ko pintunya bisa tiba-tiba kebuka? Bukannya tadi udah dikunci?" pikirnya bingung.

Bisma terus melangkah. Tak lama hembusan angin kencang menerpa dirinya. Dedaunan kering berwarna kecoklatan masuk begitu banyak kedalam rumahnya. Rambutnya sendiri sampai tersibak akibat hembusan angin kencang tersebut.

"Kayaknya mau turun hujan deras lagi. Anginnya sampai sekencang ini." Bisma menutup sebagian wajahnya yang diterpa angin dari luar. Ia mencoba menutup pintu rumahnya yang terbuka lebar itu.

Namun tiba-tiba saja langkah Bisma terhenti. Ia tidak jadi menutup pintu rumahnya. Ia melihat sosok lelaki yang sangat dikenalinya. Sosok itu berdiri tepat didepan pintu rumah Bisma.

"R..Rafael? L..lo ngapain disini Raaf?" Bisma memekik heran tidak percaya.

Rafael mengangkat kepalanya. Kedua bola matanya menatap Bisma sangat tajam. Tangannya sampai mengepal seolah menahan rasa amarah. Matanya merah, wajahnya pucat pasi, pandangannya tertuju pada Bisma, Ia mendekat. Melangkahkan kakinya satu persatu mendekati Bisma.

"R..Raf, k..ko L..lo natap gue kayak gitu? L..lo kenapa? G..guee.." Bisma melangkah mundur. Ia tampak takut melihat tatapan Rafael. Bicaranya sampai terbata dan terus mundur perlahan.


"BAJ*NGAN!! Lo udah ingkarin janji lo! Lo udah sakitin adik gue! Lo ingkarin janji lo terhadap gue! Lo bilang lo gak akan pernah sakitin adik gue. Tapi ternyata...? ELO!!"

"BRUGGHH!!"

Dengan murka dan penuh amarahnya Rafael melayangkan satu bogem mentah tepat dibagian pelipis wajah Bisma. Tubuh Bisma sampai terdorong kuat dan tersungkur diatas lantai akibat pukulan tersebut.

"R..raf.. L..lo kenapa? K..kenapa lo pukul gue Raf? Ss..salah gue ap.."

"BRUGGHH!!"

Belum sempat Bisma meneruskan kalimatnya. Rafael sudah kembali menghantamnya. Ia melayangkan pukulannya tanpa ampun pada Bisma.

"BRENGS*K!! Harusnya lo MATI! Lo gak pantes dampingin adik gue! Lo lebih pantes MATI!!" Rafael
mencengkram baju Bisma. Menariknya dan memojokkannya pada dinding didekatnya.

"R..raf, sa..dar Raaf.. G..gue adik ipar lo.. G..gue a.."

"KREEKK!!"

Rafael mencekik leher Bisma kuat. Kalimat Bisma kembali terputus. Sakit, rasanya sangat begitu sakit cekikan yang dirasakannya akibat kemarahan Rafael yang ia sendiri tidak tahu karena apa.

"Lo harus mati! Lo harus bisa rasakan penderitaan demi penderitaan yang adik gue rasakan karna ulah
lo!
ELO harus mati! HARUS MATI BISMAA!!" Rafael semakin murka. Ia mencekik leher Bisma lebih kuat. Tubuh Bisma bahkan sampai terangkat hingga kedua kakinya tidak menapak dilantai.

"Raaf.. T..tolong lep..pas..in. S..sa..kit Raaf, ss..sakit.." Bisma berucap terbata. Ia sangat sulit untuk bernafas. Tangan kekar Rafael sulit untuk ditahannya saat mencekik lehernya.

"Enggak! Ini gak sebanding dengan yang adik gue rasakan. INI GAK SEBANDING dengan rasa sakit yang adik gue rasakan! Ini GAK SEBANDING!!" teriak Rafael semakin murka.


"Ayaah.."

Tiba-tiba Rafael dan Bisma mendengar suara anak kecil memanggil dengan nada yang begitu lembut.

Sosok Elfaris dilihat berdiri didekat anak tangga paling bawah. Sosok bocah tampan itu memanggil Bisma dan menatap pilu apa yang terjadi dihadapannya.

"Ayaaah.." Elfaris kembali memanggil Bisma. Ia berlari kecil menghampiri Bisma dan Rafael.

"A..aa..aaiss.." Bisma berucap terbata seraya menahan tangan Rafael yang melingkar dilehernya.

"Om.. Ko om Laffa sakitin ayah Ais? Om jangan sakitin ayah.. Om jangan sakitin ayah Ais om.. Jangan sakitin ayaah.." pinta Elfaris menatap Rafael dengan mata berkaca.

Lelaki bertubuh kekar itu seolah melemah. Amarahnya seakan sirna melihat malaikat kecil bermata bening itu.

"Ais sayang ayah.. Ais mohon om Laffa jangan sakitin ayah.. Ais mohon omm.. Jangan sakitin ayah.." pinta Elfaris sedikit terdengar lirih. Ia berdiri disamping Rafael, menatap penuh harap agar Rafael mau mengabulkan keinginannya.

"Ais mohoon..." Elfaris menyatukan kedua tangan mungilnya. Air matanya keluar dari sudut mata indahnya. Pipi cuaby itu kembali basah dengan air mata.

Rafael menggeleng. Kedua matanya berkaca melihat ketulusan dimata Elfaris. Sementara Bisma sendiri semakin kesulitan untuk bernafas karna tangan kekar Rafael masih melingkar kuat pada lehernya.


"Ayah banguun.. Ayah bangun.. Ayah kenapa.. Bangun yah, banguun.."


Tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang sangat familiar ditelinga Bisma. Dapat dirasakan juga sebuah tangan mungil yang mengguncang tubuhnya pelan.

"UHUKK!! UHUKK!!"

Tiba-tiba Bisma tersadar. Ia terbangun dari tidurnya. Ia menatap bingung sekelilingnya. Dirinya ikut ia pandang. Bahkan sosok bocah tampan dihadapannya ia pandang begitu bingung.

"Awww!!" Bisma merintih saat merasakan sakit dilehernya. Ia masih bingung apa yang tengah terjadi pada dirinya saat ini.

"Ayah dali tadi teliak-teliak telus. Ayah tidulnya gabisa diem. Ais dadi keganggu. Makanya Ais bangunin ayah.." suara polos itu terdengar dan keluar dari mulut Elfaris.

Bisma menatap lekat sosok jagoan kecilnya itu.

"Rafael? Ais? Kenapa gue bisa ada ditempat tidur? Bukannya tadi Rafaeel..?" Bisma tampak semakin dibuat bingung.

Elfaris berjalan menghampiri meja kecil disamping tempat tidurnya. Bocah tampan itu mengambil segelas air putih lalu disodorkannya pada sang ayah.

"Ayah mukin mimpi. Tadi Ais dengel ayah teliak magil nama Ais, tlus ayah juga cekik lehel ayah sendili. Ais enggak ngelti. Ayah minum dulu aja bial tenang.." ujarnya begitu polos namun sangatmengagumkan.

Bisma mengangguk. Ia meneguk air putih yang disodorkan Elfaris padanya.

"Makasih yah.." ujar Bisma pelan. Elfaris tersenyum lalu tiba-tiba saja ia naik keatas tempat tidurnya dan memeluk tubuh Bisma.

"Ais sayang ayah.. Ais sayang ayah.." ucapnya seraya menenggelamkan wajah tampannya didada bidang Bisma.

"Ya Allah.. Apa mungkin tadi itu sebuah mimpi buruk? Tapi rasanya seperti nyata. Bahkan leherku sampai begitu sakitnya hingga saat ini. Malaikat kecil ini yang juga sudah menolongku.. Ya Robb..
Bahagia sekali aku bisa memiliki malaikat seperti dia. Malaikat kecil yang sangat kusayangi dan kucintai. Ayah sayang Ais.. Maafin ayah kalau ayah sering buat Ais dan bunda nangis. Maafin ayah naak.." Bisma memejamkan matanya lirih. Ia mendekap tubuh Elfaris begitu eratnya seolah takut untuk kehilangan.

"Kalau seandainya tadi Elfaris tidak ada. Mungkin aku sudah tidak ada didunia ini lagi. Makasih Ais.. Makasih sayaang.. Kamu penyelamat ayah.." Bisma menangis. Ia mengecup puncak kepala Elfaris beberapa kali. Rasanya bercampur aduk antara takut, bahagia, sedih juga bingung tidak mengerti.





Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p