Rabu, 01 Januari 2014

Diantara Tiga Cinta #Part 35

"Pokoknya Ais mau pulang, Ais mau ketemu ayah sama bunda. Ais mau pulang yah.. Hiks ayah jemput Ais. Ais mau pulang.. Hiks"


"Iya iya, nanti ayah jemput. Udah dong jangan nangis, kan masih ada bunda Dina disana, oma sama opa juga. Ais jangan nangis terus, masa cuma ditinggal sebentar aja nangis? Anak ayah cengeng.."

"Tapi kan ayah bilang pelginya cuma sebental. Tlus nanti balik lagi, tapi Ais tuguin ayah lama. Ais bobo sendili. Ais gak mau. Ais mau pulang yah, Ais mau pulang.. Hiks.."

Elfaris langsung memberikan handphone yang dipegangnya pada Dina. Raut wajahnya sangat sedih dan takut. Ia memang tidak terbiasa jauh dari kedua orang tuanya. Terlebih jauh dari Franda. Bocah tampan itu pasti akan menangis jika jauh dari sang bunda.

"Hallo, Bis?"

"I..iya. Dina? Sayang mungkin aku gak akan bisa jemput. Kamu tolong tenangin Ais dulu yah? Kalau pun aku jemput bisa siang aku sampe disananya. Takutnya dia malah marah nanti. Tolong bujuk dia dulu ya sayang, tenangin Ais dulu. Aku gak bisa jemput kalau pagi-pagi gini.." ujar Bisma. Ia merubah posisinya menjadi duduk dipinggiran tempat tidurnya.

"Iya. Nanti aku usahain. Dari tadi aku juga udah coba bujuk, cuma agak susah. Maklumlah Ais kan masih kecil. Kamu gak perlu khawatir Bis. Aku udah telfon Dicky ko, dia yang nanti antar aku sama Ais pulang kesana. Kebetulan kuliahnya juga lagi kosong hari ini. Jadi aku minta tolong dia.." jelas Dina begitu lembut membuat Bisma dapat bernafas lega.

"Hufh, syukurlah sayang. Yaudah nanti kalau ada apa-apa hubungi aku lagi aja yah? Bilang sama Ais jangan nangis terus. Aku kurang suka kalau dia jadi anak cengeng kayak gitu. Bilang kalau Ais nangis terus ayah marah. Dia pasti takut nantinya, dan bakalan nurut. Bilang aja gitu sayang.."

"Hem, Iya. nanti aku coba. Yaudah, mau tenangin Ais dulu. Dia masih nangis tuh. Udah dulu yah? Bye.."

Dina langsung mengakhiri sambungan telponnya. Ia buru-buru menaruh handphonenya itu dan bergegas menghampiri Elfaris yang masih menangis terisak.

"Hiks, ayaah.. Hiks buunda.. Hiks, Ais mau pulang, hiks.. Ais pingin puulang.."

Suara isakan itu terus saja terdengar. Bibir Dina tersenyum, ia mendekat kearah Elfaris. Mengangkat dagu mungil bocah tampan yang tengah duduk menunduk itu.

"Ko nangis sayang? Kan masih ada bunda Dina disini? Tadi waktu ayah pergi Ais bilang gak akan nangis. Tapi ko sekarang malah nangis sih, hem?" Dina meraih kedua pipi Elfaris. Mengusapnya dengan lembut. Nada suaranya pun begitu halus terdengar.

"Hiks, tapi Ais kangen bunda.. Ais mau ketemu bunda bun.. Ais mau peluk bunda.." Elfaris memandang wajah Dina lirih.

Namun lagi-lagi Dina tersenyum menatap wajah polos bocah tampan itu. Ia menarik tubuh Elfaris kedalam pelukannya. Mendekapnya erat penuh kasih sayang. Sejenak isak tangis Elfaris pun terhenti. Ia merasakan sesuatu yang berbeda disana.

"Kalau Ais mau dipeluk bunda, Ais bilang aja sayang. Bunda akan peluk Ais. Bunda bisa gantiin pelukan bunda Franda buat Ais. Bunda juga kan bunda Ais. Bunda pasti akan berikan pelukan bunda buat Ais. Karna Ais anak bunda.
Ais itu anaknya bunda. Anak bunda Dina.." tiba-tiba saja dua sungai kecil keluar membasahi pipi putih Dina. Kalimat yang dikeluarkannya begitu tulus dari hati. Ia sampai meresapi kalimatnya sendiri.

Elfaris pun diam. Kedua lengan mungilnya ia lingkarkan dipinggang Dina. Bocah tampan itu menenggelamkan wajahnya didada Dina, merasakan kasih sayang Dina yang memang sangat tulus untuknya. Detak jantung Dina pun seolah begitu dekat seiring dengan detakan jantungnya yang terus berdegup berirama.

"Ya Allah.. Dia sekarang diam. Tangisannya berhenti. Dia benar-benar seperti anakku.. Aku gak sanggup kalau harus kehilangan Elfaris. Dia seperti darah dagingku sendiri.. Dia diam Ya Rob.. Dia sepertinya nyaman dengan pelukanku ini.." Dina membatin haru. Air matanya semakin bebas mengalir membasahi kedua pipinya. Apa yang dilihatnya kini seolah tidak dapat ia percayai. Terlebih sebelumnya tadi Elfaris sampai sulit untuk ditenangkan.

"Bunda seneng akhirnya Ais berhenti nangis. Tadi bunda panik banget. Bunda takut karna Ais nangis terus.
Jangan nangis lagi yah sayang? Ais kan udah besar. Masa masih nangis, hem?" Dina kembali membuka suara. Jemari lembutnya mengelus puncak kepala Elfaris. Wajah bocah tampan itu pun menoleh memandang wajahnya.

"Bunda nangis?" satu pertanyaan polos keluar dari mulutnya.

"E..enggak ko sayang. Bunda gak nangis. Bunda gak nangis tuh.." Dina langsung menghapus kedua pipinya yang sudah basah dengan air mata. Ia terpaksa berbohong karna memang tidak mau terlihat lemah didepan siapapun, termasuk Elfaris.

"Maafin Ais ya bun, gala-gala Ais bunda pasti jadi sedih. Ais janji gak nangis lagi deh. Ais kan udah ada bunda. Ais gak akan nangis lagi. Bunda udah peluk Ais tadi. Bunda juga udah buat Ais enggak takut. Jadi Ais gak akan nangis lagi bunda. Ais sayang bunda.." Elfaris kembali berhambur memeluk tubuh Dina. Ia berbicara dengan wajah polosnya. Hatinya yang tulus, dan sikapnya yang lucu membuat Dina semakin menyayangi bocah tampan ini.

Wajah Dina saeketika berbinar bahagia. Ia tidak menyangka kalau Elfaris akan berbicara seperti itu. Rasanya kebahagiaanya terasa cukup bila bisa mendapatkan kasih sayang utuh dari Elfaris. Apalagi kalau sampai bisa memilikinya secara utuh. Mungkin Dina adalah perempuan yang sangat bahagia dimuka bumi ini.

"Fran.. Aku sangat menyayangi anak kamu ini.. Aku ingin memilikinya Franda..
Andai kamu mau merelakan dia untukku.. Andai kamu mau memberikannya sepenuh hati untukku Fran.. Aku benar-benar sangat menyayangi dia. Aku gak mau kehilangan Dia.." Dina membatin lirih. Ia mendekap tubuh Elfaris dengan air mata kebahagiaan yang kembali mengalir dari pelupuk mata indahnya.





**
"Udah, gak perlu cemas gitu. Ais gak papa ko Nda. Dina bilang dia gak papa. Udah tenang malah sekarang, nanti sore dia pulang, Dicky adiknya Dina yang jemput mereka dan antar mereka kesini. Jangan cemas lagi yah? Fikiran kamu tuh gak boleh stres. Ingat sama ini Nda. Nanti bayinya takut kenapa-napa sayang.." Bisma berujar begitu lembut. Ia mencoba membuat Franda tenang karna saat mengetahui Elfaris menangis terus, Franda jadi ikut-ikutan panik dan cemas.

Bisma duduk disamping Franda. Ia menyentuh perut datar istrinya itu, wajahnya terlihat sangat tenang dan masih tersirat raut bahagianya.

"Bayinya gerak gak sayang? Kayaknya nanti Ais harus aku nasihatin dulu deh. Dia mau punya adik, tapi masih aja cengeng. Hihi lucu banget anak itu.." Bisma kini mulai asik sendiri. Ia seolah tidak mau berlarut memikirkan tangisan Elfaris tadi. Ia kini justru malah mengelus perut datar Franda. Memandangi penuh senyum tempat dimana calon bayi keduanya tengah tumbuh disana.

"Kamu kayaknya bener-bener sangat menginginkan anak ini Bis.." batin Franda menatap wajah Bisma yang masih asik mengelus perutnya.

"Cepat besar ya sayang.. Nanti kalau kamu udah lahir, kakak Ais pasti yang akan jagain. Ayah sama bunda juga. Pokoknya bakalan banyak yang jagain kamu. Cepat lahir sayang, ayah gak sabar nunggu kelahiran kamu.." Bisma mengecup lembut perut datar Franda. Tidak bisa dipungkiri kalau dia memang sangat menginginkan bayinya itu. Sejak dulu, bahkan kehadiran Elfaris saja sangat diinginkannya. Jadi tak heran kalau sikap Bisma sampai seperti ini saat mengetahui tentang kehamilan Franda.

"Ya Tuhan Bis, Baru kali ini aku ngerasain belaian lembut tangan kamu diperut aku. Baru kali ini juga aku ngerasain kecupan-kecupan dari bibir kamu diperut aku. Sedangkan saat aku hamil Ais dulu, aku gak sedikitpun bisa rasain semua itu. Enggak Bis.." Franda membatin haru. Kedua bola matanya sampai berkaca menyaksikan sesuatu yang baru kali ini dapat dirasakannya.
Sedangkan saat mengandung Elfaris dulu, itu semua sama sekali tidak pernah ia dapatkan, sedikit pun, bahkan sama sekali tidak pernah.

"Dina tadi udah aku kasih tau sayang.." tiba-tiba Bisma menghentikan aksinya. Ia memandang wajah Franda yang seketika membola mendengar ucapannya.

"T..tapi Dina gak marah kan, Bis?" Franda bertanya ragu.

Bibir Bisma tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya kecil.

"Serius? T..tapi kan?"

"Dina gak marah ko. Dia malah seneng banget. Dia katanya gak sabar ingin pulang biar bisa langsung ketemu kamu dan kasih kamu selamat. Dia beneran seneng loh sayang. Dia seneng Nda, sama kayak kita.." jelas Bisma tersenyum lebar mengingat suara dan ekspresi Dina saat ia menelponnya tadi.

"Kamu aneh.. Aku bingung sama kamu Bis.." tiba-tiba Franda malah diam. Matanya menatap Bisma dengan tatapan lirih dan tidak percaya.

"Aku yakin hati Dina pasti hancur denger kabar kehamilan aku. Dia itu tersenyum dan bahagia hanya didepan kamu dan aku Bis. Sedangkan hatinya? Hati dia pasti sakit. Kamu tuh gak bisa apa lihat itu semua? Aku bingung sama kamu Bis. Aku takut Dina benci sama aku. Dia pasti marah, aku yakin dia pasti kecewa sama kita.." Franda membatin. Posisinya masih tetap diam dengan pandangan tanpa kedip menatap Bisma lirih.

"Jujur. Dari dulu aku memang pengen banget punya anak dari Dina. Anak dari hasil buah cinta aku sama dia. Anak yang didalam tubuhnya mengalir darah dan daging aku sama Dina.
Anak itu juga yang akan menjadi keturunan pertama aku juga Dina." ujar Bisma tiba-tiba. Ia mengangkat wajahnya. Memandang Franda dengan tatapan serius.

Franda hanya menoleh sekilas. Ia menatap balik pandangan Bisma yang menatapnya penuh arti.

"Manusia hanya bisa berencana. Selebihnya Tuhan yang sudah menentukan.
Kamu tahu sendiri kan kalau anak pertama aku dan Dina belum sempat bisa lahir kedunia ini?
Kamu juga tau kan, kalau rahim Dina bahkan sampai rusak dan harus diangkat. Itu benar-benar rencana Tuhan Nda. Itu rencana Dia yang memang tidak mengijinkan aku untuk memiliki anak dari Dina." jelasnya kembali berujar. Franda hanya diam. Ia semakin tidak mengerti arah pembicaraan Bisma kemana. Namun dirinya sedikit terkejut karna Bisma tiba-tiba berbicara seperti itu.

"Tuhan mengirim kamu buat aku. Dia yang mengijinkan benih aku tumbuh dirahim kamu. Bahkan benih itu kini sudah lahir dan tumbuh besar. Aku justru malah memiliki anak dari kamu.
Aku bahagia Nda, sangat-sangat bahagia. Aku gak pernah bisa menyangka semua itu.a
aku..aku.."

"Cukup Bis.. Cukuup.
Aku cuma takut.. Aku tuh takut kamu ngelupain Dina. Aku memang bisa kasih apa yang kamu inginkan.. Aku bisa kasih keturunan buat kamu. Tapi kamu juga gak bisa egois kalau.."

"Tapi aku gak pernah lupain Dina Nda. Aku gak pernah sedikit pun lupain dia.
Aku selalu ingat dia. Sayangi dia, bahkan cintai dia. Sama seperti aku mencintai dan menyayangi kamu."

"Tapi kamu udah berbeda. Kamu udah beda Bis..
Aku takuut.." Franda menunduk lirih. Entah kenapa ia dan Bisma kini menjadi berdebat seperti ini. Dirinya yang sangat mempedulikan perasaan Dina dan takut Bisma melupakan istri pertamanya itu.

"Dia baik banget sama aku Bis..
Tadinya aku fikir masuk dalam hidup kamu dan Dina itu hanya untuk Elfaris. Aku mau nikah sama kamu karna Ais. Aku gak mau dia nangis terus nanyain keberadaan ayahnya. Tapi ternyata aku udah terlalu jauh. Aku udah merusak kebahagiaan kamu sama Dina. Aku bahkan sampai hamil lagi. Aku takut kamu terlalu sayang sama aku. Aku takut kamu lupain Dina. Aku takut Bis.. Aku takut kamu kayak gitu.. Aku lebih baik mundur aja, aku gak mau nyakitin Dina, akuu.."

Belum sempat Franda meneruskan kalimatnya, Bisma langsung mendekap tubuh istri keduanya itu. Entah kebaikan besar apa yang telah ia perbuat, hingga bisa memiliki istri yang begitu mempedulikan hati dan perasaan orang lain tanpa memikirkan perasaannya sendiri. Bisma benar-benar bingung. Harus dengan cara apa dia menjelaskan semuanya agar Franda berhenti merasa takut dan bersalah.

"Aku janji gak akan pernah lupain Dina Nda. Aku juga janji gak akan pernah kurangin kasih sayang aku buat dia, aku gak akan bedain kamu ataupun Dina. Aku janji semampu aku. Aku tulus menyayangi kamu dan Dina. Aku sangat tulus Nda.." Bisma berujar lirih. Ia terus mendekap tubuh Franda dan berusaha menenangkan perempuan cantik yang sangat dicintainya itu.

"Aku yakin kamu gak akan pernah bisa tepatin janji kamu. Aku sangat yakin Bis.. Aku yakin.." Franda memejamkan matanya dengan rasa sesak didada. Entah kenapa dia berfikiran seperti itu. Mungkin dengan sikap Bisma yang sudah mulai berbeda yang membuatnya takut akan hal itu terjadi.







Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p