Jumat, 03 Januari 2014

Diantara Tiga Cinta #Part 37

Pagi-pagi sekali, Bisma rupanya sudah terlihat begitu rapi.
Ia berjalan keluar dari kamarnya. Menelusuri setiap sudut ruangan, mencari tiga sosok yang menjadi sumber kebahagiaan untuknya.
Bibirnya sesaat tersenyum, ia menghentikan langkahnya. Memandang dengan penuh rasa kagum saat berdiri diambang pintu kamar Elfaris sang putra.


"Lambutnya jangan disisil kebakang bun, kan lambut Ais biasanya disisil kedepan."

"Gak papa, kebelakang juga tetep bagus ko, jagoan bunda kan udah ganteng, jadi gak akan berpengaruh."

"Kalau gitu, kepinggil aja bun, ntal kan pakai topi, tlus poninya bisa kepinggilin, bial milip ayah gitu.."

"Hem, oke deh. Bunda sisirin biar poninya Ais jadi kepinggir.
Naah udah, anaknya bunda emang ganteng. Tinggal pakai topi, lalu kasih sedikit bedak.."

"Uhh tapi bedaknya jangan banyak-banyak bunda. Ais kan anak laki-laki, bukan pempuan. Ental Ais malah jadi cantik lagi bukannya ganteng.."

"Ahaha, enggak ko, bunda cuma kasih sedikit aja, kan biar lebih fresh.
Lagian Ais masih kecil, mau didandanin kayak gimana juga tetep aja ganteng.."

"Hihi kan Ais milip ayah bun.."

"Iya mirip sama ayah. Yaudah, sekarang Ais turun, uhh!
Udah selesai dan ganteng anak bunda ini."

Dina kemudian menurunkan Elfaris yang tengah berdiri diatas tempat tidur itu. Bocah tampan nan lucu yang sudah tampak rapi dengan seragam TKnya hanya menurut saja.
Ia terlihat begitu penurut, meski bukan Franda yang memakaikannya seragam, namun rupanya Elfaris sudah benar-benar menganggap Dina sebagai bundanya juga.
Terbukti ia begitu penurut dan sangat menyayangi Dina layaknya bundanya sendiri.

"Ais kelual ya bun? Bunda sama ayah pasti lagi nunggu Ais dibawah." ujar Elfaris, Dina buru-buru menoleh menatap sosok malaikat kecilnya itu.

"Sama bunda nanti kebawahnya. Kita temui ayah sama bunda Franda bareng-bareng. Ayo sayang? Uhhh, anaknya bunda berat juga ternyata." Dina langsung meraih tubuh Elfaris dan menggendongnya. Ia begitu menyayangi Elfaris sampai-sampai memperlakukannya dan memanjakannya seperti ini. Kasih sayang yang Elfaris dapat pun begitu penuh dari Dina.

Elfaris hanya mengangguk kecil tanda setuju. Ia mengalungkan lengan kanannya dileher Dina. Lengan kirinya sendiri berpegangan pada tangan Dina.

"Bunda Dina baik. Ais sayang sama bunda Dina.." Elfaris menatap wajah cantik perempuan yang tengah menggendongnya. Sejenak ia lalu menyenderkan kepalanya didada Dina. Merasakan ketulusan kasih sayang Dina yang begitu penuh kasih padanya.

"Anakku. Meskipun kamu lahir bukan dari rahim bunda. Tapi bunda tetap sayang sama Ais.
Bunda gak mau kehilangan Ais. Bunda sayang menyayangi kamu Ais.." Dina mengelus punggung Elfaris dan sedikit mendekapnya. Puncak kepala Elfaris pun ia kecup. Perasaanya antara sedih dan bahagia. Kedua rasa itu selalu berkecamuk didalam hatinya.

Bisma hanya diam melihat adegan yang terjadi didepannya. Ia sama sekali tidak berkutik. Tetap berdiri mematung disamping pintu kamar Elfaris. Ia sedikit bergeser saat Dina melangkah keluar. Hingga kehadirannya sama sekali tidak Dina sadari karna Dina dan Elfaris sendiri fokus memandang hanya kearah depan.

"Sebegitu sayangnya kah kamu sama Elfaris Din?" Bisma membatin menatap dua sosok yang mulai lenyap dari pandangan matanya.


"Aku akan biarin kamu sama Franda.
Aku gak akan usik kalian.
Aku yakin kamu akan jauh lebih bahagia sama dia. Makanya aku lebih memilih untuk mundur.
Hanya satu hal yang aku minta. Aku mau Ais Bis.."

Tiba-tiba ucapan Dina semalam kembali terngiang ditelinga Bisma. Kalimat yang tidak pernah Bisma duga bisa keluar dari mulut istri pertamanya itu.

"Kenapa harus kayak gini sih Din?
Selama ini aku udah berusaha sekuat dan semampu aku untuk bahagiain kamu juga Franda.
Aku udah berusaha seadil mungkin.
Aku gak pernah bedain kalian, aku memperlakukan kalian sama.
Tapi kenapa harus kayak gini?
Aku bingung.. Aku benar-benar bingung Dina.." kepala Bisma menggeleng lirih. Pagi ini hati dan fikirannya memang dibuat kalut oleh ucapan mengejutkan Dina semalam.
Raut kesedihan diwajah pun tak dapat disembunyikannya.

Bisma berjalan mendekati anak tangga rumahnya. Menuruni satu persatu anak tangga tersebut. Tujuannya pagi ini adalah meja makan. Disana ketiga malaikatnya pasti sudah menunggu untuk melakukan sarapan pagi bersama.



**
"Loh, ko kamu sendirian aja sih Nda?
Elfaris sama Dina mana?" Bisma memandang bingung ruangan meja makan yang tampak sepi tidak seperti biasanya.

Franda hanya menoleh sekilas. Ia menarik salah satu kursi meja makannya untuk mempersilahkan Bisma duduk.

"Ais sama Dinanya mana Nda?" Bisma bertanya lagi.

"Udah berangkat. Barusan aja mereka pergi. Tadi Dina katanya yang antar Ais hari ini. Jadi kamu bisa langsung kekantor, tanpa harus muter balik lagi." jelas Franda. Ia meraih kursi disamping Bisma. Ikut duduk dan mulai melayani suaminya itu untuk menyantap sarapan paginya.

"Sepagi ini? Dina apa-apaan sih?
Kenapa harus dia coba?" Bisma berfikir bingung.

"Sarapan dulu Bis.." Franda menyodorkan sehelai roti yang sudah dioleskan selai coklat kesukaan Bisma diatas piring makan Bisma.

"Iya, makasih Nda.." balas Bisma tersenyum. Ia meraih sehelai roti tersebut dan mulai menyantapnya meski tidak terlalu lahap.

"Huuek!" tiba-tiba perut Franda kembali mual.

"Kamu kenapa sayang? Kamu gak papa kan Nda?" Bisma bertanya kaget seraya memegang bahu Franda.

"Aku gak papa ko Bis, cuma rasa mualnya masih sering terasa. Jadinya gini, maaf yah.." Franda menggeleng pelan menatap wajah Bisma penuh rasa bersalah. Ia takut Bisma menjadi kehilangan selera makannya gara-gara suara mulutnya saat merasakan mual tadi.

Bisma hanya diam. Ia tampak sedikit berfikir dan mengingat kembali kalau saat ini Franda memang tengah berbadan dua atau hamil. Ia kemudian beranjak dari duduknya. Berdiri disamping kursi yang tengah Franda duduki.

"Perutnya masih mual terus?" tanyanya lembut. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya seraya mengelus perut datar Franda.

Franda mengangguk kecil meng-iyakan. "Mungkin usia kehamilannya masih muda, makanya mualnya masih kerasa, dulu juga gitu ko Bis.." ujarnya kemudian.

Bisma tersenyum. Kini posisinya ia ubah menjadi semakin membungkuk lagi. Kursi yang tengah Franda duduki ia tarik kebelakang, bermaksud agar ia lebih leluasa mengelus perut datar Franda yang tengah ditumbuhi calon bayi keduanya.

"Anaknya ayah jangan nakal yah?
Jangan buat bunda mual terus sayang, kasihan bundanya.
Jangan nakal ya nak.. Mmmuach, ayah sayang sama kamu.." Bisma mengelus dan memberikan kecupan kecil penuh kasih sayang diatas perut Franda. Perempuan cantik itu hanya tersenyum haru melihat apa yang dilakukan oleh suaminya yang baru kali ini bisa didapatkannya.

"Ternyata kayak gini yah rasanya, diperhatikan begitu penuh sama Bisma.
Kamu beruntung sayang, saat bunda hamil kamu, ada ayah kamu disamping bunda.
Dulu saat bunda hamil kakak kamu, bunda sama sekali enggak bisa rasain sentuhan lembut, apalagi kecupan penuh kasih sayang dari ayah kamu ini.
Kamu benar-benar beruntung nak.." batin Franda tersenyum berkaca penuh rasa haru bahagia.

"Oh iya, kamu udah sarapan?" Bisma memandang wajah Franda.

Franda menjawab dengan gelengan pelan.

"Ko belum sih?
Makan dong Nda, nanti kamunya malah sakit kalau gak makan, trus bayi kitanya juga, memangnya kamu mau bayi kitanya nanti jadi kekurangan asupan gizi, hem?" Bisma kembali duduk dikursi makannya. Ucapannya begitu lembut penuh perhatian.

"Tapi perut akunya mual terus, baru makan roti sedikit aja langsung mual lagi, susah Bis.."

Bisma tersenyum. Ia kemudian memotong kecil helai roti dipiring makannya. "Nih, cobain dikit. Buka mulutnya, ayo?" Bisma menyodorkan sesuap roti yang telah dipotongnya kecil kearah mulut Franda.

"Ayo Nda. Buka, hem?"

"T..tapi Bis.."

"Udah, buka aja. Ayo mulutnya dibuka. Gak akan mual ko, percaya sama aku." Bisma meyakinkan.

Akhirnya mau tak mau Franda membuka mulutnya, menerima suapan kecil dari Bisma. Ia mulai mengunyah roti tersebut, sedikit ragu saat menelannya.

"Gak mual kan?" Bisma tersenyum menatap lekat wajah Franda.

Franda hanya menggeleng lemah. Namun ia cepat-cepat meraih segelas air putih dihadapannya. Diteguknya air putih tersebut, ternyata dugaan Bisma salah, perut Franda tetap saja terasa mual saat ada makanan masuk kedalam perutnya.

"Huek! Aku.. Aku ke kamar mandi dulu seben.. Huek!" Franda beranjak cepat dari tempat duduknya. Mulutnya ia tutupi dengan telapak tangannya. Rasa mual itu kembali datang, mau tidak mau ia harus pergi kekamar mandi dan memuntahkan makanan yang baru saja masuk kedalam mulutnya.

"Ya ampun.. Ko sampe separah ini sih Nda?
Maafin aku sayang, aku gak bermaksud buat kamu tambah mual kayak gini. Aku gak tahu Nda.." Bisma ikut beranjak menyusul Franda. Raut wajahnya seketika berubah menjadi panik dan takut.


**
"Naah, sekarang kamu istirahat, gak usah ngapa-ngapain lagi. Pokoknya istirahat aja. Nanti biar aku temenin.."

"T..tapi Bis? Kamu kan harus.."

"Hari ini aku gak masuk dulu. Kesehatan kamu itu lebih penting dari pada kerjaan aku.
Minum dulu obatnya yah? Sama vitaminnya juga, biar gak lemes dan mual terus."

"Tapi aku masih bisa sendiri. Kamu masuk kantor aja, aku udah gak papa ko, cuma mual sama pusing kayak gini hal biasa sama ibu hamil. Beneran gak papa ko Bis.." Franda meyakinkan.

"Gak. Sekali aku bilang enggak, berati tetep enggak.
Aku gak mau nanti aku yang nyesel karna biarin kamu sendirian dirumah dengan kondisi kayak gini.
Kalau nanti kamu dan calon bayi kita kenapa-naka gimana? Aku gak akan pernah maafin diri aku sendiri kalau hal itu terjadi." jelas Bisma tetap kekeuh.

Franda menghela nafasnya. Ia meraih obat penghilang mual dan pusing serta vitamin yang Bisma sodorkan padanya. Meminumnya satu persatu seraya meneguk segelas air putih yang juga Bisma sodorkan padanya.

"Tidur yah? Aku temenin disini. Aku gak akan kemana-mana. Aku akan disini. Jagain kamu sama calon bayi kita." Bisma tersenyum mengelus puncak kepala Franda. Ia duduk ditepi tempat tidur tersebut.

Franda hanya mengangguk pasrah. Sepertinya meski ia menyuruh Bisma berangkat kekantor pun tidak akan berpengaruh. Akhirnya ia hanya bisa menuruti apa yang Bisma katakan.
Franda merebahkan tubuh lelahnya diatas tempat tidur, sesekali matanya melirik Bisma yang masih setia mengelus puncak kepalanya.

"Kamu bisa sama Franda terus Bis.
Kalian bisa hidup bahagia berdua. Tanpa aku, dan tentunya juga tanpa Elfaris.
Kalian akan bahagia dengan anak kedua kalian nanti. Jadi aku mohon kamu izinin aku buat bawa Elfaris. Nanti secepatnya aku akan urus surat perceraian kita."

"Kamu bicara apa sih? Kamu kenapa terus-terusan bicara kayak gitu?
Kamu kenapa sayang? Apa kamu udah gak mau jadi istri aku?
Apa kamu udah gak sayang dan gak cinta lagi sama aku? Iya Din?"

"Enggak.. Bukan itu Bis.
Sampai kapan pun aku akan terus cinta dan sayang sama kamu.
Kamu jangan salah menilai."

"Lalu kenapa Din? Kenapa tiba-tiba kamu jadi kayak gini?
Apa kamu gak mikirin perasaan aku juga Franda?
Selama ini aku udah berusaha sekuat dan semampu aku buat bahagiain kamu Franda juga Elfaris.
Aku udah berusaha sekuat tenaga aku Din.
Aku udah berusaha seadil dan seperhatian mungkin sama kalian. Tapi kenapa kamu.."

"Hiks, maafin aku..
Aku tau kamu sosok suami yang baik, bahkan sangat baik.
Tapi perempuan mana sih Bis yang tahan dengan posisi yang seperti ini?
Aku gak kuat Bis.. Meski bibir aku masih bisa tersenyum, tapi hati aku gak bisa.
Aku terlalu lemah, aku gak sekuat yang aku fikirkan.
Aku udah kejebak sendiri dengan semua ini. Aku gak bisa Bisma.."

Bisma akhirnya hanya bisa diam. Ucapan Dina memang cukup ia mengerti. Ternyata usaha kerja kerasnya untuk berlaku seadil mungkin pada kedua istrinya tetap saja menimbulkan suatu rasa yang berbeda. Entah itu rasa iri, cemburu, atau mungkin sakit hati.
Memang masuk logika jika Dina bisa berkata seperti itu. Namun yang membuat Bisma tidak mengerti adalah kenapa Dina menginginkan Elfaris?
Itu yang Bisma takutkan.

"Bis.. Kamu kenapa? Ko kamu malah diam?" tiba-tiba Franda menyentuh lengan Bisma. Membuyarkan lamunan Bisma yang masih memikirkan kejadian semalam itu.

"Engh. A..aku gak papa ko sayang.
Aku gak papa.." jelas Bisma berbohong. Ia menyunggingkan senyuman kecil meski terlihat satu luka pada senyumnya.

"Wajah Bisma ko jadi sedih kayak gini?
Gak biasanya Bisma kayak gini.
Dia kenapa?" Franda bertanya-tanya sendiri melihat sikap aneh suaminya ini.

"Kalau aku cerita sama Franda. Pasti Dina gak akan dibolehkan dekat sama Elfaris lagi.
Tapi kalau aku gak cerita, suatu saat dia pasti akan tau juga.
Hufh, aku harus gimana? Kenapa semuanya jadi serumit ini?" Bisma membatin gelisah. Ia menarik nafasnya berat. Menatap dengan ragu wajah istrinya itu. Tangannya sendiri masih tetap ia taruh diatas kepala Franda. Mengelus pelan puncak kepala perempuan cantik itu.



**
"Sebenalnya kita mau kemana sih bun?
Ko pulangnya lewat kealah sini?" Elfaris menatap bingung jalan raya yang dilaluinya.

Dina tidak menjawab pertanyaan Elfaris. Pandangan matanya terus fokus pada kemudi mobil honda Jazz hitam yang tengah dikendarainya.

"Kalau ayah tau, ayah pasti malah.
Pulang sekolah itu kan halus pulang kelumah, bukan kesini buun.." Elfaris kembali berceloteh.

Dina menolehkan pandangannya. Menatap seraya tersenyum melihat bocah tampan nan lucu disampingnya itu.

"Kita jalan-jalan dulu yah?
Pulangnya nanti sore aja.
Ais mau kan temenin bunda jalan-jalan?
Nanti kita ke mall, trus main-main disana. Gimana sayang?"

"Hah? Jalan-jalan bun? Belati Ais bisa main-main nanti? Tlus bisa beli mainan juga dong bun.."

"Tentu. Nanti kita main di Time Zone. Kita beli banyak mainan juga buat Ais. Setuju?"

"Waaahh Ais mau. Mau-mau bun.. Yeee asiikk.. Ais mau main di Time Zone. Beli mainan juga. Yeee asiikkk..." Elfaris berteriak senang. Meloncat-loncat kecil. Inilah ekspresinya kalau sudah mendengar kata mainan dan main-main.

"Hemm.. Anak yang lucu, polos tapi pintar..
Bunda beruntung bisa milikin kamu sayang.." Dina bergumam kagum. Ia mengelus rambut poni Elfaris dengan sebelah tangannya.

"Bunda Dina baik. Bunda Dina selalu buat Ais senang.
Tadi bunda Dina udah antal Ais kesekolah, tungguin Ais sampai Ais pulang. Tlus sekalang bunda Dina mau ajak Ais ke mall, mau beliin Ais banyak mainan.
Bunda Dina emang baik. Ais seneng punya bunda kayak bunda Dina." Elfaris membatin penuh rasa bahagia.
Pemikirannya memang masih sangat polos. Anak kecil mana yang tidak akan bahagia jika diberikan perhatian seperti ini oleh bundanya, termasuk Elfaris yang diperlakukan begitu istimewa oleh Dina.








Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p