Rabu, 01 Januari 2014

Maaf Untuk Mamah (Cerpen Spesial Hari Ibu)

Suasana siang hari yang begitu terik. Panasnya sinar mentari menyengat seakan membakar tubuh. Udara yang semakin sesak dipenuhi asap kendaraan bermotor. Terlebih padatnya jalan raya akibat kemacetan membuat suasana hati semakin tidak nyaman dan mengesalkan.


"Iya pak, baik. Sebentar lagi mungkin saya akan tiba disana.
Iya pak, kebetulan ini lagi kejebak macet. Saya mohon maaf, mungkin akan cukup terlambat. Tapi saya akan usahakan secepatnya tiba disana.
Baik pak, terimakasih.."

Lelaki muda berwajah tampan ini mengakhiri sambungan telponnya. Setelah meminta maaf pada atasan atas keterlambatannya. Lelaki yang sering disapa Bisma ini pun bisa sedikit bernafas lega. Ia memasukkan handphone nya kembali pada saku kemeja yang dikenakannya. Kedua bola matanya pun kembali fokus pada stir mobil yang tengah ia kemudikan.

"Hufh, macet! Ngeselin banget sih. Jadi telat kan gue." gumamnya membuang nafas berat.

Ia terus memandang kearah depan kaca jendela mobilnya. Entah kenapa tiba-tiba jalanan menjadi macet total seperti ini, mungkin karna adanya lampu merah yang menjadi titik penyebab kemacetan lalu lintas didepan sana, terlebih padatnya kendaraan-kendaraan pribadi yang memenuhi jalanan ibukota seakan menjadi pemandangan yang terbiasa terlihat.

Drrrrtttt...

Tiba-tiba saja handphone Bisma kembali bergetar. Lelaki tampan ini pun segera merogon saku kemejanya. Ia memandang layar handphonenya tersebut. Entah kenapa ia tidak langsung mengangkat panggilan telponnya itu. Ia justru malah diam, membiarkannya terus berdering dan bergetar.

"Apaan sih jam segini nelpon? Gak tau apa kalau gue lagi sibuk!" ketusnya kesal. Ia melempar pelan handphonenya itu kearah depan dekat kaca jendela mobilnya. Handphone nya masih tetap berdering dan menyala. Entah kenapa wajah Bisma seketika berubah menjadi kesal saat melihat layar handphone tersebut tertera panggilan dari sang mama.



"Ya Allah.. Kamu kenapa tidak angkat telpon dari mamah Bis?
Apa kamu baik-baik disana? Mamah khawatir sama kamu naak.." wajah wanita paruh baya ini seketika menjadi sedih. Kecemasannya terhadap kondisi sang putra membuat dirinya tak kuasa menahan rasa rindu. Sudah hampir empat bulan terakhir ini Bisma yang selaku putra tunggalnya memang tidak pernah memberikannya kabar. Padahal ia sangat mencemaskan keadaan putra satu-satunya itu yang entah saat ini dalam keadaan seperti apa.

Wanita paruh baya yang sering disapa tante Casma ini menaruh kembali gagang telpon rumah yang tadi digenggamnya. Pandangannya beralih pada beberapa jenis mainan anak-anak yang sempat menjadi mainan kesukaan Bisma saat kecil dulu.
Tante Casma duduk diatas lantai rumahnya. Ia meraih sebuah mainan pesawat terbang berwarna putih. Kedua bola matanya tiba-tiba berkaca, ia teringat akan masa-masa indahnya dulu dimana Bisma masih tinggal bersamanya.

"Mainan ini mainan kesukaan Bisma.
Kalau kemana-mana, Bisma pasti selalu bawa mainan ini.
Mau makan, mau tidur, bahkan Bisma sempat membawa mainan ini kesekolahnya.
Biss.. Mamah kangen kamu..
Bagaimana keadaan kamu disana naak?..
Mamah kangen kamu.." lirihnya berderai air mata. Dua sungai kecil itu ia biarkan mengalir bebas membasahi kedua pipinya. Mainan pesawat terbang berwarna putih itu ia peluk. Didekapnya dengan erat seolah merasakan dekapan Bisma yang sudah lama ini tidak bisa dirasakannya lagi.



**
"Om mainan kicil anginnya om?" seorang bocah laki-laki berusia 5tahun ini mengetuk pintu kaca mobil Bisma.

Bisma yang tengah melamun itu pun seolah terusik. Ia menoleh kearah bocah tersebut. Bibirnya sekilas tersenyum saat melihat wajah polos bocah tampan dengan beberapa mainan kincir angin yang mungkin hasil buatannya sendiri.

"Mainan kicil anginnya om? Halganya dua libu aja.." ucapan polos bocah kecil itu kembali terdengar. Ia menawarkan barang dagangannya pada Bisma.

"Om ambil satu yah?" tiba-tiba Bisma mengambil satu mainan kincir angin tersebut. Ia mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari dalam dompetnya. Memberikannya pada bocah kecil tersebut.

"Yaah, Arfa gapuna kembaiannya om.. Uang Arfa buum.."

"Udah, ambil aja kembaliannya buat kamu.." Bisma langsung memotong ucapan bocah kecil yang mengaku bernama Arfa itu. Bibirnya tersenyum kecil. Pandangannya menatap kembali kearah depan. Rupanya mobil didepan sudah bisa berjalan normal lagi.
Bisma pun segera menutup kembali kaca jendela mobilnya. Menstaterkan kendaraannya tersebut agar segera bisa melaju.

"Dua libu, dibayal lima puuh libu. Baati hausnya Arfa kasih om itu epat puh dapan libu bat kembaiannya.." Bocah kecil ini nampak mengitung jari-jari mungilnya. Mata beningnya menatap tidak percaya lembaran uang berwarna biru yang didapatnya secara tidak diduga.

"Om itu baik. Tadi om itu biang kembaiannya bat Arfa. Om itu benean baik.
Baati Arfa bisa kasih suatu bat mamah. Iya Arfa bisa beiin mamah buna nih.." ujarnya menyunggingkan senyuman lebar. Kali ini ia benar-benar beruntung, bisa mendapatkan rejeki yang cukup besar, tidak seperti biasanya yang mungkin hanya mendapat beberapa lembar uang ribuan saja.

Arfa berjalan dengan langkah kecilnya. Sesekali ia melompat riang. Hatinya sangat bahagia. Bayangan-bayangan indah pun berkecamuk difikirannya.

"Hai ini Arfa bakaan jenuk mamah. Arfa bakaan bawain mamah buna. Mamah pati suka.." batinnya tak henti menunggingkan senyuman kebahagiaan.
Ia terus melangkah dan melangkah. Menjauhi jalanan raya yang masih padat dilalui kendaraan bermotor. Tujuannya saat ini adalah toko bunga, karna ia hendak membelikan bunga untuk sang mamah.




**
"Anak itu? Bukannya dia tadi yaang..?" Bisma tiba-tiba menghentikan mobilnya. Kedua bola matanya ia sipitkan. Ia mengingat kembali sosok bocah kecil yang tadi menjual mainan kincir angin padanya.

"Mau kemana dia? Bukannya tadi dia ada diujung sana? Tapi..?
Hufh, mana mungkin dia jalan sejauh ini sampe bisa ada ditoko bunga itu?
Ahh.. Tapi..?"

Bisma langsung menyunggingkan senyuman kecilnya. Ide-nya kali ini adalah mengikuti bocah kecil tersebut. Mungkin ia penasaran dengan apa yang akan dilakukan Arfa bocah kecil tadi. Terlebih dirinya sampai bisa bertemu Arfa lagi. Padahal jarak dari saat ia berhenti tadi dengan sekarang ini cukup jauh. Rasa penasaran pun memenuhi fikiran Bisma.

"Makasih bu.." Arfa meraih dua tangkai bunga mawar merah yang dibelinya pada penjual bunga diseberang jalan itu. Ia kemudian segera bergegas pergi sesaat setelah mendapatkan bunga tersebut. Hatinya benar-benar bahagia. Yang ada didalam fikirannya hanyalan sang mamah yang akan lebih bahagia saat dirinya memberikan bunga tersebut.




**
"Maah.. Maafin Arfa yah, Arfa bau bisa jenuh mamah ladi..
Arfa bau bisa datang kesini ladi mah, maafin Arfa.." suara bocah kecil ini terdengar pelan. Ia berdiri didepan gundukan tanah merah yang sudah dipenuhi rumput-rumput kecil diatasnya.
Arfa memandang pilu rumah terakhir sang mamah yang berada dihadapannya itu.

Tiba-tiba Arfa mengeluarkan sesuatu dari tas sekolahnya. Sedari tadi ia memang masih mengenakan seragam sekolah yang lengkap. Topi serta tas hitam yang terlihat cukup kumal pun masih melekat ditubuhnya.

"Tadi Arfa dapat nial seatus mah..
Disekoah Arfa uangan, tus Arfa dapat niai paing tigi.
Arfa mau kasih ini baat mamah.." ucapnya lalu menunjukkan selembar kertas putih hasil ulangannya disekolah pagi tadi.

Arfa merubah posisinya menjadi jongkok. Ia menaruh lembar kertas ulangannya itu tepat diatas gundukan tanah merah tersebut.

"Mah, Arfa kaneeen banet sama mamah..
Mamah kanen juda ga sih sama Arfa?
Arfa pen banet peuk mamah..
Arfa pen peuk mamah maah..." Arfa kembali berujar. Setetes bulir bening tak terasa keluar membasahi pipinya. Ia masih sangat kecil, jadi tak heran jika dirinya menangisi kepergian sang mamah yang terlalu cepat meninggalkannya.

"Oh iya mah, Arfa hapil lupa. Arfa puna buna. Ini buna sukaan mamah. Mamah pasti suka. Arfa bei buna ini tadi mah..
Ini buna baat mamah, Arfa haap mamah mau tima. Buna ini husus Arfa bei bat mamah.. Baat mamah mah, Arfa sayan mamaah..." Arfa memeluk batu nisan bertuliskan nama Retha mamahnya. Ia mendekapnya. Air matanya semakin deras mengalir membanjiri pipinya. Bunga mawar merah yang dibawanya tadi ia taruh disamping batu nisan tersebut. Pemandangan yang begitu memilukan melihat bocah sekecil Arfa harus kehilangan sosok mamah, terlebih ia juga harus kehilangan kasih sayang dari mamahnya.

"Hiks, Arfa sayan mamah..
Mah, maafin Arfa kaau Arfa seing nakal.. Arfa kanen mamah.. Arfa pen banet peuk mamah mah..
Arfa kanen mamah..." lirihnya kembali terisak. Batu nisan serta gundukan tahan merah yang dipenuhi rerumputan kecil itu terus didekapnya dengan erat. Rasanya ia tidak mau melepaskan pelukan tersebut. Pelukan sang mamah yang sangat diinginkannya meski kini pelukan itu tak dapat dirasakannya lagi.


"Ya Allah.. Mamaah.. Maafin Bisma maah.. Maafin Bismaa.." tiba-tiba Bisma yang sedari tadi berdiri memandangi Arfa dari jauh merasa terhenyak. Hatinya terkoyak melihat adegan mengharukan yang dilakukan oleh Arfa sibocah kecil yang menjual mainan kincir angin padanya tadi.

Anak sekecil itu saja bisa melakukan hal besar yang sama sekali tidak pernah diduganya untuk sang mamah. Sementara ia sendiri justru malah mengabaikan sang mamah yang sudah sangat jelas masih berada didunia dan sangat menyayanginya. Bisma merasa menjadi manusia terbodoh detik itu juga.

"Maah.. Semoga Bisma belum terlambat..
Bisma gak mau kalau harus kehilangan mamah seperti anak kecil itu..
Bisma masih membutuhkan mamah..
Maafin Bisma maah.. Bisma benar-benar minta maaf.." ucapnya kembali. Bisma langsung membalikkan tubuhnya cepat. Dua sungai kecil yang keluar dari pelupuk matanya tidak ia hiraukan. Detik itu juga ia bertekad untuk menemui sang mamah. Meminta maaf atas sikapnya yang akhir-akhir ini selalu mengacuhkan sang mamah.

Bisma berlari cepat menuju mobil Alphard hitamnya. Ia sungguh tidak sabar untuk bertemu tante Casma ibu kandungnya. Bisma juga sempat menghubungi tante Casma melalui sambungan telponnya berulang-ulang. Namun entah kenapa tidak ada jawaban disana. Hati dan fikiran Bisma semakin dibuat cemas. Kenapa ia bisa sebodoh ini, kenapa dirinya tidak mensyukuri kehadiran sang mamah yang masih berada bersamanya. Mungkinkah ia akan menyadari arti pentingnya kehadiran sang mamah saat mamahnya sudah tiada. Mungkin kesibukan duniawi yang membuatnya menjadi melupakan sosok mamah yang begitu berjasa untuknya. Sosok mamah yang merawat dan membesarkannya sejak kecil. Sosok mamah pula yang mengajarkan sesuatu dari yang tidak ia ketahui menjadi tahu dan mengerti.
Bisma benar-benar merasa bodoh telah mengabaikan sang mamah.

Tanpa menunggu lama lagi. Bisma mulai menstaterkan mobilnya. Melesat dengan cepat meninggalkan tempat tersebut. Tujuannya saat ini adalah kota Bandung. Dimana disana sang mamah ia tingggalkan berdua dengan sang papah.

"Bisma kesana sekarang mah.. Bisma benar-benar minta maaf..
Bisma sayang mamah.. Bisma sayang mamah maah.. Jangan pernah tinggalin Bisma seperti anak kecil tadi.
Bisma belum siap kehilangan mamah.. Bisma bahkan gak mau kalau harus kehilangan mamah..
Bisma sayang mamaah.." lirihnya tampak cemas dan khawatir. Jalanan yang cukup renggang itu pun dilaluinya dengan cepat. Ia sampai tidak memikirkan apapun lagi. Hanya ada satu kata dan satu orang yang terus berkecamuk didalam fikirannya, yaitu sang mamah.



**
Sosok wanita paruh baya ini kini tengah duduk menyendiri diatas kursi ruang tengah rumahnya. Lengannya masih setia memegang mainan pesawat terbang milik buah hatinya saat kecil dulu. Bibirnya pun seketika tersenyum kecil. Bayangan masa lalu indahnya seolah terulang lagi disana.

Tante Casma melirik kursi kosong disampingnya. Sosok bocah kecil berwajah tampan tiba-tiba berdiri diatas kursi tersebut.

"Bisma, jangan berdiri dong sayang, makannya ko berdiri sih? Nanti Bisma bisa keselek nak.." ucapan yang begitu lembut terlontar dari bibir tipisnya.

"Iya mah, ini Ima mau duduk. Tapi pesawatnya mau telbang dulu katanya.."

Bibir tante Casma hanya tersenyum menggeleng melihat tingkah putra kecilnya.

"Makan lagi yah? Sini mamau suapin aa?"

"Am.. Pesawatnya mau telbang lagi mah.. Nguiiingggg..."

Kepala tante Casma hanya menggeleng melihat tingkah putranya ini. Putra semata wayangnya, putra kebanggaannya. Putra ia satu-satunya yang selalu bisa membuat bibirnya tersenyum.


"Mamah kangen kamu Biss.." tiba-tiba kedua bola matanya sejenak langsung berkaca. Rupanya tadi memang hanya kenangannya dimasa lalu saja. Kursi disampingnya tetap kosong tanpa ada yang menduduki ataupun berdiri dengan memainkan mainan pesawat terbang yang masih dipegangnya.
Air mata tante Casma seketika itu pun tumpah. Ia teramat sangat merindukan sosok Bisma malaikat kecilnya.

Tante Casma mengelus pelan kursi kosong disampingnya itu. Hatinya benar-benar pilu karna sosok yang ia rindukan tidak berada bersamanya.

"Andai kamu masih tinggal disini..
Andai kamu masih berada dirumah ini Bis..
Mamah sangat merindukan kamu.." ujarnya lagi. Hatinya terasa sesak. Ia menunduk menatap mainan pesawat terbang yang masih dipegangnya.


"Maah..."

Tiba-tiba suara yang tidak begitu asing itu terdengar samar ditelinga tante Casma.

"Enggak. Gak mungkin kalau Bisma ada disini. Bisma gak mungkin ada disini.." tante Casma menggeleng tidak percaya saat mendengar suara yang memanggilnyatersebut. Ia mendekap maianan pesawat terbang itu. Memeluknya dengan sangat erat layaknya kalau itu adalah Bisma kecilnya yang sangat ia rindukan.

"Ya Allah maah..
Mamah maafin Bismaa.. Maafin Bisma maah..
Mamah maafin Bismaa.. Hiks mamaah..."

Tiba-tiba Bisma yang ternyata sudah berdiri dibelakang tante Casma langsung berhambur memeluk tubuh wanita paruh baya itu. Hatinya semakin pilu menyaksikan apa yang dilakukan oleh sang mamah.

"B..biss?.. Kamu ada disini naak?
Kamu ada disini?.." tante Casma berujar lirih berlinang air mata. Ia meraih kedua pipi Bisma. Mengangkat wajah buah hatinya itu lalu ditatapnya tidak percaya.

"Maafin Bismaa..
Mamah maafin Bisma..
Bisma sayang mamaah.. Bisma sayang mamah maah.. Maafin Bismaa.." hanya itu kalimat yang mampu Bisma ucapkan. Ia kembali menenggelamkan wajahnya dipelukan hangat sang mamah. Ia benar-benar merasa takut jika sosok wanita paruh baya dihadapannya itu meninggalkannya seperti apa yang dialami Arfa bocah kecil yang diikutinya tadi.

Tante Casma lagi-lagi menggeleng masih tidak mempercayai. Rupanya sosok yang tengah memeluknya itu memang benar-benar Bisma. Bisma kecilnya yang kini telah tumbuh menjadi Bisma dewasa.
Ia melepaskan perlahan pelukan buah hatinya itu.

"Kamu jangan nangis..
Kamu gak pernah berbuat salah sama mamah..
Kamu jangan nangis yah?
Anak laki-laki itu gak boleh cengeng.
Mamah juga sayang kamu nak..
Mamah juga sayang kamu.." tante Casma berujar begitu pelan nan lembut. Ia mengelus kedua pipi Bisma. Menghapus bulir bening yang keluar dari pelupuk mata putranya, lalu kemudian didekapnya lagi dengan erat.

"Bisma juga sayang mamah..
Bisma gak mau kehilangan mamah..
Bisma minta maaf ya mah..
Bisma terlalu sibuk sama kerjaan Bisma..
Bisma sering lupain mamah..
Bisma minta maaf.. Hiks.." dada Bisma seakan dibuat sesak mendengar ucapan tante Casma tadi. Ternyata meski kesalahannya sangat besar sekalipun, bagi sang mamah ia tetap tidak salah. Berdosa sekali rasanya Bisma telah mengabaikan ketulusan serta kasih sayang sang mamah.

"Mamah tetap disini Bis..
Mamah tetap akan ada disini untuk kamu..
Kamu anak kebanggaan mamah..
Apapun yang kamu lakukan selama itu baik, mamah gak akan pernah larang. Mamah tetap dukung kamu. Mamah akan tetap dukung Bisma.
Jadi Bisma gak perlu minta maaf lagi sama mamah..
Mamah udah maafin nak..
Mamah sayang Bisma.."

Tante Casma dan Bisma pun akhirnya terhanyut dan saling memeluk satu sama lain. Melepaskan rasa rindu yang sudah lama akhirnya bisa terobati. Rasa haru karna Bisma tidak menyangka kalau sang mamah sama sekali tidak marah dan membencinya. Mungkin itulah yang menyatukan ikatan besar antara ibu dan anaknya.
Sebesar apapun anaknya melakukan kesalahan, sang ibu akan tetap berkata, tidak apa-apa, kamu tidak salah, Ibu sudah memaafkan. Padahal anaknya itu sudah cukup membuat hatinya sakit. Tapi dirinya tetap memaafkan buah hatinya itu, karna kasih ibu akan selalu ada sepanjang masa.


Sebesar apapun kesalahan kita. Ibu pasti akan selalu memaafkan, entah hati seorang itu itu terbuat dari apa.
Selain berjiwa besar dan tegar. Ibu juga sangat pemaaf.

Ibu juga rela melakukan apapun untuk kebahagiaan anaknya, meski dirinya menderita sekalipun, baginya melihat anaknya bahagia, itu adalah sumber kebahagiaan terbesar untuknya.

Ibu yang merawat kita sejak masih dalam kandungan. Menjaganya, memberikan kenyamanan untuk kita.
Ibu juga yang membiarkan kita tumbuh dirahimnya selama sembilan bulan.
Ia tidak sedikit pun mengeluh. Padahal begitu berat terasa, saat ia harus membawa kita kemana pun ia pergi.
Selama sembilan bulan itu pula kita banyak menyusahkannya.

Melahirkan kita kedunia ini adalah taruha terbesar yang harus dilaluinya dan nyawa lah taruhannya.
Tapi ia rela mempertaruhkan semua itu untuk kelahiran kita.
Ia sama sekali tidak memikirkan dirinya, mendengar suara tangisan pertama kita itu adalah impian terbesarnya.

Ibu yang mendidik kita. Mengajari kita dari apa yang tidak kita tahu menjadi tahu.
Ibu juga yang memberikan ASI-nya untuk kita. Menjadikan kita tumbuh sehat hingga bisa sebesar ini. Merawat dan membesarkan kita meski tak luput dari jasa ayah.
Ibu dan ayah adalah orang yang benar-benar berjasa dalam hidup kita.
Sekalipun mereka marah, itu karna mereka tidak mau kita melakukan hal yang salah. Ia adalah pembimbing kedua setelah seorang Guru.
Ia adalah guru kehidupan tanpa jasa sepanjang masa.

Ibu..
Entah apalagi yang harus kuungkapkan. Jasa-mu benar-benar begitu besar.
Terimakasih telah melahirkan dan membesarkanku sampai sebesar ini.
Mungkin dengan apapun tidak akan bisa membalas semua jasa-mu.

Ibu.. Hanya satu kata yang bisa kuungkapkan untukmu, kalau Aku mencintaimu, sangat-sangat mencintaimu.
Aku menyayangimu ibu..

I Love You Mom....*pelukMamah*





END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p