Sore menjelang...
"Mah, Arfa mau main sepedaan dulu yah?" suara bocah tampan yang mengaku bernama Arfa ini berjalan keluar dari area rumahnya dengan menuntun sepeda roda dua kesayangannya.
Tidak ada sahutan dari sang mamah. Bocah kecil itu hanya tersenyum menatap pintu rumahnya.
"Mamah pasti ladi didalam. Hihi mudahan aja mamah gak nyaiin Arfa.
Arfa pamit mahh.. Assamikum.." ujarnya lagi diiringi senyum kecil.
Arfa keluar dari area rumahnya. Sore yang sejuk ini dirinya memang ingin bersepeda mengelilingi kompleks perumahan dimana keluarga kecilnya baru saja berpindah rumah diarea tersebut.
"Lalala Arfa senang sekai.. Besepe..da." Arfa bersenandung riang seraya mengayuh santai sepeda roda dua yang dinaikinya.
Bocah kecil itu berputar-putar mengelilingi kompleks tempat tinggalnya. Ia tidak pergi terlalu jauh. Hanya mengelilingi area didepan rumahnya saja. Tak heran jika Elfaris merasa tertarik saat melihat bocah tersebut melintas didepan rumahnya seraya bersepeda.
"Pelasaan Ais punya sepeda yang kayak kakak itu.
Iya! Ais punya. Dulu ayah pelnah beliin Ais!" pekiknya tiba-tiba. Ia langsung beranjak dari tempatnya dan berlari sepat saat mengingat kalau dirinya juga memiliki sepeda roda dua yang serupa dengan Arfa.
"Loh, loh den?
Den Faris mau kemana toh?" bi Min terpelongo heran saat mendapati bocah tampan yang diasuhnya keluar rumah seraya menuntun sepeda.
"Ais mau belsepeda bi. Bibi jangan lalang Ais yah.
Ais gak akan jauh-jauh ko, cuma mainnya didepan lumah aja. Dadi bibi gapelu khawatil.." Elfaris berujar tanpa menoleh dan menghentikan langkahnya.
Bi Min hanya terpelongo melihat sikap anak yang diasuhnya itu.
"Itu kan sepedanya terlalu besar.
Lagian den Faris mana bisa toh naik sepeda roda dua kayak gitu?
Ndak bisa itu. Sepeda den Faris ada yang lebih kecil, dan itu ada roda bantunya. Gak seperti iki to.." Bi Min tampak berfikir bingung sendiri dengan apa yang dilihatnya.
"Walah.. Yo wiss lah. Sing penting den Faris seneng. Gak sedih lagi.
Bibi yakin den Faris bisa sedikit menghibur diri dengan main sepeda." fikirnya lagi. Bibirnya sekilas tersenyum saat mengingat wajah ceria Elfaris yang dilihatnya tadi.
Bi Min pun kembali masuk dan meneruskan pekerjaannya yang belum selesai semua.
Sementara Elfaris sudah berlalu keluar dari rumah dengan membawa sepeda roda dua yang dituntunnya.
**
"Pergi, jangan. Pergi, jangan. Pergi, ja...?"
"Asssh yaudah pergi aja deh.
Gue bukan Franda yang selalu egois dan bisanya cuma marah-marah doang.
Jadi mau gak mau, gue hari ini harus ke Bandung juga. Biar dia tau kalo gue gak seegois yang dia kira.
Yang lebih egois tuh Franda, bukan gue!" Bisma beranjak dari kursi kerjanya. Setelah berfikir cukup lama. Akhirnya ayah satu anak itu pun memutuskan untuk menemui jagoan kecilnya yang sudah lama ia abaikan.
"Lo lihat Fran, siapa yang sebenernya egois dan nyebelin!
Elo atau gue.
Harusnya lo bisa berfikir seratus kali lagi untuk bilang gue egois.
Gue tuh gak egois, tapi justru ELO yang egois! Camkan itu." Bisma tersenyum kecut penuh keyakinan akan apa yang dilakukannya ini.
Wajah Franda muncul dibenaknya, muncul dengan segala amarah dan rasa benci jika sudah mengingat sosok perempuan cantik yang masih berstatus istrinya itu.
Bisma keluar dari ruangan kerjanya. Meski keadaan sudah sore. Tapi ia memang masih saja asik berkutat dengan pekerjaannya.
Jika menyangkut soal pekerjaan dikantor, Bisma memang sering kali lupa waktu. Maka tak heran jika jagoan kecil satu-satunya bisa terabaikan akan sikapnya ini.
Sementara itu...
Berbeda dengan Bisma. Franda perempuan cantik ini justru tengah termenung menatap gundukan tanah merah yang kini sudah ditumbuhi rerumputan kecil.
Dua buah batu nisan berdampingan dipandangnya pilu. Terlihat ukiran nama kedua orang tuanya lengkap dengan hari lahir dan wafatnya mereka. Franda mengelus batu nisan berwarna hitam tersebut. Ada rasa sesak saat mengingat sosok kedua orang tuanya yang kini tidak dapat dijumpainya lagi karna telah tiada.
"Kalau lo mau protes, sana protes sama kedua orang tua lo dan orang tua gue!
Sana lo pergi ketempat pemakaman mereka!
Bilang kalau lo gak suka dinikahin sama gue.
Bilang juga kalau lo gak suka dengan semua ini!
Sana lo bilang!
Kalo perlu lo marahin mereka habis-habisan!
Lo caci maki mereka, biar hati lo PUAS dan lo gak ngerasa terus-terusan bener sendiri akan semua ini!
Bilang sana Fran, BILANG!!"
Tiba-tiba saja air mata Franda jatuh menetes keluar dari sudut matanya. Kalimat demi kalimat yang pernah Bisma ucapkan padanya seolah terngiang saat melihat gundukan tanah merah dihadapannya itu.
Kalimat dimana kala itu Bisma dan dirinya tengah ribut hebat akibat sama-sama keras dan egois.
"Maah, paah.. Apa Nda harus salahin kalian?
Nda gak bermaksud nyalahin mamah sama papah..
Nda cuma gak ngerti aja sama sikap Bisma yang sekarang.
Bisma udah beda banget mah, Bisma gak seperti Bisma yang dulu.
Dia sekarang kasar, Bisma bahkan gak pernah bisa bersikap lembut didepan Nda lagi.
Bisma beneran beda mah.. Dia beda..hiks." Franda terisak menatap dua batu nisan didekatnya.
Sifat Bisma saat dulu dan sekarang memang sangat berlawanan. Ia tidak bisa bersikap lembut padanya lagi, terlebih semenjak kedua orang tuanya meninggal.
Semua sikap baik Bisma seolah sirna seiring dengan kepergian kedua orang tuanya.
"Kalau mamah sama papah masih ada, mungkin hidup Franda gak akan jadi seburuk ini..
Maafin Nda mah, pah.
Maaf kalau Nda belum bisa menjadi apa yang papah mamah inginkan.
Nda sedang berusaha. Nda janji akan urus dan gantiin semua bisnis papah diperusahaan. Nda akan jalani itu semua. Sebisa dan semampu Nda.
Nda janji pah mah.. Nda sayang kalian.." Franda mengelus dua batu nisan berukirkan nama kedua orang tuanya itu. Satu kecupan pun masing-masing ia daratkan diatas nisan tersebut.
Tak lama Franda beranjak. Ia tidak mau berlama-lama berada ditempat pemakaman yang sudah cukup sepi itu.
Dirinya harus segera pergi menuju rumah tempat jagoan kecilnya tinggal. Karna itu memang tujuan utama Franda pergi kekota Bandung ini.
"Papah tidak pernah minta apapun dari kamu.
Papah tidak pernah minta kamu buat jadi papah agar bisa mengurus semua perusahaan.
Yang papah inginkan hanya satu.
Rawat dan besarkan cucu kesayangan papah..
Rawat Elfaris Karisma Stefanus.
Besarkan dan didik dia dengan kasih sayang penuh.
Tapi kamu dan Bisma tidak bisa mewujudkan semua itu.
Kalian berdua egois.
Kalian tega membiarkan cucu kesayangan papah sendiri.
Kalian benar-benar egois.."
Tiba-tiba sosok lelaki paruh baya berpakaian serba putih ini menatap penuh kesedihan akan kedatangan Franda dirumah peristirahatan terakhirnya.
Ia seperti menangis jika mengingat keadaan sang cucu kesayangan, yang sangat jauh dari harapan serta impiannya.
Tak lama sosok itu pun lenyap. Ia menghilang begitu saja saat Franda sudah mulai menjauh dan pergi dari tempat tersebut.
**
Bocah kecil berwajah tampan dan polos ini masih saja asik mengayuh sepeda miliknya.
Entah sudah berapa putaran ia berkeliling dijalanan depan rumahnya yang cukup luas itu.
Dirinya begitu asyik. Ia bahkan sampai tidak menyadari kalau ada bocah kecil lain yang membuntutinya sejak tadi.
"Arfa ingin begini, Arfa ingin begitu
ingin ini ingin itu banyak sekai..
Semuah semua semuah dapat dikabukan
dapat dikabulkan denan katong ajaib..
Arfa ingin tebang bebas diakasa
hei! Baing-baing babu..
La-la-la Arfa sayan sekai.. Doaemon.."
"La-la-la.. Arfa sayan sekai...
Doa e...." tiba-tiba saja Arfa menghentikan senandung lagu yang tengah dinyanyikannya.
Sepeda yang masih dikayuhnya pun ikut ia hentikan. Kepalanya buru-buru menoleh kebelakang. Sepertinya ia baru menyadari kalau ada yang mengikutinya sejak tadi.
"Kamu sapa?" ujarnya saat mendapati sosok bocah lebih kecil darinya tengah menuntun sepeda tanpa dinaiki.
Bocah kecil berwajah tampan yang ternyata Elfaris itu hanya tersenyum membalas ucapan Arfa. Nafasnya sedikit tersenggal. Rupanya sejak tadi Elfaris tidak menaiki sepedanya. Ia justru malah menuntunnya seraya membuntuti Arfa dari belakang.
"Issh dasal anak aneh. Ditanya bukanya jaab, maah senum.. Huh! Aneh banet.." Arfa bergidik tidak mengerti. Ia pun kembali menatap jalanan kompleks didepannya.
Arfa mulai duduk dijok sepedanya dan kembali siap ia lajukan lagi.
Dengan waktu yang bersamaan. Elfaris kembali menuntun sepedanya. Ia mengikuti kemana Arfa pergi dan mengekorinya tanpa lelah.
Arfa menoleh. Rupanya lagi-lagi sosok bocah kecil dibelakangnya itu mengikutinya. Arfa berusaha menghindar. Kecepatan mengayuh sepedanya pun semakin ia percepat agar bisa jauh dan berhenti diikuti terus.
"Hosh-hosh-hosh.." nafas Elfaris tersenggal. Ia berlari cepat sambil tetap menuntun sepedanya. Wajahnya seketika menjadi panik saat sosok Arfa hampir saja menjauh dari pandangan matanya.
"Kakak tungguin.. Ais mau ikut kaak... Jangan tinggalin Ais, tunggu..
Ais mau main sepeda sama kakak.. Tunggu kaak.. Tungguin Ais.." Elfaris membatin dengan mata berkaca. Ia terus mempercepat langkahnya dengan stang sepeda dan jok yang ia pegang dan dituntun olehnya.
Air matanya pun seketika tumpah saat dirinya hampir tidak bisa mengejar kecepatan laju sepeda Arfa.
"BRUKK!!"
Tiba-tiba saja Elfaris menjatuhkan sepedanya. Sepeda yang ukurannya lebih besar dari pada tubuhnya itu ia jatuhkan begitu saja.
Elfaris berdiri memandang pilu sosok Arfa yang sudah sangat jauh dan hilang dari pandangan matanya.
"Hiks..bunda.. Ais mau main buun..
Ais cuma mau main sepeda aja. Tapi kakak itu tinggalin Ais..hiks bunda..
Kenapa kakak itu tinggalin Ais? Kenapa kakak itu gak mau main sama Ais buun..hiks..hiks..bundaa." Elfaris terisak tersedu-sedu. Air matanya semakin banyak keluar membasahi wajah tampan dan pipi chuabynya itu.
"Duh Gusti.. Den Faris kemana aja ini?
Bibi dari tadi nyariin aden ternyata ada disini toh?
Aden kenapa mainnya jauh-jauh deen?
Kalau nanti aden kenapa-napa gimana?
Bibi bisa dimarahin ayah sama bunda aden nantinya deen.. Duh Gusti.." sosok ibu paruh baya ini berlari dengan langkah kecilnya menghampiri Elfaris. Terlihat raut wajahnya sangat khawatir akan keadaan Elfaris anak yang diasuhnya.
"Hiks..bibi.. Hiks bi... Ais mau bunda..
Hiks.. Bibii.." Elfaris menatap lirih sosok ibu paruh baya yang tak lain adalah bi Min pengasuhnya.
"Loh-loh? Den Faris kenapa toh?
Iki kenapa aden bisa nangis gini?
Trus itu kenapa sepedanya jadi jungkir balik gitu den?" bi Min terpelongo kaget melihat keadaan Elfaris yang menangis dengan sepeda yang tergeletak disampingnya.
Elfaris langsung menubruk tubuh gemuk bi Min. Ia menenggelamkan wajah tampannya diperut bi Min. Bocah kecil itu menangis tersedu sambil memeluk tubuh gempal bi Min.
"Hiks..bibi.. Hiks.. Bibii...hiks." lirihnya masih saja terisak.
Bi Min membalas pelukan kecil dari Elfaris. Ia mencoba berjongkok menyamai tinggi bocah tampan itu. Pelukan Elfaris pun dilepasnya. Wajah Elfaris bi Min usap dengan penuh kasih sayang dan pilu.
"Jangan nangis toh den..
Aden kan laki-laki. Ingat pesan ayah aden Faris kan?
Aden gak boleh sering nangis. Karna anak laki-laki itu gak boleh cengeng.
Kita pulang sekarang yah? Nanti biar aden cerita semuanya dirumah.
Sini bi Min gendong. Biar sepedanya nanti bibi tuntun.." ujarnya terdengar lembut penuh kasih sayang.
Elfaris hanya menjawab dengan anggukan kecil. Ia membiarkan ibu paruh baya itu menggendong tubuh kecilnya. Dada Elfaris masih terlalu sesak dan tidak dapat berbicara banyak.
"Hiks.. Bibi baik banget sama Ais.
Bibi selalu gendong Ais kalau Ais nangis..
Coba yang gendong Ais itu bunda..
Ais kangen bunda buun..
Kenapa sih bunda gak datang temuin Ais juga?
Bunda udah lupa sama Ais?
Bunda udah gak sayang lagi sama Ais?
Ais disini kangen sama bunda.. Ais juga kangen ayah buun.." Elfaris membatin lirih. Wajahnya ia tenggelamkan dengan kelopak mata yang ia pejamkan penuh kesedihan.
**
Sedari tadi sosok perempuan cantik ini tengah berdiri didepan pagar rumah yang dihuni oleh jagoan kecilnya.
Ia keluar dari Jazz hitamnya seraya memandangi rumah mewah dihadapannya itu.
Perempuan cantik yang ternyata Franda ini menatap bingung karna rumah dihadapannya tampak sepi tak berpenghuni.
"Ya Tuhan anak aku mana?
Kenapa rumah ini sepi banget?
Bi Min juga dipanggilin gak nyahut-nyahut. Dia kemaaa.." tiba-tiba ucapan Franda menggantung. Seketika kepanikannya menjadi terukir senyum saat melihat sosok ibu paruh baya menggendong jagoan kecilnya dan berjalan menghampirinya.
"A..Ais?" Franda memekik kaget. Rasanya hatinya menjadi lega saat melihat sosok bocah tampan itu.
"Duh Gusti... Den, aden lihat itu siapa yang didepan rumah den?" bi Min mengguncang tubuh Elfaris agar berbalik menatap kearah depan.
"Yang mana bi? Memangnya itu siapa?" Elfaris memicingkan matanya mencari orang yang dimaksud bi Min.
"Itu den itu...
Duh Gusti.. Akhirnya doa aden dikabul sing Gusti pangeran juga den.."
"Bunda?" pekik Elfaris kaget. Ia baru menyadari kalau yang bi Min maksud itu adalah Franda sang bunda.
"Iya itu bunda aden den.." bi Min mengangguk diiringi senyuman haru akan kedatangan majikannya.
Elfaris buru-buru turun dari gendongan bi Min. Bocah tampan itu berlari cepat menghampiri sang bunda yang sangat dirindukannya.
"Bundaaa!!
Bundaa...hiks bundaaaa..." Elfaris berteriak lirih dengan mata berkaca. Langkahnya ia percepat agar bisa segera mendekap sosok yang lama tidak ditemuinya.
"Ais?.. Ais anak bunda..
Ais jagoan bunda... Aisss..." Franda ikut berlari kecil menghampiri Elfaris. Sosok ibu dan anak itu akhirnya bertemu dan langsung memeluk erat satu sama lain.
"Bundaaa...hiks bundaa..
Ais kangen bunda.. Ais kangen sama bunda buun..hiks bundaa.." Elfaris menangis terisak sambil memeluk tubuh Franda
"Iya sayang.. Bunda juga kangen sama Ais..
Bunda kangen banget sama Ais.. Bunda kangen Ais..." Franda membalas dekapan erat nan hangat yang baru bisa dirasakannya lagi itu. Ia mengecupi wajah Elfaris beberapa kali. Puncak kepala Elfaris diusapnya, dikecupnya dan terus didaratkannya kecupan-kecupan penuh kasih serta rasa rindu terhadap jagoan kecilnya.
Elfaris tidak mampu berkata-kata lagi. Air matanya sudah mewakili semua perasaan rindu mendalam akan sosok sang bunda tercinta. Kedua tangannya bahkan sangat erat memeluk tubuh Franda seolah tidak mau lagi melepaskannya.
"Ya Tuhan.. Kenapa aku tega tinggalin anak aku sendiri disini?
Maafin bunda Ais.. Maafin bunda sayang.. Maafin bunda.." Franda membatin lirih terisak. Ia terus menciumi wajah tampan Elfaris. Punggung Elfaris dielusnya penuh kehangatan. Tubuh bocah tampan itu pun digendongnya cepat agar bisa lebih leluasa memeluk serta mendekapnya.
"Hiks..jangan pelnah tinggalin Ais lagi buun..
Ais mohoon..
Ais gamau ditinggalin bunda lagi..
Ais mau bunda disini telus..
Ais mohoon..
Ais sayang bunda..hiks.." suara Elfaris terdengar sangat menyesakkan ditelinga.
Franda hanya bisa ikut menangis mendengar permintaan buah hati tercintanya.
"Kita masuk sekarang ya sayang?
Bunda janji bunda akan temenin Ais.
Bunda kesini juga khusus buat Ais.. Cuma buat Ais sayang.. Mmuach! Bunda sayang sama Ais.." Franda mengecup kening Elfaris lalu beranjak membawanya masuk.
Bi Min tersenyum haru. Air matanya sampai keluar melihat adegan yang selalu membuatnya menangis jika Elfaris sudah bertemu dengan sang bunda atau ayahnya.
"Andai den Bisma juga bisa hadir disini.
Bibi yakin den Faris pasti akan sangat-sangat lebih bahagia lagi..
Den.. Kapan aden Bisma mau kesini?
Aden gak kasihan toh sama anakmu yang masih sangat kecil itu? Bibi aja gak tega den lihatnya.." bi Min membatin memandang kepergian Franda dan Elfaris yang mulai masuk kedalam rumahnya. Ia ikut berjalan masuk seraya menuntun sepeda yang dibawa Elfaris tadi saat bermain.
Menaruh sepeda itu digarasi, dan segera menyusul majikannya kedalam.
**
Setelah cukup lama melepas rasa rindu dengan bercengkrama dan saling bercerita. Sosok ibu dengan jagoan kecilnya itu kini membawa jagoan kecilnya menuju dapur.
Franda rupanya akan memasak menu untuk makan malam nanti.
"Ais mau dimasakkin apa sama bunda sayang?" Franda menatap wajah tampan jagoan kecilnya yang tengah ia gendong.
Elfaris hanya melemparkan senyuman kecil. Kepalanya menggeleng. Ia kemudian kembali menenggelamkan wajahnya didada sang bunda. Kedua tangannya masih erat memeluk tubuh sang bunda.
Franda tersenyum. Rasanya ia mengerti kenapa Elfaris bisa menjadi bersikap seperti ini padanya. Mungkin karna lama tidak bertemu, dan tentunya karna Elfaris memang sangat dekat dengannya.
"MUACH! Yaudah bundanya masak dulu yah?
Ais suka ayam tepung kan?
Nanti bunda buatin ayam tepung kesukaan Ais.
Sekalian bunda gorengin sossis sama nuggetnya juga.
Habis itu kita makan.. Nanti bunda siapin, gimana sayang?" tawar Franda lembut.
Elfaris mengangguk cepat tanda setuju. Wajahnya lalu ia senderkan lagi didada sang bunda.
Ia memang tergolong anak yang pendiam tidak banyak bicara.
"Pinter anaknya bunda. Muach!
Yaudah bundanya masak dulu yah?
Ais tunggu disini. Biar bunda siapin makanannya dulu buat Ais.." Franda mengecup kening Elfaris. Tubuh bocah tampan itu didudukkannya diatas meja yang terdapat diarea dapur.
"Bunda.." panggil Elfaris tiba-tiba.
"Iya sayang.. Kenapa hem?" Franda menoleh menatap wajah tampan Elfaris.
Elfaris berdiri diatas meja makan. Ia kembali mendekap tubuh Franda saat berhasil ia jangkau. Dirinya terlalu merindukan sang bunda hingga sedari tadi sangat senang memeluk tubuh bundanya itu.
"Ya Tuhan.. Dia sampe bersikap kayak gini sama aku?
Dia terus-terusan peluk aku. Dia bahkan seperti yang takut aku tinggal lagi.." Franda membatin iba melihat sikap Elfaris.
"Kejam banget sih kamu Fran..
Kamu gak kasihan sama anak ini?
Kamu tega biarin batinnya tersiksa.
Anak sekecil ini Franda.." lirihnya lagi. Tanpa terasa bulir bening air mata kembali keluar dari sudut matanya.
"Ais sayang bunda. Pokoknya Ais gak akan bialin bunda pelgi lagi.
Ais bakalan peluk bunda telus, bial bunda gak bisa pelgi..
Ais sayang bunda buun.. Ais sayang bunda.." batin Elfaris memejamkan matanya lirih.
Dadanya terasa sesak jika harus kehilangan sang bunda lagi dan ditinggalkannya kembali.
**
"Loh den Bisma?"
"I..iya bi. Aisnya mana?"
"A..anu den.. Den Faris anu..
Eh maksud bibi.. Anu den Faris.."
"Anu Ais kenapa emangnya bi?" Bisma bertanya polos
"E..enggak den.. M..maksud bibi den Faris ada didalam..
Di..dia lagi didapur den..
Den Bisma kedapur aja monggo.." ujar bi Min mempersilahkan Bisma masuk.
"Didapur? Ais ngapain didapur?" Bisma mengerutkan keningnya bingung.
"Yaudah bi. Saya masuk dulu.
Nanti tolong bawa masuk semua mainan dimobil saya yah.
Saya gak bisa bawa semua, soalnya terlalu banyak.
Saya kedapur dulu bi.." Bisma beranjak masuk kedalam rumahnya. Ia menenteng dua kantung plastik putih berisikan kotak mainan untuk jagoan kecilnya.
"Ya Alloh.. Ini bener-bener tidak sesuai dugaan..
Ternyata den Bisma sama non Franda bisa ada disini lagi.
Dan itu secara bersamaan.
Duh Gusti.. Den Faris pasti bahagia tenan..
Semoga aden terus bahagia den.. Bibi gak tega kalau lihat aden nangis terus..
Den Bisma sama non Franda.. Hihi.. Bibi yakin mereka pasti bisa buat den Faris bahagia hari ini..
Terimakasih Gusti..." bi Min tersenyum senang melihat kedatangan Bisma majikannya. Ia sampai tak henti mengucap syukur akan kehadiran dua sosok yang sangat dinanti oleh Elfaris bocah yang diasuhnya.
Bersambung...
"Mah, Arfa mau main sepedaan dulu yah?" suara bocah tampan yang mengaku bernama Arfa ini berjalan keluar dari area rumahnya dengan menuntun sepeda roda dua kesayangannya.
Tidak ada sahutan dari sang mamah. Bocah kecil itu hanya tersenyum menatap pintu rumahnya.
"Mamah pasti ladi didalam. Hihi mudahan aja mamah gak nyaiin Arfa.
Arfa pamit mahh.. Assamikum.." ujarnya lagi diiringi senyum kecil.
Arfa keluar dari area rumahnya. Sore yang sejuk ini dirinya memang ingin bersepeda mengelilingi kompleks perumahan dimana keluarga kecilnya baru saja berpindah rumah diarea tersebut.
"Lalala Arfa senang sekai.. Besepe..da." Arfa bersenandung riang seraya mengayuh santai sepeda roda dua yang dinaikinya.
Bocah kecil itu berputar-putar mengelilingi kompleks tempat tinggalnya. Ia tidak pergi terlalu jauh. Hanya mengelilingi area didepan rumahnya saja. Tak heran jika Elfaris merasa tertarik saat melihat bocah tersebut melintas didepan rumahnya seraya bersepeda.
"Pelasaan Ais punya sepeda yang kayak kakak itu.
Iya! Ais punya. Dulu ayah pelnah beliin Ais!" pekiknya tiba-tiba. Ia langsung beranjak dari tempatnya dan berlari sepat saat mengingat kalau dirinya juga memiliki sepeda roda dua yang serupa dengan Arfa.
"Loh, loh den?
Den Faris mau kemana toh?" bi Min terpelongo heran saat mendapati bocah tampan yang diasuhnya keluar rumah seraya menuntun sepeda.
"Ais mau belsepeda bi. Bibi jangan lalang Ais yah.
Ais gak akan jauh-jauh ko, cuma mainnya didepan lumah aja. Dadi bibi gapelu khawatil.." Elfaris berujar tanpa menoleh dan menghentikan langkahnya.
Bi Min hanya terpelongo melihat sikap anak yang diasuhnya itu.
"Itu kan sepedanya terlalu besar.
Lagian den Faris mana bisa toh naik sepeda roda dua kayak gitu?
Ndak bisa itu. Sepeda den Faris ada yang lebih kecil, dan itu ada roda bantunya. Gak seperti iki to.." Bi Min tampak berfikir bingung sendiri dengan apa yang dilihatnya.
"Walah.. Yo wiss lah. Sing penting den Faris seneng. Gak sedih lagi.
Bibi yakin den Faris bisa sedikit menghibur diri dengan main sepeda." fikirnya lagi. Bibirnya sekilas tersenyum saat mengingat wajah ceria Elfaris yang dilihatnya tadi.
Bi Min pun kembali masuk dan meneruskan pekerjaannya yang belum selesai semua.
Sementara Elfaris sudah berlalu keluar dari rumah dengan membawa sepeda roda dua yang dituntunnya.
**
"Pergi, jangan. Pergi, jangan. Pergi, ja...?"
"Asssh yaudah pergi aja deh.
Gue bukan Franda yang selalu egois dan bisanya cuma marah-marah doang.
Jadi mau gak mau, gue hari ini harus ke Bandung juga. Biar dia tau kalo gue gak seegois yang dia kira.
Yang lebih egois tuh Franda, bukan gue!" Bisma beranjak dari kursi kerjanya. Setelah berfikir cukup lama. Akhirnya ayah satu anak itu pun memutuskan untuk menemui jagoan kecilnya yang sudah lama ia abaikan.
"Lo lihat Fran, siapa yang sebenernya egois dan nyebelin!
Elo atau gue.
Harusnya lo bisa berfikir seratus kali lagi untuk bilang gue egois.
Gue tuh gak egois, tapi justru ELO yang egois! Camkan itu." Bisma tersenyum kecut penuh keyakinan akan apa yang dilakukannya ini.
Wajah Franda muncul dibenaknya, muncul dengan segala amarah dan rasa benci jika sudah mengingat sosok perempuan cantik yang masih berstatus istrinya itu.
Bisma keluar dari ruangan kerjanya. Meski keadaan sudah sore. Tapi ia memang masih saja asik berkutat dengan pekerjaannya.
Jika menyangkut soal pekerjaan dikantor, Bisma memang sering kali lupa waktu. Maka tak heran jika jagoan kecil satu-satunya bisa terabaikan akan sikapnya ini.
Sementara itu...
Berbeda dengan Bisma. Franda perempuan cantik ini justru tengah termenung menatap gundukan tanah merah yang kini sudah ditumbuhi rerumputan kecil.
Dua buah batu nisan berdampingan dipandangnya pilu. Terlihat ukiran nama kedua orang tuanya lengkap dengan hari lahir dan wafatnya mereka. Franda mengelus batu nisan berwarna hitam tersebut. Ada rasa sesak saat mengingat sosok kedua orang tuanya yang kini tidak dapat dijumpainya lagi karna telah tiada.
"Kalau lo mau protes, sana protes sama kedua orang tua lo dan orang tua gue!
Sana lo pergi ketempat pemakaman mereka!
Bilang kalau lo gak suka dinikahin sama gue.
Bilang juga kalau lo gak suka dengan semua ini!
Sana lo bilang!
Kalo perlu lo marahin mereka habis-habisan!
Lo caci maki mereka, biar hati lo PUAS dan lo gak ngerasa terus-terusan bener sendiri akan semua ini!
Bilang sana Fran, BILANG!!"
Tiba-tiba saja air mata Franda jatuh menetes keluar dari sudut matanya. Kalimat demi kalimat yang pernah Bisma ucapkan padanya seolah terngiang saat melihat gundukan tanah merah dihadapannya itu.
Kalimat dimana kala itu Bisma dan dirinya tengah ribut hebat akibat sama-sama keras dan egois.
"Maah, paah.. Apa Nda harus salahin kalian?
Nda gak bermaksud nyalahin mamah sama papah..
Nda cuma gak ngerti aja sama sikap Bisma yang sekarang.
Bisma udah beda banget mah, Bisma gak seperti Bisma yang dulu.
Dia sekarang kasar, Bisma bahkan gak pernah bisa bersikap lembut didepan Nda lagi.
Bisma beneran beda mah.. Dia beda..hiks." Franda terisak menatap dua batu nisan didekatnya.
Sifat Bisma saat dulu dan sekarang memang sangat berlawanan. Ia tidak bisa bersikap lembut padanya lagi, terlebih semenjak kedua orang tuanya meninggal.
Semua sikap baik Bisma seolah sirna seiring dengan kepergian kedua orang tuanya.
"Kalau mamah sama papah masih ada, mungkin hidup Franda gak akan jadi seburuk ini..
Maafin Nda mah, pah.
Maaf kalau Nda belum bisa menjadi apa yang papah mamah inginkan.
Nda sedang berusaha. Nda janji akan urus dan gantiin semua bisnis papah diperusahaan. Nda akan jalani itu semua. Sebisa dan semampu Nda.
Nda janji pah mah.. Nda sayang kalian.." Franda mengelus dua batu nisan berukirkan nama kedua orang tuanya itu. Satu kecupan pun masing-masing ia daratkan diatas nisan tersebut.
Tak lama Franda beranjak. Ia tidak mau berlama-lama berada ditempat pemakaman yang sudah cukup sepi itu.
Dirinya harus segera pergi menuju rumah tempat jagoan kecilnya tinggal. Karna itu memang tujuan utama Franda pergi kekota Bandung ini.
"Papah tidak pernah minta apapun dari kamu.
Papah tidak pernah minta kamu buat jadi papah agar bisa mengurus semua perusahaan.
Yang papah inginkan hanya satu.
Rawat dan besarkan cucu kesayangan papah..
Rawat Elfaris Karisma Stefanus.
Besarkan dan didik dia dengan kasih sayang penuh.
Tapi kamu dan Bisma tidak bisa mewujudkan semua itu.
Kalian berdua egois.
Kalian tega membiarkan cucu kesayangan papah sendiri.
Kalian benar-benar egois.."
Tiba-tiba sosok lelaki paruh baya berpakaian serba putih ini menatap penuh kesedihan akan kedatangan Franda dirumah peristirahatan terakhirnya.
Ia seperti menangis jika mengingat keadaan sang cucu kesayangan, yang sangat jauh dari harapan serta impiannya.
Tak lama sosok itu pun lenyap. Ia menghilang begitu saja saat Franda sudah mulai menjauh dan pergi dari tempat tersebut.
**
Bocah kecil berwajah tampan dan polos ini masih saja asik mengayuh sepeda miliknya.
Entah sudah berapa putaran ia berkeliling dijalanan depan rumahnya yang cukup luas itu.
Dirinya begitu asyik. Ia bahkan sampai tidak menyadari kalau ada bocah kecil lain yang membuntutinya sejak tadi.
"Arfa ingin begini, Arfa ingin begitu
ingin ini ingin itu banyak sekai..
Semuah semua semuah dapat dikabukan
dapat dikabulkan denan katong ajaib..
Arfa ingin tebang bebas diakasa
hei! Baing-baing babu..
La-la-la Arfa sayan sekai.. Doaemon.."
"La-la-la.. Arfa sayan sekai...
Doa e...." tiba-tiba saja Arfa menghentikan senandung lagu yang tengah dinyanyikannya.
Sepeda yang masih dikayuhnya pun ikut ia hentikan. Kepalanya buru-buru menoleh kebelakang. Sepertinya ia baru menyadari kalau ada yang mengikutinya sejak tadi.
"Kamu sapa?" ujarnya saat mendapati sosok bocah lebih kecil darinya tengah menuntun sepeda tanpa dinaiki.
Bocah kecil berwajah tampan yang ternyata Elfaris itu hanya tersenyum membalas ucapan Arfa. Nafasnya sedikit tersenggal. Rupanya sejak tadi Elfaris tidak menaiki sepedanya. Ia justru malah menuntunnya seraya membuntuti Arfa dari belakang.
"Issh dasal anak aneh. Ditanya bukanya jaab, maah senum.. Huh! Aneh banet.." Arfa bergidik tidak mengerti. Ia pun kembali menatap jalanan kompleks didepannya.
Arfa mulai duduk dijok sepedanya dan kembali siap ia lajukan lagi.
Dengan waktu yang bersamaan. Elfaris kembali menuntun sepedanya. Ia mengikuti kemana Arfa pergi dan mengekorinya tanpa lelah.
Arfa menoleh. Rupanya lagi-lagi sosok bocah kecil dibelakangnya itu mengikutinya. Arfa berusaha menghindar. Kecepatan mengayuh sepedanya pun semakin ia percepat agar bisa jauh dan berhenti diikuti terus.
"Hosh-hosh-hosh.." nafas Elfaris tersenggal. Ia berlari cepat sambil tetap menuntun sepedanya. Wajahnya seketika menjadi panik saat sosok Arfa hampir saja menjauh dari pandangan matanya.
"Kakak tungguin.. Ais mau ikut kaak... Jangan tinggalin Ais, tunggu..
Ais mau main sepeda sama kakak.. Tunggu kaak.. Tungguin Ais.." Elfaris membatin dengan mata berkaca. Ia terus mempercepat langkahnya dengan stang sepeda dan jok yang ia pegang dan dituntun olehnya.
Air matanya pun seketika tumpah saat dirinya hampir tidak bisa mengejar kecepatan laju sepeda Arfa.
"BRUKK!!"
Tiba-tiba saja Elfaris menjatuhkan sepedanya. Sepeda yang ukurannya lebih besar dari pada tubuhnya itu ia jatuhkan begitu saja.
Elfaris berdiri memandang pilu sosok Arfa yang sudah sangat jauh dan hilang dari pandangan matanya.
"Hiks..bunda.. Ais mau main buun..
Ais cuma mau main sepeda aja. Tapi kakak itu tinggalin Ais..hiks bunda..
Kenapa kakak itu tinggalin Ais? Kenapa kakak itu gak mau main sama Ais buun..hiks..hiks..bundaa." Elfaris terisak tersedu-sedu. Air matanya semakin banyak keluar membasahi wajah tampan dan pipi chuabynya itu.
"Duh Gusti.. Den Faris kemana aja ini?
Bibi dari tadi nyariin aden ternyata ada disini toh?
Aden kenapa mainnya jauh-jauh deen?
Kalau nanti aden kenapa-napa gimana?
Bibi bisa dimarahin ayah sama bunda aden nantinya deen.. Duh Gusti.." sosok ibu paruh baya ini berlari dengan langkah kecilnya menghampiri Elfaris. Terlihat raut wajahnya sangat khawatir akan keadaan Elfaris anak yang diasuhnya.
"Hiks..bibi.. Hiks bi... Ais mau bunda..
Hiks.. Bibii.." Elfaris menatap lirih sosok ibu paruh baya yang tak lain adalah bi Min pengasuhnya.
"Loh-loh? Den Faris kenapa toh?
Iki kenapa aden bisa nangis gini?
Trus itu kenapa sepedanya jadi jungkir balik gitu den?" bi Min terpelongo kaget melihat keadaan Elfaris yang menangis dengan sepeda yang tergeletak disampingnya.
Elfaris langsung menubruk tubuh gemuk bi Min. Ia menenggelamkan wajah tampannya diperut bi Min. Bocah kecil itu menangis tersedu sambil memeluk tubuh gempal bi Min.
"Hiks..bibi.. Hiks.. Bibii...hiks." lirihnya masih saja terisak.
Bi Min membalas pelukan kecil dari Elfaris. Ia mencoba berjongkok menyamai tinggi bocah tampan itu. Pelukan Elfaris pun dilepasnya. Wajah Elfaris bi Min usap dengan penuh kasih sayang dan pilu.
"Jangan nangis toh den..
Aden kan laki-laki. Ingat pesan ayah aden Faris kan?
Aden gak boleh sering nangis. Karna anak laki-laki itu gak boleh cengeng.
Kita pulang sekarang yah? Nanti biar aden cerita semuanya dirumah.
Sini bi Min gendong. Biar sepedanya nanti bibi tuntun.." ujarnya terdengar lembut penuh kasih sayang.
Elfaris hanya menjawab dengan anggukan kecil. Ia membiarkan ibu paruh baya itu menggendong tubuh kecilnya. Dada Elfaris masih terlalu sesak dan tidak dapat berbicara banyak.
"Hiks.. Bibi baik banget sama Ais.
Bibi selalu gendong Ais kalau Ais nangis..
Coba yang gendong Ais itu bunda..
Ais kangen bunda buun..
Kenapa sih bunda gak datang temuin Ais juga?
Bunda udah lupa sama Ais?
Bunda udah gak sayang lagi sama Ais?
Ais disini kangen sama bunda.. Ais juga kangen ayah buun.." Elfaris membatin lirih. Wajahnya ia tenggelamkan dengan kelopak mata yang ia pejamkan penuh kesedihan.
**
Sedari tadi sosok perempuan cantik ini tengah berdiri didepan pagar rumah yang dihuni oleh jagoan kecilnya.
Ia keluar dari Jazz hitamnya seraya memandangi rumah mewah dihadapannya itu.
Perempuan cantik yang ternyata Franda ini menatap bingung karna rumah dihadapannya tampak sepi tak berpenghuni.
"Ya Tuhan anak aku mana?
Kenapa rumah ini sepi banget?
Bi Min juga dipanggilin gak nyahut-nyahut. Dia kemaaa.." tiba-tiba ucapan Franda menggantung. Seketika kepanikannya menjadi terukir senyum saat melihat sosok ibu paruh baya menggendong jagoan kecilnya dan berjalan menghampirinya.
"A..Ais?" Franda memekik kaget. Rasanya hatinya menjadi lega saat melihat sosok bocah tampan itu.
"Duh Gusti... Den, aden lihat itu siapa yang didepan rumah den?" bi Min mengguncang tubuh Elfaris agar berbalik menatap kearah depan.
"Yang mana bi? Memangnya itu siapa?" Elfaris memicingkan matanya mencari orang yang dimaksud bi Min.
"Itu den itu...
Duh Gusti.. Akhirnya doa aden dikabul sing Gusti pangeran juga den.."
"Bunda?" pekik Elfaris kaget. Ia baru menyadari kalau yang bi Min maksud itu adalah Franda sang bunda.
"Iya itu bunda aden den.." bi Min mengangguk diiringi senyuman haru akan kedatangan majikannya.
Elfaris buru-buru turun dari gendongan bi Min. Bocah tampan itu berlari cepat menghampiri sang bunda yang sangat dirindukannya.
"Bundaaa!!
Bundaa...hiks bundaaaa..." Elfaris berteriak lirih dengan mata berkaca. Langkahnya ia percepat agar bisa segera mendekap sosok yang lama tidak ditemuinya.
"Ais?.. Ais anak bunda..
Ais jagoan bunda... Aisss..." Franda ikut berlari kecil menghampiri Elfaris. Sosok ibu dan anak itu akhirnya bertemu dan langsung memeluk erat satu sama lain.
"Bundaaa...hiks bundaa..
Ais kangen bunda.. Ais kangen sama bunda buun..hiks bundaa.." Elfaris menangis terisak sambil memeluk tubuh Franda
"Iya sayang.. Bunda juga kangen sama Ais..
Bunda kangen banget sama Ais.. Bunda kangen Ais..." Franda membalas dekapan erat nan hangat yang baru bisa dirasakannya lagi itu. Ia mengecupi wajah Elfaris beberapa kali. Puncak kepala Elfaris diusapnya, dikecupnya dan terus didaratkannya kecupan-kecupan penuh kasih serta rasa rindu terhadap jagoan kecilnya.
Elfaris tidak mampu berkata-kata lagi. Air matanya sudah mewakili semua perasaan rindu mendalam akan sosok sang bunda tercinta. Kedua tangannya bahkan sangat erat memeluk tubuh Franda seolah tidak mau lagi melepaskannya.
"Ya Tuhan.. Kenapa aku tega tinggalin anak aku sendiri disini?
Maafin bunda Ais.. Maafin bunda sayang.. Maafin bunda.." Franda membatin lirih terisak. Ia terus menciumi wajah tampan Elfaris. Punggung Elfaris dielusnya penuh kehangatan. Tubuh bocah tampan itu pun digendongnya cepat agar bisa lebih leluasa memeluk serta mendekapnya.
"Hiks..jangan pelnah tinggalin Ais lagi buun..
Ais mohoon..
Ais gamau ditinggalin bunda lagi..
Ais mau bunda disini telus..
Ais mohoon..
Ais sayang bunda..hiks.." suara Elfaris terdengar sangat menyesakkan ditelinga.
Franda hanya bisa ikut menangis mendengar permintaan buah hati tercintanya.
"Kita masuk sekarang ya sayang?
Bunda janji bunda akan temenin Ais.
Bunda kesini juga khusus buat Ais.. Cuma buat Ais sayang.. Mmuach! Bunda sayang sama Ais.." Franda mengecup kening Elfaris lalu beranjak membawanya masuk.
Bi Min tersenyum haru. Air matanya sampai keluar melihat adegan yang selalu membuatnya menangis jika Elfaris sudah bertemu dengan sang bunda atau ayahnya.
"Andai den Bisma juga bisa hadir disini.
Bibi yakin den Faris pasti akan sangat-sangat lebih bahagia lagi..
Den.. Kapan aden Bisma mau kesini?
Aden gak kasihan toh sama anakmu yang masih sangat kecil itu? Bibi aja gak tega den lihatnya.." bi Min membatin memandang kepergian Franda dan Elfaris yang mulai masuk kedalam rumahnya. Ia ikut berjalan masuk seraya menuntun sepeda yang dibawa Elfaris tadi saat bermain.
Menaruh sepeda itu digarasi, dan segera menyusul majikannya kedalam.
**
Setelah cukup lama melepas rasa rindu dengan bercengkrama dan saling bercerita. Sosok ibu dengan jagoan kecilnya itu kini membawa jagoan kecilnya menuju dapur.
Franda rupanya akan memasak menu untuk makan malam nanti.
"Ais mau dimasakkin apa sama bunda sayang?" Franda menatap wajah tampan jagoan kecilnya yang tengah ia gendong.
Elfaris hanya melemparkan senyuman kecil. Kepalanya menggeleng. Ia kemudian kembali menenggelamkan wajahnya didada sang bunda. Kedua tangannya masih erat memeluk tubuh sang bunda.
Franda tersenyum. Rasanya ia mengerti kenapa Elfaris bisa menjadi bersikap seperti ini padanya. Mungkin karna lama tidak bertemu, dan tentunya karna Elfaris memang sangat dekat dengannya.
"MUACH! Yaudah bundanya masak dulu yah?
Ais suka ayam tepung kan?
Nanti bunda buatin ayam tepung kesukaan Ais.
Sekalian bunda gorengin sossis sama nuggetnya juga.
Habis itu kita makan.. Nanti bunda siapin, gimana sayang?" tawar Franda lembut.
Elfaris mengangguk cepat tanda setuju. Wajahnya lalu ia senderkan lagi didada sang bunda.
Ia memang tergolong anak yang pendiam tidak banyak bicara.
"Pinter anaknya bunda. Muach!
Yaudah bundanya masak dulu yah?
Ais tunggu disini. Biar bunda siapin makanannya dulu buat Ais.." Franda mengecup kening Elfaris. Tubuh bocah tampan itu didudukkannya diatas meja yang terdapat diarea dapur.
"Bunda.." panggil Elfaris tiba-tiba.
"Iya sayang.. Kenapa hem?" Franda menoleh menatap wajah tampan Elfaris.
Elfaris berdiri diatas meja makan. Ia kembali mendekap tubuh Franda saat berhasil ia jangkau. Dirinya terlalu merindukan sang bunda hingga sedari tadi sangat senang memeluk tubuh bundanya itu.
"Ya Tuhan.. Dia sampe bersikap kayak gini sama aku?
Dia terus-terusan peluk aku. Dia bahkan seperti yang takut aku tinggal lagi.." Franda membatin iba melihat sikap Elfaris.
"Kejam banget sih kamu Fran..
Kamu gak kasihan sama anak ini?
Kamu tega biarin batinnya tersiksa.
Anak sekecil ini Franda.." lirihnya lagi. Tanpa terasa bulir bening air mata kembali keluar dari sudut matanya.
"Ais sayang bunda. Pokoknya Ais gak akan bialin bunda pelgi lagi.
Ais bakalan peluk bunda telus, bial bunda gak bisa pelgi..
Ais sayang bunda buun.. Ais sayang bunda.." batin Elfaris memejamkan matanya lirih.
Dadanya terasa sesak jika harus kehilangan sang bunda lagi dan ditinggalkannya kembali.
**
"Loh den Bisma?"
"I..iya bi. Aisnya mana?"
"A..anu den.. Den Faris anu..
Eh maksud bibi.. Anu den Faris.."
"Anu Ais kenapa emangnya bi?" Bisma bertanya polos
"E..enggak den.. M..maksud bibi den Faris ada didalam..
Di..dia lagi didapur den..
Den Bisma kedapur aja monggo.." ujar bi Min mempersilahkan Bisma masuk.
"Didapur? Ais ngapain didapur?" Bisma mengerutkan keningnya bingung.
"Yaudah bi. Saya masuk dulu.
Nanti tolong bawa masuk semua mainan dimobil saya yah.
Saya gak bisa bawa semua, soalnya terlalu banyak.
Saya kedapur dulu bi.." Bisma beranjak masuk kedalam rumahnya. Ia menenteng dua kantung plastik putih berisikan kotak mainan untuk jagoan kecilnya.
"Ya Alloh.. Ini bener-bener tidak sesuai dugaan..
Ternyata den Bisma sama non Franda bisa ada disini lagi.
Dan itu secara bersamaan.
Duh Gusti.. Den Faris pasti bahagia tenan..
Semoga aden terus bahagia den.. Bibi gak tega kalau lihat aden nangis terus..
Den Bisma sama non Franda.. Hihi.. Bibi yakin mereka pasti bisa buat den Faris bahagia hari ini..
Terimakasih Gusti..." bi Min tersenyum senang melihat kedatangan Bisma majikannya. Ia sampai tak henti mengucap syukur akan kehadiran dua sosok yang sangat dinanti oleh Elfaris bocah yang diasuhnya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak Komentar, Nggak Kece :p