Sebuah ruangan khusus berbentuk persegi bernuansa putih cerah.
Nampak sosok perempuan cantik tengah duduk menyender diatas kursi besarnya.
Pandangan matanya begitu serius menatap layar laptop dihadapannya. Jemari putihnya pun begitu lihai bermain diatas keypad laptop kesayangannya itu.


"Yes! Saham perusahaan ini udah mulai naik lagi.
Aaaaa!! Ini berkat kerjasama dengan perusahaan besar itu.
Uhh untungnya dia mau bantuin perusahaan ini. Kalo enggak, gak tau deh gimana nasib perusahaan yang selalu dibanggakan sama almarhum papah ini.
Mungkin udah gulung tikar gara-gara gue gak bisa ngurusinnya. Hufh.. Maafin Nda pah..
Nda belum bisa jaga amanah dari papah.."

Tarikan nafas panjang serta hempasan tubuh ramping perempuan cantik yang tengah meniti karirnya didunia bisnis ini terdengar lirih.
Ia memandang langit-langit ruangan pribadinya yang menjadi ruangan favoritnya itu.
Sebuah bayangan masa lalu pun kembali terekam.
Kejadian serta kenyataan pahit yang memilukan teringat kembali dimemori ingatannya.


"Papah sekarang udah gak ada Nda.
Papah kamu juga papah aku.
Mereka udah pergi.
Pergi untuk selamanya..
Mereka udah ninggalin kita.
M..mereka.."

"Hiks, enggak. Gak mungkin Bis, gak mungkinn..
Itu pasti bukan papah! Itu pasti bukan papah aku.
Papah gak mungkin naik pesawat itu. Gak mungkin Bisma..hiks."

Tubuh Franda seketika melemas. Ia mendapati kabar buruk serta menyakitkan untuk dirinya. Dadanya sesak, nafasnya seolah tidak dapat diaturnya lagi. Bulir bening air mata pun langsung tumpah membasahi kedua pipinya saat mendapat kabar kalau om Stev sang papah telah tiada akibat kecelakaan pesawat terbang.

"Brukk!!"

"F..Franda!!"


Bisma langsung menahan tubuh Franda yang langsung ambruk tak sadarkan diri.
Mungkin kenyataan pahit ini sangat sulit untuk diterimanya. Terlebih satu tahun lalu ia sudah ditinggalkan oleh sosok mamah yang selalu ada untuknya. Dan kini ia harus ditinggalkan oleh sang papah.
Franda benar-benar terpuruk akan hal tersebut.


"Sekarang aku dan kamu udah gak punya siapa-siapa lagi.
Saat mamah aku pergi, dia minta agar aku terus ada disamping kamu. Jagain kamu, dan besarin Ais bareng-bareng.
Dia minta itu sama aku disaat ajal hendak menjemputnya.
Dan papah kita juga selalu bilang kalau kita gak boleh sampai berpisah.
Kita harapan mereka satu-satunya. Kita impian mereka Nda, dan sekarang..?"

"Cukup Biss..
Aku gak mau bahas itu lagi.
Jangan harap dengan kejadian ini kamu bisa lebih seenaknya lagi sama aku.
Gak akan Bis, aku gak akan pernah biarin itu terjadi.
Kita tetap dengan perjanjian awal kita.
Gak ada yang bisa merubahnya termasuk kedua orang tua kita yang udah pergi sekalipun. Gak ada Bis!"

Bisma langsung terdiam. Entah harus dengan cara apalagi ia meyakinkan istrinya itu agar tidak bersikap egois terus menerus. Apalagi kini kedua orang tuanya tante Casma juga om Harison telah tiada. Begitu pun kedua orang tua Franda, tante Femmy dan om Stev. Semuanya telah tiada akibat kecelakaan maut yang tidak pernah terduga itu.

"Lalu bagaimana sama Ais Nda?
Apa kita tetap tega tinggalin dia di Bandung?
Siapa yang akan ngurusin dia?
Siapa yang akan rawat dia nanti?" Bisma menatap nanar wajah Franda dengan mata berkaca.

"Ais udah besar. Usia dia udah tiga tahun.
Aku rasa dia bisa hidup tanpa kita. Dan aku akan sewa pengasuh buat ngurusin dia.
Jadi kamu jangan pernah berharap yang macam-macam terhadap aku. JANGAN PERNAH!" tegas Franda menatap Bisma tajam penuh kedengkian.

"DEGG!!"

Jantung Bisma seolah berhenti berdetak.
Tubuhnya kaku dan sulit untuk ia gerakkan. Dua sungai kecil tanpa terasa sudah mengalir keluar dari sudut mata beningnya.


"Papah nyuruh aku buat gantiin posisi dia.
Itu adalah impian terbesar papah.
Dan impian dia bukan buat kembali bersatu sama kamu, BUKAN itu Bis!" Franda membatin yakin. Lamunannya pun seketika terbuyar. Perempuan cantik bermata sipit itu segera menyeka sudut matanya yang tak terasa mengeluarkan air mata.


"Tok-tok-tok!!"

Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan Franda yang diketuk dari luar.

Franda buru-buru membenarkan posisinya. Suara lembutnya pun terdengar begitu ramah.

"Masuk.." ujarnya pelan.

Tak lama terlihat sosok lelaki tampan berjas hitam dengan postur yang hampir sama dengan tubuh Bisma muncul dari balik pintu.

"Dicky?" Franda memekik kaget.

Lelaki tampan berwajah baby face yang ternyata Dicky itu melemparkan senyuman manisnya kearah Franda.

"Ada client yang dari Bandung. Katanya mau nanyain soal proposal yaang.."

"Oh iya! Duh aku sampe lupa.
Yaudah Ky, aku duluan yah.. Pak Rafa pasti udah nungguin.." Franda buru-buru mengemas tas hitam miliknya. Ia baru ingat kalau hari ini ia sudah ada janji dengan lelaki yang dipanggilnya Rafa tadi.

"Good luck yah.." ujar Dicky tersenyum lebar.

Franda mengacungkan ibu jarinya. Menunjukkannya kearah Dicky kemudian berlalu keluar meninggalkan Dicky.

"Wajahnya benar-benar hampir mirip dengan Kinara.
Ya Tuhan.. Apa ini kamu kedua Ra?
Kamu tinggalin aku disaat aku mau melamar kamu dulu.
Hampir dua tahun aku gak bisa lupain kamu.
Dan sekarang sosok Franda benar-benar selalu mengingatkan aku sama kamu.
Aku merasa kamu hidup kembali kalau aku melihat Franda.
Kinara Franda..
Kalian pasti diciptakan memang hanya buat aku. Aku yakin itu.." Dicky membatin memandangi tubuh Franda yang mulai lenyap dari pandangan matanya.
Rupanya ini adalah salah satu alasan kenapa Dicky bisa berada diperusahaan milik Franda ini.

Tak lama Dicky pun ikut keluar dari ruangan kerja Franda. Ia berlalu menuju ruangan kerjanya untuk mengurusi pekerjaannya yang masih belum ia selesaikan semua.





Sementara itu...



Sosok bocah tampan berkulit putih, cuaby dan bermata sipit.
Bocah berusia empat tahun yang ternyata jagoan kecil Bisma Franda atau Elfaris ini sudah tumbuh menjadi anak yang lucu dan tampan.
Ia tengah berdiri didepan pintu rumah mewah yang ditempatinya.
Suara tawa anak kecil membuatnya penasaran. Kedua kaki putihnya pun melangkah perlahan mencari sumber suara tersebut.


"Ahahaa.. Gamau, Arfa maunya disuapin sama mamah aja. Aaa mah, nati kaau papah pulang bau deh mamah disuapin sama papah.."

"Haha kamu itu yah, modus terus.. Uuu masa udah besar disuapin terus cih?
Yaudah sini mamah suapin. Sekalian telfon papah. Bilang kalau Arfa udah makan siang. Ayo sayang.."

"Iya mah, tal Arfa mau abil teponnya dulu. MUACH! Arfa sayan mamah.."

"Mamah juga sayang Arfa sayang.."


Seukir senyum kecil tersirat dari bibir mungil Elfaris.
Bocah tampan ini memandang dengan mata berkaca.
Kedua bola matanya tanpa kedip melihat adegan demi adegan bocah kecil dengan sang mamah didepan rumah miliknya.
Adegan yang sangat ia impikan dan ia dambakan bisa bercengkrama dengan sang mamah seperti bocah kecil tersebut.

"Bunda..
Ais kangen bunda buun.." ujarnya terdengar lirih.

Elfaris membalikkan tubuhnya. Ia tak kuasa berlama-lama memandang bocah laki-laki yang seumuran dengannya itu. Hatinya terasa sesak.
Sudah hampir satu bulan terakhir ini Franda sang bunda juga Bisma memang belum mengunjunginya lagi.
Menemuinya dan bercengkrama dengannya.
Semua itu sangat jarang dirasakannya.
Hanya dikala mereka memiliki waktu luang saja mereka mau menemuinya.


"Den.. Den Faris.."

Tiba-tiba suara ibu paruh baya terdengar dari dalam. Elfaris terkejut. Lagi-lagi suara bi Min yang selalu terdengar ditelinganya.

"Loh? Ko den Faris dipanggilin tapi gak nyahut-nyahut to?
Bi Min dari tadi sampe nyariin den Faris terus. Ternyata aden ada disini toh?" sosok ibu paruh baya atau bi Min itu muncul menghampiri Elfaris. Suara logat jawanya yang masih kental pun terdengar nyaring ditelinga.

Elfaris terdiam. Ia memandang sosok yang selalu menemaninya selama hampir satu tahun terakhir setelah kepergian oma dan opanya itu. Kedua bola matanya pun berkaca saat menatap ibu paruh baya tersebut.

"Den.. Aden kenapa?" bi Min mendekati Elfaris dan menyentuh pundaknya.

"Ais kangen bunda..
Ais kangen bunda bii.. Hiks.. Bundaaa..
Ais kangen bundaa.. Hiks." ujar Elfaris terisak lirih. Air matanya keluar membasahi wajah tampannya.
Suara yang kecil seolah menjerit begitu sakit karna kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

Bi Min langsung memeluk tubuh Elfaris. Ia mendekapnya layaknya menenangkan anak kandungnya sendiri.

"Hiks.. Bibi.. Kenapa bunda gak pulang-pulang?
Ais kangen bunda bi.. Ais pingin ketemu bunda..hiks-hiks.."

"Sabbar den.. Sabaar.
Mungkin bunda aden lagi sibuk.
Aden tau sendiri kan bunda juga sering bilang ditelfon kalau sekarang-sekarang ini bunda aden sedang sibuk.
Aden jangan sedih yah?
Kan masih ada bi Min disini. Aden jangan nangis.." bi Min mencoba menenangkan Elfaris yang menangis terisak.

Elfaris melepaskan kedua tangan bi Min yang mendekap tubuhnya. Ia mencoba mengatur nafasnya yang terasa sangat sesak itu.

"T..tapi ay..ayah juga udah lama gak kesini..
Ayah udah lupa sama Ais bi.
Pa..padahal biasanya ayah suka main tiap hali minggu. T..tapi sekalang ay..ayah.." Elfaris berucap tersedu-sedu. Dadanya sampai naik turun dengan nafas yang tersenggal akibat rasa sesak dihatinya.

"Mungkin ayah sama bunda benar-benar sibuk..
Aden jangan berfikiran yang macam-macam..
Lebih baik sekarang kita masuk?
Yuk? Nanti biar bi Min masakin makanan enak buat aden. Aden kan belum makan. Yuk den?" bujuk bi Min mencoba mencairkan suasana.

"T..tapi Ais maunya makan sama bunda.
Ais mau disuapin kaya anak yang tinggal didepan lumah Ais itu bi.
Dia tiap hali disuapin telus sama mamahnya.
Tapi Ais disuapinnya sama bibi. Ais kan pingin juga disuapin sama bunda.
Ais pingin bi.." jelas Elfaris terdengar begitu lirih menyesakkan. Bi Min sampai tidak kuasa menahan air matanya akibat permintaan bocah tampan yang diasuhnya itu.

"Kita masuk sekarang yuk?
Sini aden Faris biar bibi gendong..?" bi Min meraih tubuh Elfaris dan menggendongnya. Ia tidak mau Elfaris berlarut-larut dalam kesedihan terus-menerus. Mungkin dengan membawanya masuk ia bisa menghibur Elfaris didalam nanti dan melupakan kesedihan akibat rindu pada ayah bundanya.

"Non Franda, den Bisma. Bibi gak ngerti kenapa aden sama non tega ninggalin anak sekecil ini sendirian disini..
Bibi gak tega non denger den Faris sering nanyain non Franda terus.
Den Bisma juga, den Faris sering nanyain kalian.
Bibi kasihan lihatnya. Dia masih kecil, tapi seperti tidak memiliki orang tua.." bi Min membatin penuh rasa iba. Ia terus melangkah membawa Elfaris masuk seraya mengelus dan menciumi puncak kepala bocah tampan itu.




**
"Lo dimana?"

"Bukan urusan lo!
Lagian, ngapain lo masih berani hubungin gue?"

"Issh.. Gue hubungin lo karna gue gak mau yah lo terlalu sibuk sendiri.
Lo masih punya Ais. Lo harus ingat itu!"

"Heh, harusnya kata-kata itu lo tunjukkin buat diri lo sendiri.
Bukannya lo yang terlalu sibuk sendiri hah?
Kenapa lo malah nuduh ke gue?"

"Errr susah yah ngomong sama cewek keras kepala plus EGOIS kayak lo!
Bisanya cuma bikin darah tinggi naik doang!!"

"BRAKS!!"

Franda langsung menutup kasar sambungan telponnya. Gagang telfon dikantornya itu ia tutup dengan cukup kencang saat mendengar ocehan Bisma yang kembali membuat emosinya naik.

"Lo selalu kaya gini.
Lo juga selalu nyalahin gue.
Mau lo tuh apa sih Bis?
Kalau emang lo gak bisa kunjungin Elfaris disana, yaudah fine!
Berati elo emang gak peduli lagi sama anak lo itu.
Gue sendiri gak bisa kesana karna gue emang bener-bener sibuk. Gue gak main-main kayak lo!
Dasar cowok gila! Bisanya cuma bikin hidup gue tambah rumit doang. Aaaarrrgghh!!!" Franda menghempaskan tangannya keatas meja. Buku-buku serta file-file penting miliknya hingga jatuh berserakan akibat ia hempaskan.

Franda duduk diatas kursi kerjanya. Wajahnya terlihat memerah penuh amarah.

"Gue emang udah hampir sebulan ini gak kunjungin Ais.
Tapi gue bener-bener sibuk.
Gue kerja juga buat Ais. Buat masa depan dia.
Jadi lo gak bisa terus-terusan mojokkin gue terus.
Gue juga punya kehidupan sendiri, gue punya impian sendiri Bis selain harus ngikutin semua kata-kata lo itu!
Gue punya kehidupan sendiri Bisma!!" tegasnya penuh emosi.

"Maafin bunda..
Bunda gak bermaksud lupain Ais..
Bunda pasti temuin Ais ko sayang..
Kalau bunda ada waktu luang dan udah gak terlalu sibuk, bunda pasti pulang..
Bunda pasti akan temuin Ais. Bunda janji sayang.. Bunda janji.." Franda membuka laci kecil dibawah meja dihadapannya. Ia melihat photo jagoan kecilnya yang begitu manis dan tampan. Bingkai photo tersebut diusapnya lembut. Satu kecupan pun didaratkannya penuh kasih.




**
"Aaarrrgghh!!
Lo itu emang susah ya Fran!
Lo itu maunya menang sendiri terus!
Ngurusin perusahaan aja gak becus so banget pake pengen ngurusin perusahaan.
Kalo bukan karna gue cinta sama lo, mungkin gue udah ambil semua aset diperusahaan lo itu biar jadi milik gue.
Biar lo gak bisa kerja diperusahaan itu lagi dan berhenti jadi pebisnis seperti keinginan lo!
Lo itu gak berbakat jadi pebisnis, lo GAK BISA Frandaaa!!"

Bisma rupanya tampak sangat emosi.
Ia berteriak memaki dan memarahi istrinya yang masih berstatus sah itu.
Nafasnya sampai tersenggal dan dadanya naik turun dengan tempo cepat.

"Hubungan gue sama Franda udah bener-bener semakin memburuk.
Kenapa gue gak pernah bisa mengontrol emosi gue lagi.
Kenapa gue selalu ikut emosi kalau dia udah marah-marah dan nyalahin gue.
Kenapa ini?
Padahal gak sedikit pun gue pingin marah atau bentakkin dia. Gak ada.
Gue terlalu sayang sama elo Fran, tapi lo gak pernah bisa lihat ketulusan dari rasa sayang gue ini.
Lo selalu memandang gue sebelah mata." Bisma terduduk lemas diatas sofa panjang yang terdapat diruangan kerjanya.
Ia menghempaskan tubuhnya yang melemas kala mengingat sosok perempuan cantik yang menjadi istrinya itu.

"Gara-gara keegoisan gue sama Franda, Elfaris jadi terabaikan..
Maafin ayah Ais.. Ayah minta maaf..
Rasanya langkah kaki ayah selalu berat buat nemuin Ais.
Ayah gak pernah lupain Ais.
Kalau ayah gak sibuk, ayah pasti akan kesana.
Semoga kamu gak pernah benci sama ayah.. Semoga.." Bisma memejamkan matanya lirih.
Sikapnya kini menjadi egois bahkan lebih-lebih egois dari Franda.




**
"Setiap ayah atau bunda kesini pasti selalu bawa mainan.
Mainan Ais udah banyak buun..
Ais gapelu mainan lagi.
Ais cukup lihat bunda aja udah seneng.
Ais gak mau mainan, Ais maunya bunda.
Ais sayang bundaa.."

Air mata Franda tiba-tiba menetes mengingat suara serta kalimat yang dilontarkan oleh jagoan kecilnya.
Kado berukuran cukup besar berisi satu set mainan mobil-mobilan pun dijatuhkannya begitu saja.
Ia baru merasa kalau apa yang dilakukannya ini bukan yang diinginkan oleh buah hati kecilnya.

"Gak. Aku gak perlu bawa mainan lagi.
Aku yakin dengan kedatangan aku kesana aja Ais pasti seneng..
Iya aku yakin.
Anak aku gak perlu banyak mainan. Dia cuma perlu aku layaknya aku yang sangat memerlukan dia.
Aku gak butuh Bisma, tapi aku butuh Elfaris..
Hiks, maafin bunda Ais.
Gara-gara bunda benci sama ayah kamu, bunda jadi lupain Ais..
Maafin bunda ya sayang..
Sekarang juga bunda akan ke Bandung..
Semoga Ais gak pernah benci bunda..
Bunda gak bisa kalau harus dibenci sama Ais..
Bunda terlalu sayang sama Ais..
Bunda sayang Ais..hiks." Franda buru-buru menyeka air matanya.
Ia bergegas memutar arah keluar dari toko mainan yang tadi dijumpainya.
Mobil Alphard hitamnya pun segera ia naiki.
Tujuannya saat ini adalah bertemu jagoan kecilnya yang sudah lama tidak ia temui.

"Lo boleh sakitin gue Bis.
Lo boleh lakukan apapun terhadap gue.
Tapi gue gak akan pernah biarin anak gue sakit dan terabaikan karna lo.
Gue gak akan biarin itu Bisma!" Franda membatin penuh emosi.
Tatapannya menatap tajam jalanan raya yang dilaluinya.
Kedua tangannya fokus menyetir mobil yang tengah ia kendarai.
Rupanya Franda akan benar-benar pergi ke Bandung untuk bertemu Elfaris saat ini juga.









Bersambung...