Setelah cukup lama berkeliling mengitari kota Jakarta. Akhirnya mobil
Alphard putih ini berhenti tepat disebuah warung pinggir jalan, dimana
disana terdapat banyak sekali buah durian digantung berjajar rapi.
"Hufh, akhirnya sampai juga.." Bisma membuang nafasnya. Mesin mobilnya pun ia matikan sesaat setelah mobilnya itu berhenti.
"Lo emang gila yah! Masa cuma nyari duren aja muternya ampe tiga
kali. Lo fikir gak pusing apa muter-muter kayak gini? Beneran GILA lo!"
Franda menggerutu kesal. Ia tidak habis fikir akan sikap suaminya ini.
"Haha bawel lo! Udah sana turun. Cari durennya sepuas hati lo, gue tunggu disini aja.
Gue masih mau menikmati mobil baru gue." ujar Bisma enteng.
"Ko gue? Kenapa gak elo aja yang turun?
Lo pilihin durennya, gue kan cewek. Lagian gue lagi hamil, masa gue
harus keluar?" protes Franda seraya mengelus perut buncitnya.
"Gue tuh gak suka sama duren. Udah deh lo sana!
Lo mau pilih sepuluh butir pun gue gak peduli, asal lo masukkin
sendiri durennya kebagasi, jangan nyuruh gue.." Bisma lagi-lagi berujar
dengan entengnya. Ia sedikit mendorong tubuh Franda agar mau untuk
segera keluar dari dalam mobil Alphard barunya.
Franda berdecak. Ia sangat sebal sekali melihat sikap suaminya ini.
Ia pun terpaksa bangkit, membuka pintu mobilnya dan segera beranjak
keluar sendiri.
"Haha tumben banget tuh anak nurut sama perintah gue?
Lagian siapa suruh nyuruh gue beli duren. Orang gue gak suka duren,
mending didalam mobil baru. Nyamann.." Bisma bergumam senang. Ia
mengetuk-ngetuk jemarinya pada stir mobil Alphard putih yang baru
didapatnya dari om Harison sang papah.
"Kemarin minta mobil langsung dikasih. Tinggal minta rumah nih..
Biar gue gak tinggal satu rumah terus sama cewek stres itu. Trus
kalau anak gue udah lahir, gue bisa punya rumah sendiri. Haha asyiikk..
Ternyata punya istri yang lagi hamil tuh seru yah? Bisa dimanfaatin,
haha." Bisma tertawa begitu lepas. Tampaknya hari ini ia memang sangat
senang. Terlebih ide-ide brilian lain mulai bermunculan dikepalanya.
Memanfaatkan kehamilan Franda sebagai ladang bisnis penuh keuntungan
untuknya. Sangat jahil sekali lelaki muda berparas tampan ini.
Sementara dengan Franda sendiri. Ia masih saja asik memilih-milih
buah durian yang berjejer rapi dihadapannya. Buahnya begitu besar dengan
bau wangi yang menyengat. Franda sesekali menciumi aroma buah durian
atau duren itu.
"Hemm.. Ini wangi banget pak? Ini namanya duren apa yah? Trus manis
enggak?" tanyanya seraya menunjuk salah satu buah durian berukuran cukup
besar lalu mencium aroma wanginya.
"Ohh itu durian montong neng, rasanya pasti manis. Bijinya kecil,
tapi daging buahnya besar neng.." jelas si bapak penjual buah durian
tersebut.
Franda hanya mengangguk kecil tanda mengerti.
"Kayaknya beli satu aja deh. Takut gak habis.." Franda tampak ragu memilih buah durian yang akan dibelinya.
"Mau berapa buah neng?" bapak penjual durian itu bertanya dengan ramahnya.
"Engh, satu aja pak. Takutnya gak habis, soalnya suami saya enggak
terlalu suka duren. Jadi cukup satu aja deh. Yang ini yah pak, yang
besar, biar suami saya kenyang pas makannya.." Franda menunjuk buah
durian berukuran cukup besar dihadapannya dengan bibir yang tak henti
menyunggingkan senyum penuh rasa senang.
"Si eneng ternyata udah punya suami yah?
Neng baik sekali, sampai mau beliin duren ini buat suaminya. Bapak
aja gak pernah neng dibeliin duren sama istri bapak. Yang ada istri
bapak mintain duren dagangan bapak terus.." sambil memasukkan durian
pilihan Franda pada kantung plastik. Si bapak penjual durian ini malah
bercerita tentang kebiasaan istrinya.
"Ahaha bapak bisa aja. Lagian ini bukan kemauan saya pak. Ini
kemauan bayinya, dia mau lihat ayahnya makan duren katanya. Jadi ya mau
gak mau harus diturutin, kalau enggak nanti bisa ngeces pak.." Franda
mengelus perut buncitnya. Entah kenapa ia tidak merasa malu atau takut
bercerita dengan bapak penjual durian yang sangat ramah ini.
"Waahh ternyata selain udah punya suami, neng ini lagi hamil juga yah?
Waahh.. Bapak kagum, udah cantik, baik, sopan, mau punya anak lagi
sebentar lagi. Suami neng pasti beruntung banget punya istri sebaik
neng.." bapak penjual durian itu tak hentinya memuji. Ia menyodorkan
kantung plastik besar berisi durian pesanan Franda, lalu menerima
lembaran uang seratus ribu yang Franda berikan untuknya.
"Sebentar ya neng, bapak ambil dulu kembaliannya."
"Ee..enggak usah pak. Gak papa kembaliannya buat bapak aja. Anggap aja bonus pak.
Saya permisi dulu yah? Semoga durennya gak buat suami saya mabok
pak, hihii.." Franda buru-buru beranjak pamit meninggalkan pedangan
durian yang sangat ramah itu.
"Makasih neng! Waah si eneng ini beneran baik.
Semoga aja suaminya bisa jadi suka sama duren. Tapi ko aneh yah?
Masa si eneng tadi ngidam pengen lihat suaminya makan duren? Atuh kenapa
gak dia aja yang makan durennya? Kan lebih enak.." bapak ini tampak
kebingungan sendiri melihat tingkah pembelinya yang cukup membuat aneh.
Bibirnya tersenyum lebar, baru kali ini ada pembelinya yang begitu baik
sampai-sampai tidak mengambil uang kembaliannya yang sebenarnya masih
cukup besar.
"Nihh.. Gue bakalan kasih kejutan buat lo Bis..
Gue yakin lo gak akan pernah lupain kejadian ini sampai seumur hidup
lo. Haha, anak bunda ini hebat. Keinginannya lucu, tapi emang kalau
dibayangin pasti muka Bisma lebih lucu kalau lagi makan duren. Ahaha,
jadi gak sabar.." sambil melangkah, bibir Franda terus saja tersenyum.
Ia sesekali mengelus perut buncitnya. Wajahnya tampak berseri, rupanya
keinginannya kali ini memang cukup mengherankan juga mengundang tawa.
**
"Kamu tidak bekerja Raf?" lelaki paruh baya ini menegur putra tunggalnya yang tengah asik bersama jagoan kecilnya.
Rafael menoleh sebentar. Pandangannya lalu kembali menatap wajah malaikat kecil yang sangat disayanginya.
"Rafa, sebaiknya kamu tidak perlu tinggal sendirian seperti ini Raf.
Kamu kan masih bisa tingga dirumah papah. Disana sangat sepi Rafa.
Mungkin kalau kamu dan Arfa tinggal disana, suasana rumah akan berubah
menjadi hidup Raf, menjadi ramai dengan tangisan cucu papah ini.."
lelaki paruh baya yang sering disapa om Jhony ini berjalan mendekat
kearah Rafael.
"Tapi Rafa ingin belajar mandiri pah, Rafa bisa ko ngurusin Arfa tanpa bantuan papah atau mamah.
Rafa papahnya pah, jadi Rafa pasti bisa mengurusi dia.." tutur
Rafael menjelaskan tanpa mau melepas pandangannya dari wajah bayi mungil
yang tengah digendongnya.
Om Jhony tersenyum. Ia mengelus puncak kepala Arfa, lalu mengecupnya sekilas.
"Pulang aja, kamu kan harus bekerja. Tidak mungkin kamu membawa Arfa ke kantor.
Jangan egois Raf, mamah sangat merindukan cucunya. Dia pasti lebih bisa merawat Arfa.
Kamu pulang, tinggal lagi bersama kita. Jangan terus-menerus larut
dalam keterpurukan. Kamu pasti kuat menghadapi semuanya. Demi anak kamu,
Arfa Raf.." om Jhony menepuk pundak Rafael. Menyemangati putra
tunggalnya yang baru saja mendapatkan beban kesedihan besar.
"Makasih pah, tapi Rafa masih ingin sama Arfa. Rafa bukanya egois.
Rafa cuma ingin hanya tinggal berdua aja sama dia. Rafa bisa ko rawat
dia pah.. Nanti Rafa akan sewa baby sitter untuk menjaga Arfa kalau Rafa
kerja.
Please pah, ijinin Rafa mandiri, ijinin Rafa untuk gak ngerepotin papah mamah lagi.
Rafa yakin Rafa bisa ko, papah percaya sama Rafa.."
Bibir om Jhony tersenyum lebar. Ia semakin bangga mendengar
penuturan putra tunggalnya itu. Bayi mungil Arfa pun kembali dikecupnya.
"Yasudah terserah kamu. Tapi kalau kamu merasa kerepotan atau Arfa terabaikan. Cepat pulang saja, jangan memaksakan ego kamu.
Rumah papah akan selalu terbuka lebar untuk kamu juga Arfa.
Papah pamit dulu, ada meeting dikantor siang ini.
Jaga kesehatan kamu Raf.." ujar om Jhony berpamitan pergi.
Rafael mengangguk setuju mengiyakan. Ia tersenyum melihat sikap sang
papah yang memang selalu menghargai apapun yang menjadi keputusannya.
"Lihat, Opa kamu itu orang yang sangat baik Fa.
Nanti kalau Arfa sudah besar, Arfa juga harus menjadi orang baik.
Orang hebat, seperti Opa. Biar Arfa jadi orang besar dan sukses
nantinya.." Rafael memandang teduh wajah mungil jagoan kecilnya itu. Ia
kemudian mengecupnya penuh kasih sayang.
Arfa sendiri masih asik terbuai dialam mimpinya. Sesekali bibirnya
tersenyum dengan mata terpejam saat Rafael sang papah mengajaknya
bicara.
"Andai musibah itu gak pernah terjadi Re, kasihan Arfa. Dia masih sangat kecil.
Aku harap dia akan menjadi anak yang kuat Re.. Kuat seperti kamu dan selalu menjadi pengisi kekosongan dihati Aku.
Penghibur aku, penyemangat aku, juga jagoan kecil yang akan membuat aku akan selalu mengingat sosok kamu. I love You Re.
Meski sangat berat hidup tanpa kamu. Tapi aku akan berusaha,
berusaha menjaga Arfa anak kita ini.." Rafael mendekap penuh kasih
sayang bayi mungil yang masih setia digendongnya. Bayi yang begitu
tenang tertidur dialam mimpinya. Ia tidak terusik sama sekali. Baginya
mendengar suara sang papah bagaikan lantunan lagu yang begitu merdu dan
menenangkan.
**
"Biss.. Bismaa.. Bismaaaa.. Biisss!!"
"Isssh apaan sih tereak-tereak? Lo kira rumah ini hutan apa pake tereak segala!"
Dengan sangat jengkelnya Bisma menghampiri Franda diruang tengah
rumah mewahnya. Franda hanya cengengesan melihat Bisma yang marah akibat
teriakannya yang membuat Bisma risih.
"Hehe, abis lo dipanggil sekali gak nyahut-nyahut. Gue meski lebih
dari tiga kali terus manggilnya. Telinga lo ada gangguang deh kayaknya
Bis.." Franda berujar polos.
"Aah udah deh. Gue lagi males ketemu dan debat sama lo!
Gue gak mau juga berlama-lama disini. Bisa muntah gue!" ketus Bisma hendak beranjak meninggalkan Franda.
"Lo kenapa sih? Dari tadi marah-marah terus!
Kan gue pingin minta sesuatu lagi sama lo.."
Langkah kaki Bisma terhenti. Sejenak ia memutar badannya menoleh menatap Franda bingung.
Perempuan hamil itu malah menatap perut buncitnya dan sesekali mengelusnya pelan.
"Ko ngelihatinnya kayak gitu?
Gue bukan tersangka kasus pembunuhan kali Bis, sampe lo pandang kayak gitu.."
"Eh, engh. Enggak ko. Siapa yaang.."
"Udah sini, mending lo duduk deh disini. Disamping gue, ayo?" suruh
Franda tiba-tiba. Ia menepuk sofa panjang disampingnya yang tengah ia
duduki dan nampak kosong.
"Tumben nih anak laganya manis bener. Kenapa dia?" Bisma berfikir bingung.
"Issh udah cepetan sini. Duduk disamping gue. Anak lo pengen sesuatu niih.." Franda sedikit memaksa.
Bisma menelan ludahnya. Ia menatap buah durian yang terdapat diatas meja kaca dihadapan Franda penuh rasa takut.
"Singkirin dulu durennya, baru gue mau duduk.." Bisma menunjuk
durian berukuran cukup besar itu. Nafasnya sedikit ia tahan karna bau
buah durian yang menyengat sangat tidak ia sukai.
"Ko disingkirin?
Gak mau! Udah deh lo tuh cuma disuruh duduk aja susah banget sih!"
Franda langsung menarik paksa lengan Bisma dan mendudukkan tubuh
suaminya itu disamping kirinya.
"BUUK!!"
Tubuh Bisma terhempas dengan mudahnya oleh perempuan hamil ini.
"Anak lo pingin dureen.." Franda berujar seraya mengelus perut buncitnya.
Bisma yang sangat tidak menyukai aroma buah durian pun menutupi hidungnya dengan telapak tangan.
"Isssh! Lo tuh kenapa malah nutupin hidung sih?" Franda menarik
paksa lengan Bisma agar berhenti menutupi hidungnya. Alhasil Bisma
langsung menahan nafas dan hanya sedikit demi sedikit menghirup udara
yang sudah terkontaminasi aroma durian itu.
"Hufh, hufh.. Lo mau buat bengek gue kambuh ya Fran?" Bisma sedikit mengatur nafasnya.
"Enggak lah. Lagian mana gue tau kalau lo punya penyakit bengek. Bengek ko dipelihara.." balas Franda cuek.
"Errrrr nih cewek beneran gila banget! Mau lihat gue kejang-kejang
disini kali dia!" Bisma membatin geram sambil kembali menutupi
hidungnya.
Franda mencondongkan badannya. Ia mendekati buah durian berukuran
cukup besar dihadapannya itu, lalu membelahnya menjadi dua bagian.
Aroma khas buah durian pun semangit menyengat dan begitu harumnya dihidung Franda.
"Heemmm.. Wangi banget. Ini pasti rasanya enak.." ujarnya tersenyum mencium aroma buah durian.
Bisma rasanya ingin sekali membuang buah mengerikan dihadapannya
itu. Baunya benar-benar memuakkan. Ia sampai menarik bagian leher kaos
hitamnya untuk menutupi hidung mancungnya itu.
"Oh iya, lo tau gak ngidam gue itu pengen apa?" tanya Franda. Ia
menoleh kearah Bisma seraya memegang isi dari buah durian yang sangat
besar dan tentunya rasanya sangat lezat.
Bisma menggeleng cepat tanda tidak tahu.
"Gue tuh pengen banget lihat lo makan duren Bis..
Lo mau kan makan duren ini?
Demi anak lo, dia yang minta loh, gue serius gak bohong.." Franda
menyodorkan isi buah durian kearah Bisma sambil sesekali mengelus perut
buncitnya.
"Gak, gue gak mau! Itu pasti cuma akal-akalan lo doang kan? Gak
nempan.. Gak usah deh lo bohongin gue, gue akan tetep gak mau.." ujar
Bisma menggeleng, menolak keinginan istrinya.
"Ko lo mikirnya gitu sih? Jahat banget lo!
Ini tuh beneran keinginan anak lo, masa lo berfikir kalau gue
ngerjain lo, jahat banget sih lo tuuh.." seketika wajah Franda berubah
menjadi sedih. Rasanya begitu sakit karna Bisma menuduhnya berbohong.
Padahal itu memang benar-benar keinginan calon buah hatinya.
"Gak usah acting! Gue udah tau kali sifat lo!
Lagian mana ada orang ngidam pengen lihat suaminya makan duren. Gila
kali lo!" ketus Bisma menggerutu. Ia kemudian beranjak dan hendak
berlalu meninggalkan Franda karna sudah tidak tahan akan aroma buah
duren yang hampir membuatnya pingsan.
"Hiks.. Lo beneran jahat Bis, hiks..
Biarin aja entar anak lo ileran, biar dia ngeces terus entar. Lo
pasti bakalan malu punya anak yang ileran, kayak orang idiot. Biarin
aja, gue sih gak peduli mau anak ini mati pun.
Masa cuma minta kayak gitu aja lo gak turutin. Lo tuh jahat tau gak.
Dia selama ini gak pernah minta apapun, tapi sekalinya dia minta, lo
malah marah-marah. Gak tanggung jawab lo, ayah macam apa kayak gitu.."
Franda menggerutu sebal. Air matanya sampai keluar karna memang sangat
menyakitkan mendengar penolakan Bisma akan ngidamnya ini.
"Ko lo malah nangis?
Emang lo beneran lagi ngidam?" Bisma berjalan mendekati Franda.
"Menurut lo?" Franda tampaknya sewot.
"Wisssh biasa aja kali. Sampe muncat gitu.."
"Isssh lo tuh emang nyebelin yah? Dasar cowok GILA! Suami gak bertanggung jawab! Ayah yang BURUK!
Pokoknya semua keburukan itu ada di elo!
Gue gak peduli mau lo makan atau enggak buah durennya! Gue juga gak
peduli anak ini mau ileran n atau ngeces, gue GAK PEDULI!!" gertak
Franda emosi. Ia rupanya sangat marah. Kemudian dirinya pun beranjak dan
berlalu meninggalkan Bisma dengan durennya.
"Yaah marah. Gitu aja marah.. Sensi banget sih lo."
"BODO!!"
"Wadduh? Tapi ko gue jadi gak enak gini.
Apa jangan-jangan Franda emang beneran ngidam?
Tapi kenapa harus gue? Kenapa juga harus duren? Kenapa gak yang lain aja coba? Pisang atau rambutan kek, yang gue suka.."
"Tapi kalau gak diturutin, gue takut anak gue ngeces, ileran, kayak orang idiot dong?
Issh gue gak mau. Masa ayahnya ganteng gini anaknya kayak gitu? No no no! Gue gak mau!"
"Hufh.. Mungkin emang harus kayak gini jalannya.
Oke, gue akan coba. Tapi ini demi kamu sayang. Ini demi kamu anak ayah, bukan demi bunda kamu yang stres itu.
Hufh.. Moga aja gue gak langsung dirawat dirumah sakit gara-gara
makan duren.. Kan gak elitte banget." Bisma membuang nafasnya.
Mengaturnya agar lebih tenang. Buah durian diatas meja itu pun dibawanya
menuju kamar Franda untuk diperlihatkan saat dirinya memakan durian
nanti. Karna itu memang yang Franda inginkan atas ngidamnya.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak Komentar, Nggak Kece :p