Sebuah ruangan rawat terlihat sangat begitu sunyi.
Ruangan dimana disana terlihat sosok Rafael terbaring diatas ranjang
tanpa daya. Tubuhnya tergeletak dengan kain putih yang menutupi seluruh
bagian tubuhnya hingga puncak kepala.
Tubuh Rafael tidak bergerak, kedua tangannya ditaruh diatas perut.
Kini tubuh kekar itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tubuh yang selalu
terlihat kuat itu tidak berdaya. Tidak ada kekuatan sedikit pun untuk
bangun, yang ada kini hanya jasad kosong tanpa roh kehidupan.
Franda dengan mata berkaca memandang jadas kaku sang kakak. Hatinya
sangat bergetar hebat, air matanya mengalir tanpa bisa dicegahnya.
"Cocooh.." suara lirih itu terdengar begitu parau.
Franda berusaha bangun dari kursi rodanya, ia mendekat menghampiri
ranjang dihadapannya. Ia perlahan membuka penutup kain putih dibagian
kepala Rafael.
Sangat jelas disana, wajah pucat pasi dengan bibir yang mulai membiru dilihatnya.
"Hiks, Cocooh.. Kenapa Cocoh tinggalin Ndaa.. Kenapa Cocoh tinggalin
Nda Cooh.. Kenapaa? Hiks.." Franda terisak lirih memeluk wajah Rafael
yang sudah terasa dingin dan kaku.
"Cocoh jahaat.. Cocoh tega tinggalin Nda.
Nda gak punya siapa-siapa lagi Cooh..
Nda disini sendiri. Cocoh kenapa harus pergi?.. Kenapa Cocoh gak
ajak Nda? Kenapa Cooh.. Kenappaa.. Hiks.." tubuh Franda terasa semakin
lemas menerima kenyataan pahit ini. Bi Ijah yang tengah menggendong bayi
mungilnya juga ikut menangis terharu melihat Franda yang terisak. Bisma
bahkan Dina pun ikut menangis lirih.
"Cocoh pernah janji mau terus temenin Nda.
Cocoh juga pernah janji mau temenin dan jagain Nda.
Cocoh bohoong.. Cocoh ingkarin janji Cocoh.
Cocoh bohoong hiks.." Franda mengguncang pelan tubuh tak berdaya Rafael.
"Papi sama mami udah pergi. Mereka tinggalin Nda.
Dan sekarang Cocoh ikut tinggalin Nda.
Kenapa kalian semua tega tinggalin Nda?
Salah Nda apa Cooh?..
Nda sayang sama Cocoh.. Nda pengen ikut Cocoh aja..
Kenapa Cocoh gak ajak Nda.. Kenapa Cooh?? Kenapaa.. Hiks.."
"Sabar non.. Sabaar.." tiba-tiba bi Ijah mendekat seraya menggendong bayi kedua Franda.
Franda menoleh. Wajahnya sudah banjir dengan air mata. Ia menatap bi Ijah dan memandang wajah bayi mungilnya.
"Non gak sendiri. Non masih punya banyak orang yang sayang sama non,
termasuk bibi. Non juga masih punya den Ais dan bayi ini. Bahkan non
masih punya suami. Non gak sendiri nonn.." ujar bi Ijah mencoba
menguatkan hati Franda yang teriris sedih.
"Nda udah gak punya siapa-siapa bi. Bibi salah..
Justru yang selalu peduli sama Nda itu Cocoh.. Tapi dia sekarang tinggalin Nda.
Cocoh jahat bi, dia tega sama Nda, Cocoh jahaat bi hiks.."
Mendengar Franda berbicara seperti itu, hati bi Ijah semakin teriris
sakit. Ia tidak menyangka kalau Franda bisa seperti ini. Ia tidak bisa
menerima kenyataan pahit untuk kehilangan sang kakak.
Bisma yang melihat Franda terus menerus seperti ini pun mendekat. Ia
berjalan menghampiri Franda dan mencoba untuk menenangkan perempuan
yang sangat dicintainya ini.
"Cocoh bangun Cooh.. Cocoh banguun..
Nda gak mau ditinggal sama Cocoh..
Cocoh bilang Cocoh mau lihat anak kedua Nda.
Dia udah lahir Coh..
Dia ada disini, Cocoh ayo buka mata Cocoh, lihat wajahnya Coh, bayinya perempuan..
Cocoh kan pingin punya keponakan perempuan.
Ayo bangun Cooh.. Banguun.. Nda mohoon.." lirih Franda terus
mengguncang tubuh Rafael berharap kalau Rafael akan mau bangun dan
membuka matanya.
"Cukup Nda, cukuup..
Kamu gak boleh kayak gini, kamu harus ikhlas Nda, kamu harus ikhlas
sayang.." tiba-tiba Bisma mendekap tubuhnya dari belakang. Terdengar
suara isak tangisnya yang membuat Franda langsung memberontak dan
menepis tangannya.
"JANGAN SENTUH AKU!!" bentaknya kasar dengan bulir bening air mata yang terus mengalir tanpa henti.
"Ndaa.."
"Puas kamu sekarang Bis?
PUAS KAMU? Hiks.."
"Ndaa.. Akuu.."
"Aku udah kehilangan semuanya Bis.
Aku UDAH kehilangan semuanya.
Aku kehilangan mami papi aku. Dan sekarang aku harus kehilangan Cocoh aku..
Kamu kejam Bis, kamu jahaat..
Kamu jahaat.. Hiks-hiks.." tubuh Franda terasa melemas tak berdaya. Ia terkulai diatas lantai dengan posisi setengah duduk.
"Aku udah gak punya siapa-siapa lagi. Dan itu semua gara-gara kamu.
Kamu jahaat Bis. Kamu jahaat..
Kenapa kamu terus buat hidup aku hancur..
Kenapa kamu terus-terusan tambahin beban buat aku..
Apa mau kamu Bis? Apa mau kamu.. Hiks-hiks.."
Bisma ikut menyamai tinggi Franda, berjongkok dan berusaha menyentuh Franda meski lagi-lagi tetap Franda tepis.
"Aku gak pernah menginginkan semua ini Nda. Sama sekali gak pernah.
Aku selalu berusaha bahagaiain kamu.
Aku minta maaf kalau akhirnya malah jadi seperti ini. Aku minta maaf Nda.." Bisma menunduk penuh sesal.
"Kata maaf kamu itu gak akan pernah bisa hidupin Cocoh aku lagi, GAK AKAN BIS!!" Franda membentak penuh emosi.
Tubuh Bisma semakin melemas. Ia tidak tahu harus berbicara apalagi.
Ini memang kesalahannya, namun ini juga merupakan takdir yang sudah
digariskan Tuhan kepadanya.
"Andai kamu bisa tepatin janji kamu.
Andai kamu bisa temani dan antar aku kerumah sakit. Dampingi aku saat proses persalinan.
Pasti semuanya gak akan kayak gini Bis, gak akaan.. Hiks, Cocoh aku
pasti masih hidup, dia pasti selamat.. Gak akan seperti ini Bis..
Hiks.." lirih Franda semakin terisak sesak.
Bisma diam menunduk. Ia tidak dapat berkata lagi. Baginya ini
mungkin memang mutlak kesalahannya yang sangat fatal. Franda saja sampai
begitu membencinya seperti ini.
"Non, bayinya nangis.." tiba-tiba bayi mungil yang digendong bi Ijah terdengar menangis.
Franda berdiri. Ia mengulurkan kedua tangannya dan beralih menggendong putri kecilnya.
"Husst.. Kamu jangan nangis sayang.. Kamu jangan nangis..
Cukup bunda aja yang nangis, kamu gak boleh nangis.. Hiks anak bunda
gak boleh cengeng.. Jangan nangis ya nak.. Jangan nangis.." Franda
menimang bayi mungilnya dan mencoba menenangkannya. Ia menempelkan
pipinya dengan pipi bayi tersebut. Air matanya semakin deras mengalir,
wajah putri kecilnya pun sampai ikut basah terkena tetesan air matanya.
"Sebaiknya kita keluar saja non. Gak baik kalau non sama bayinya
berlama-lama disini." ujar bi Ijah tiba-tiba. Franda menoleh menatap bi
Ijah.
"Iya Nda. Kita keluar aja. Kita keruangan rawat kamu lagi. Kamu
masih lemah, kasihan putri kita juga. Dia tidak baik kalau berlama-lama
disini.." ujar Bisma membenarkan.
Franda tidak mendengarkan ucapan Bisma. Ia mengacuhkannya dan berjalan kembali mendekati kursi rodanya.
"Tolong antar kekamar lagi ya bi?" pinta Franda pelan.
"B..biar sama aku aja yah? Biar aku yang antar?" tawar Bisma
buru-buru menggantikan posisi bi Ijah untuk mendorong kursi roda yang
Franda duduki.
"Jangan sentuh aku Bis!
Tinggalkan aku sendiri.
Aku gak mau lihat kamu apalagi dideketin kamu." tolak Franda mencegah yangan Bisma yang hendak membantunya.
"Bi, tolong yah?.." Franda lebih memilih meminta bi Ijah yang membantunya.
"B..baik non.." Bi Ijah mengangguk setuju.
Bisma diam. Ia mematung dan memandang lirih sikap Franda yang membuatnya sakit tak terkira.
"Sebegitu bencinya kamu sama aku Nda.
Aku sentuh sedikit pun kamu gak mau.
Bahkan aku pingin gendong putri kita aja kamu gak ijinin.
Sakit Nda, sakitt.." air mata Bisma perlahan keluar dari pelupuk matanya.
"Maafin aku ya Bis, ini semua karna aku. Maafin aku.." tiba-tiba
Dina berani berucap. Ia ikut menangis melihat Franda yang mengacuhkan
Bisma, juga tentang kepergian Rafael yang sama sekali tidak pernah
diduganya.
Dina mendekat menghampiri Bisma. Wajahnya terlihat penuh dengan sesal.
"Kalau aku gak egois. Mungkin semuanya gak akan kayak gini.
Sekali lagi aku minta maaf..
Maafin aku Biss.."
Bisma tidak bergeming. Ia tetap berdiri mematung dengan dua sungai
kecil yang semakin lama semakin deras mengalir membasahi wajahnya.
**
"Bunda kenapa?
Bunda kenapa nangis?" Elfaris memandang Franda bingung dengan wajah polosnya.
"Bunda gak papa ko sayang. Sini nak.. Bunda pingin peluk Ais, bunda
kangen sama Ais.." Franda mengulurkan kedua tangannya dengan mata
berkaca.
"Ais juga kangen sama bunda. Maafin Ais ya bun, balu bisa temuin bunda sekalang.
Ais kangen banget sama bunda, kangen buun.." Elfaris berhambur memeluk tubuh Franda dan merasakan dekapan hangat sang bunda.
Franda kembali menangis. Rasanya begitu bahagia bisa merasakan
pelukan hangat nan nyaman jagoan kecilnya yang baru saja datang itu.
"Ais jangan pernah tinggalin bunda ya sayang..
Bunda minta Ais tetap sama bunda, jangan pernah sekalipun tinggalin bunda. Ais harus janji nak.." pinta Franda lirih.
"Ais sayang sama bunda. Ais gamukin tinggalin bunda.
Ais akan telus sama bunda buun.. Kalna Ais sayang sama bunda.." ujar Elfaris dengan nada polos nan yakinnya.
Franda semakin mengeratkan pelukannya. Ia mengecup beberapa kali
punggung serta puncak kepala Elfaris. Bocah tampan yang dirawatnya sejak
bayi itu memang menjadi nyawa kedua Franda. Mungkin Franda masih bisa
menerima kenyataan kehilangan Rafael, tapi jika harus kehilangan
Elfaris, ibu dua anak ini tidak akan pernah bisa menerima semua itu. Ia
bahkan mungkin bisa gila kalau itu sampai terjadi.
"Bayinya cantik Fran, wajahnya persis seperti kamu. Mirip sama kamu
juga Bisma. Cantik.." tiba-tiba terdengar suara tante Casma yang
mendekat seraya menggendong putri kecilnya.
Franda menoleh menatap ibu mertuanya juga om Haris yang memang
berada didalam kamar rawatnya, bahkan Bisma sendiri juga ada disana.
"Kebahagiaan kita terasa semakin lengkap mah, sekarang Franda sudah
memberi kita cucu kedua. Dan itu perempuan, mamah kan menginginkan cucu
perempuan.." ujar om Haris berjalan mendekati tante Casma.
"Iya pah, mamah tidak sangka kalau mamah bisa memiliki dua cucu
sekarang.. Cantik lagi pah.." tante Casma memperlihatkan wajah bayi
mungil yang digendongnya. Satu kecupan pun mendarat dikening bayi mungil
tersebut oleh om Haris.
"Bayinya sudah di adzanin?" tante Casma melirik Bisma juga Franda.
"B..belum mah.." Bisma menjawab gugup.
"Kenapa belum?
Jahat sekali kamu Bis..
Kenapa belum kamu adzankan? Memangnya kamu mau bayi ini mendengar suara-suara buruk terlebih dahulu?
Ayo cepat adzan dan iqomahkan. Janga terlalu lama apalagi tidak kamu
adzankan.." suruh tante Casma sedikit terdengar kesal dan geram.
Bisma bingung. Ia sebenarnya ingin sekali mengumandangkan suara
adzan juga iqomah dikedua telinga putri kecilnya. Namun ia takut Franda
marah dan tidak mengizinkannya untuk menggendong putri kecilnya itu.
"Kenapa diam? Ayo Bisma..?" tante Casma menyodorkan bayi mungil yang masih digendongnya.
"T..tapi mah, B..Bisma t..taa"
"Biar bayinya sama Franda aja. Di adzaninnya disini sambil Franda
gendong.." ujar Franda tiba-tiba dengan kedua tangan yang diulurkan
kearah tante Casma.
"Gak papa biar sama Bisma aja Nda, dia ayahnya ini.
Ayo Bis, cepat.." tante Casma memaksa dan tetap menyuruh Bisma agar menggendong putrinya.
"Maah, biar sama Franda aja. Sini mah?
Nanti Bisma adzanin bayinya disini, didekat Franda.." pinta Franda tetap kekeuh.
Tante Casma merasa bingung. Ia melihat ada keanehan yang terjadi antara menantu dan putra tunggalnya.
"Sudah mah, berikan saja. Mungkin Franda ingin menyaksikan sendiri
bagaimana Bisma mengadzani putrinya.." om Haris berucap pelan.
"Y..yaudah. Ini bayinya.." masih dengan hati yang ragu, bayi mungil
itu pun tante Casma berikan kepada Franda dan beralih Franda gendong
dipangkuannya.
"Sekarang kamu adzanin Bis.."
"I..iya pah.."
"A..akuu.."
"Tinggal adzanin aja, tapi jangan harap kamu boleh nyentuh dia.
Jangan sedikit pun sentuh anak ini. Aku gak mau kalau kamu sentuh dia." jelas Franda sedikit berbisik.
Bisma memejamkan matanya. Rasanya sangat pedih mendengar Franda
berucap seperti itu. Kedua tangannya pun ia urungkan saat hendak
menyentuh putri kecilnya.
"Kenapa kamu seperti ini Nda?
Ini sangat menyiksa aku.
Aku pingin peluk anak ini, aku pingin gendong dia. Aku pingin dekap dia Nda.
Aku pingin kecup dia.." Bisma membatin lirih. Ia kemudian segera
mengumandangkan suara adzan ditelinga kanan putri kecilnya, juga iqomah
ditelinga kiri.
Air matanya tak henti mengalir saat mengumandangkan adzan juga iqomah dikedua telinga putri kecilnya.
"Maaf kalau aku terlalu kejam.
Maaf kalau aku buat kamu tersiksa seperti ini.
Aku cuma mau kamu tau kalau aku mempertaruhkan nyawa aku untuk
melahirkan anak ini. Tapi kamu gak tau itu. Kamu gak bisa rasain itu.
Kamu bahkan gak lihat itu semua.
Sakit Biss.. Sakitt. Apalagi aku harus kehilangan Cocoh aku dihari kelahiran anak ini.
Itu benar-benar buat aku bagaikan mendapat mimpi buruk Bis, Hiks.."
Franda membatin terisak melihat wajah Bisma yang menangis tepat
dihadapannya sendiri.
Bersambung..
kak lanjut yg "Terpaksa Bukan Cinta" dong kak
BalasHapusSaya admin di sini. Terpaksa Bukan Cinta sudah tamat season 2 http://cerpencerbungdheanasmashblast.blogspot.com/search/label/Terpaksa%20BUKAN%20Cinta%20II
Hapus