Selasa, 18 Februari 2014

Diantara Tiga Cinta #part 44

Masih dalam keadaan bingung. Bisma kembali membaringkan tubuhnya diatas tempat tidur. Namun kali ini ia berada dikamar bersama Dina sang istri, bukan dikamar Elfaris lagi.


"Kenapa tadi gue bisa mimpi buruk kayak gitu?
Rafael dimimpi itu seperti marah banget sama gue?
Tapi kenapa dia marah?" Bisma mencoba mencari letak kesalahannya. Memikirkan ucapan demi ucapan yang Rafael lontarkan padanya saat dimimpi tadi.

Bisma memandang lagit-langit kamarnya. Sesekali ia juga menatap wajah polos Dina yang sudah pulas tertidur disampingnya.

"Kenapa perasaan gue tiba-tiba jadi enggak enak gini?" fikirnya terasa cemas dengan hati yang tidak tenang.

Bisma beranjak. Ia mencari BB hitamnya yang seharian ini tidak dipegang olehnya.

"Handphone gue dimana? Ko gak ada sih?" Bisma mencari diatas meja juga laci disamping tempat tidurnya. Ia juga merogoh kedua saku celananya berharap kalau handphonenya itu ada disana.
Namun tetap saja alat komunikasi itu tidak ditemukannya.

Karena merasa ada suara lain didalam kamarnya. Dina menjadi terusik. Ia membuka kelopak matanya dan melihat Bisma rupanya seperti yang tengah mencari sesuatu.

"Kamu ko belum tidur?
Kamu lagi cari apa?" heran Dina memandang Bisma.

"Aku nyari handphone aku. Aku mau hubungin Franda. Tiba-tiba aja aku kepikiran sama dia.
Dari kemarin aku belum kabarin dia.
Aku takut dia kenapa-napa. Jadi aku mau hubungin dia." jelas Bismaberucap tanpa menoleh dan masih tetap membuka-buka tas bawaannya yang berisi beberapa pakaian yang dibawa dari Jakarta.

Dina menghela nafasnya. Ia bangkit dan mengikat rambut panjangnya yang terurai. Dina turun, ia lalu berjalan mendekati Bisma.

"Kita disini baru juga sampai Bis, lagian ini itu udah tengah malam. Memangnya gak ada waktu lain buat hubungin Franda selain sekarang?
Kan besok pagi kamu masih bisa Bis.." ujar Dina rupanya sedikit tidak suka akan apa yang dilakukan oleh suaminya.

"Aku khawatir Din, aku takut dia kenapa-napa.
Duuhh handphone aku mana lagi. Issshh!!" Bisma membongkar tas berisi baju-bajunya. Ia mengeluarkan semua isinya dan mencari BB hitam yang entah saat ini berada dimana.

"Percuma kamu cari handphone kamu disitu. Pasti gak akan ketemu.
Handphone kamu enggak aku bawa. Handphone kamu masih dirumah. Aku sengaja enggak bawa karna aku gak mau liburan kita nantinya terganggu karna Franda hubungin kamu terus."

"JLEGG!!"

Dada Bisma serasa tersentak kaget mendengar penuturan Dina. Tidak tahukan kalau benda itu satu-satunya yang Bisma inginkan saat ini dan satu-satunya pula yang pasti akan Franda hubungi.

"K..ko kamu natap aku kayak gitu?" Dina sedikit takut melihat tatapan wajah Bisma yang penuh kekecewaan.

"Kamu kenapa gak bawa handphone aku?
Kamu ko gitu sih Din?
Nanti kalau Franda mau hubungin aku gimana?
Kenapa kamu gak bawa handphonenya?" Bisma terlihat sedikit geram dan menahan kesal.

"Tapi handphone aku juga gak aku bawa. Kita impas. Aku gak bawa alat komunikasi apapun dari rumah.
Akuu.."

Tiba-tiba Dina menghentikan kalimatnya. Bisma langsung meninggalkannya dan berlalu keluar.

"BRUKK!!"

Dina menutup pintu kamarnya, mencegah Bisma agar tidak keluar dari kamarnya.

"Kamu tuh kenapa sih Bis?
Memangnya gak bisa yah kamu sehari tanpa Franda?
Aku juga istri kamu Bis.
Aku tau Franda lebih sempurna dari aku.
Tapi apa kamu gak bisa kasih aku waktu, bahagiain aku tanpa mengungkit Franda dalam sehari aja.
Aku kangen kamu Bis..
Aku tuh pingin kita tuh berdua disini.
Cuma untuk malam ini dan hari esok.
Aku udah lama gak pernah bisa berduaan sama kamu.
Apa kamu udah gak sayang sama aku?
Apa kamu gak kangen sama aku?"

Bisma memandang wajah Dina pilu. Posisinya saat ini benar-benar sulit. Ia sangat tidak tega melihat Dina menangis seperti ini. Namun disisi lain ia sangat mengkhawatirkan keadaan Franda.

"Kalau kamu emang udah gak sayang sama aku. Lebih baik kamu ceraikan aku aja Bis..
Aku capek hidup kaya gini terus, capek Bis.." Dina menunduk lirih. Bibirnya bergetar hebat karna hatinya yang sakit karna sikap Bisma yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Bisma menarik tubuh Dina kedalam pelukannya, mendekapnya sangat erat dan berusaha menenangkan istri pertamanya itu.

"Aku gak akan pernah cerai'in kamu.
Aku tuh sayang dan cinta banget sama kamu.
Kalau kamu berfikiran aku udah gak sayang sama kamu, kamu salah.
Aku tuh cuma panik aja Din, aku takut Franda kenapa-napa.
Harusnya kamu ngerti. Dia lagi hamil besar Din, aku takut Fraaan.."

"Kamu tuh cuma khawatirnya sama Franda aja!
Kamu juga cuma mikirin Franda dan Franda!
Kapan sih kamu mau ngertiin aku?
Kapan kamu bisa mengerti perasaan aku disini?
Aku juga butuh kamu Biss, aku BUTUH kamu!!" jelas Dina seraya mendorong tubuh Bisma agar melepaskan pelukannya. Ia menangis, kekecewaannya bertambah besar akan sikap suaminya yang menurutnya tidak bisa berlaku adil.

Bisma diam. Ia tidak tahu harus berbicara apa kalau situasinya sudah seperti ini. Tapi jujur dari lubuk hati terdalam dan fikirannya itu tidak bisa dipungkiri kalau ia sangat mengkhawatirkan keadaan Franda.

"Aku mau tetap disini. Jangan hubungin Franda. Kalau kamu hubungi dia pasti kamu bakalan disuruh pulang.
Please aku mohon Bis..
Ngertiin perasaan aku.
Aku juga butuh kamu, bukan cuma Franda aja yang butuh kamu.." Dina berujar lirih berderai air mata.

"Aku akan tetap disini, aku cuma pingin tau kabarnya aja. Sebentar aja yah? Cuma ngehubungi dia sebentaar. Please percaya.." Bisma sedikit memohon seraya meraih tangan kanan Dina seolah meminta izin.

Namun Dina tetap saja diam. Ia menepis tangan Bisma lalu memalingkan wajahnya.

"Cuma sebentar Din.. Cuma telfon dia sebeen.."


"TOK-TOK-TOK!!
Biss, kamu belum tidur..?"

Tiba-tiba Bisma dan Dina menoleh secara bersamaan. Suara om Haris sang papah didengarnya dari balik pintu.

"Belum pah. Tunggu sebentar.." sahut Bisma dan beranjak mendekati pintu kamarnya menemui sang papah.


"Ckleek.."

Bisma membuka pintu kamarnya. Didapatnya om Haris sang papah sudah berdiri disana, wajahnya terlihat sangat cemas. Dilengannya pun terdapat gagang telfon rumahnya yang ia bawa.

"Ada apa pah? Ko wajah papah tegang gitu?" Bisma menatap om Haris bingung.

"Lebih baik sekarang juga kamu pulang ke Jakarta.
Kamu temui istri kamu dirumah sakit.
Tadi pembantu dirumah Rafael telpon kesini katanya Franda sudah melahirkan dan sekarang ada dirumah sakit. Jadi papah harap kamu.."

"A..apa pah? F..Franda udah melahirkan?
Astaghfirullah.. Kenapa papah gak bilang dari tadi?
P..paah.." Bisma sangat kaget mendengar berita yang mengejutkan tentang Franda. Jantungnya sampai berdebar-debar antara kaget juga bahagia.

"Katanya sih dilarikan kerumah sakitnya sejak tadi siang. Tapi melahirkannya baru beberapa jam yang lalu, itu pun harus dioperasi karna bayinya susah untuk dilahirkan. Dan papah baru diberitahu sekarang." tutur om Haris menjelaskan.

Bisma semakin dibuat tidak percaya. Bulir bening air mata sampai keluar tanpa bisa ditahannya. Ia menangis, menangis karna ia gagal menepati janjinya untuk mendampingi Franda saat proses persalinan.

"F..Franda? M..maafin aku Nda, maafin aku.." Bisma membatin lirih.

"B..Bisma pergi sekarang pah! Bisma pamit.." tanpa menunggu lama lagi Bisma langsung beranjak dan bergegas pergi meninggalkan om Haris. Ia bahkan tidak berpamitan pada Dina terlebih dahulu.

"Hati-hati Bis..
Besok pagi papah sama mamah pasti akan langsung kesana." ujar om Haris setengah berteriak.

"Bisma tunggu!!" tiba-tiba Dina berlari mengejar Bisma, menyusul lelaki berparas tampan itu menuju lantai bawah rumahnya.

"Please jangan cegah aku Din..
Aku udah ingkarin janji aku sama Franda.
Dia pasti marah sama aku kalau aku gak kesana sekarang juga.
Dia butuh aku Din.. Aku mohon jangan cegah aku.." Bisma menghentikan langkahnya memandang Dina.

"Aku gak akan cegah kamu. Tapi aku mau ikut.." ujar Dina dengan nada pelan.

"Boleh kan aku ikut?" lanjutnya lagi.

Bisma tersenyum. Ia mengangguk lalu dengan segera merangkul Dina agar bergegas pergi detik itu juga.

Dina ikut tersenyum. Rasanya menyesal sekali ia telah berlaku egois sementara Franda disana memang sangat membutuhkan Bisma untuk saat ini.






**
"Bundaaa... Ayaaahh!!"

"ELFARIS?"

Om Haris memekik kaget saat mendengar suara Elfaris didalam kamarnya. Sepertinya bocah tampan itu terbangun dari tidurnya dan mencari kedua orang tuanya.

"Bundaa... Ayaaahh.. Hiks bundaa.." Elfaris menangis terisak.

Tak lama om Haris datang masuk kedalam kamar Elfaris. Dilihatnya cucu kesayangannya itu tengah duduk diatas tempat tidur seraya menangis kecil.

"Lohh.. Ko Aris nangis?
Aris kenapa?" om Haris berjalan mendekati Elfaris.

"Hiks.. Ais mau ketemu bunda opaa.
Ais mau pulaang..
Ais mau pulang ajaa." pinta Elfaris lirih.

Om Haris mengangkat tubuh Elfaris dan memangkunya. Mencoba menenangkan bocah tampan itu agar berhenti menangis.

"Yaudah kita pulang sekarang yah?
Sekalian kita lihat dede bayi.
Bunda Aris katanya udah melahirkan sayang.
Aris mau lihat dede bayinya gak, hem?"

"Ais mau pulang tapi.
Ais mau ketemu bunda aja.. Ais mau ketemu bunda opaa.."

"Iya nanti kita pulang. Besok pagi opa antar. Opa janji. Tapi sekarang Aris bobo dulu. Ini masih malam.
Bobo yah?"

"Tapi...?"

"Opa janji besok pagi kita pulang."

"Yaudah Ais bobo.."

"Pinter.." om Haris tersenyum mengacak poni hitam Elfaris.

Bocah tampan itu pun kembali berbaring diatas tempat tidurnya, melanjutkan tidurnya lagi karna saat ini waktu masih sangat larut.

"Ternyata aku sudah memiliki dua cucu sekarang.
Franda memang menantu yang membanggakan.
Diberi satu cucu saja aku sudah sangat senang, dan sekarang dia memberiku satu cucu lagi.
Aku benar-benar sangat bahagia.
Terimakasih Ya Allah atas semua kebahagiaan ini.." om Haris berucap syukur atas semua kebahagiaan yang dirasakannya. Ia mengecup puncak kepala Elfaris lalu keluar menuju kamarnya dan meninggalkan Elfaris seorang diri.






**
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama. Akhirnya mobil Bisma tiba dihalaman parkir rumah sakit. Tanpa menunggu lama lagi ia langsung berlari cepat masuk kedalam rumah sakit untuk melihat keberadaan Franda. Ia bahkan sampai tidak menghiraukan Dina dan meninggalkan istri pertamanya itu begitu saja.

"Kayaknya aku udah benar-benar terlupakan.." Dina bergumam lirih. Ia ikut keluar namun dengan langkah gontai karna sedih melihat sikap Bisma yang seolah melupakannya.




Bisma berlari cepat mencari ruangan rawat kamar Franda, namun sebelumnya ia sudah menanyakan dimana istri keduanya itu dirawat.

"107? Duuhh dimana sih kamarnya?" Bisma sedikit kebingungan mencari letak kamar rawat Franda. Keadaannya yang panik membuat semuanya terasa sulit. Juga keadaan rumah sakit yang sepi membuatnya bingung harus bertanya pada siapa.


"Nah, itu disebelah sana.." tiba-tiba Bisma melihat pintu berwarna coklat dengan bertuliskan nomor 107. Tepat sekali karna itu memang kamar dimana Franda kini berada.

Tanpa menunggu lama lagi, Bisma langsung berlari menuju pintu tersebut. Ia sangat mencemaskan keadaan Franda juga bayinya. Ia bahkan sampai membawa mobil sangat ngebut saat diperjalanan dari Bandung-Jakarta 1 jam lalu.




**
"Ckleek..."

Bisma membuka pintu kayu berwarna coklat itu perlahan. Nafasnya cukup tersenggal, dadanya naik turun dengan tempo cepat karna ia berlari saat tadi.

"Ndaa.." panggilnya tersenyum melihat sosok perempuan cantik dengan baju pasient tengah duduk bersender diatas tempat tidurnya.

Franda yang mendengar suara yang sangat tidak asing ditelinganya pun menoleh. Ia melihat Bisma yang ditunggunya sejak tadi akhirnya datang juga menemuinya.

"Sayang kamu apa kabar?
Keadaan kamu gimana Nda?
Aku khawatir banget, aku cemas.. Kamu gak papa kan Nda?" Bisma bertanya dengan mata berkaca.

Franda tidak menjawab ucapan Bisma. Ia mencoba merubah posisinya menjadi setengah duduk. Mata sipit Franda menatap wajah Bisma tajam, sangat tajam.

Bisma mendekat. Bulir bening air mata tiba-tiba saja keluar dari pelupuk matanya. Ia merasa bersalah, yaps sangat-sangat bersalah.

"Nda maafin akuu.." ujarnya penuh sesal.


"PLAAKK!!"

Tiba-tiba saja Franda melayangkan satu tamparan yang sangat kencang tepat dipipi Bisma.

Bisma tersentak kaget. Ia tidak menyangka kalau Franda berani menamparnya seperti ini.

"K..kamu kenapa t..ta?"

"PLAAAKK!!"

Franda kembali melayangkan tangan kanannya yang tidak dialiri selang infus. Rupanya ia benar-benar marah akan semua janji dan ucapan Bisma yang tidak bisa satu pun ditepatinya.

"N..Nda ke..kenapa kamu t.."

"HAPP!!"

Bisma langsung menahan tangan Franda saat Franda ingin kembali menampar wajahnya. Bisma menggenggam lengan halus yang baru kali ini berani mendarat dengan keras diatas pipinya.

"Kamu jahaat Bis, kamu jahaatt.." Franda menunduk lirih berderai air mata.

"Kamu udah hancurin hidup aku.
Kamu udah buat hidup aku tambah hancur, kamu jahaat Bis kamu jahaaat.."

Bisma melepaskan tangan Franda. Kepalanya menunduk penuh sesal. Ia tahu letak kesalahannya, ia telah mengingkari janjinya dan tidak mendampingi Franda disaat proses persalinannya.

"Kamu ingkarin janji kamu.
Kamu bohongin aku.
Kamu hampir buat aku mati, dan kamu udah bunuh orang yang sangat aku sayang.
Kamu udah bunuh dia.
Kamu pembunuh Biss.. Kamu PEMBUNUUHH!!"


"JEDDERR"


Tubuh Bisma terasa disambar petir mendengar ucapan Franda yang membuatnya bingung sangat-sangat bingung.

"M..maksud k..kamu apa sih Nda?
A..aku gak ngerti?
A..anak kita baik-baik aja kan Nda?
B..bayi kita selamat kan Nda?" hati Bisma mulai diliputi kecemasan meski masih sangat bingung.

Franda menggeleng geram. Rasanya ingin muak sekali ia melihat wajah Bisma berlama-lama didepan matanya. Ingin sekali Franda menampar wajah Bisma habis-habisan. Karna akibat lelaki tersebut dirinya harus kehilangan orang yang sangat ia sayang.

"Hiks.. Kamu jahat Biss..
Kamu jahaat.. Hiks.." Franda menunduk terisak. Ia tak kuasa menahan tangisnya lagi akan semua kepedihan yang terasa lengkap meliputi dirinya.

"Ndaa, bayi kita gak papa kan Nda?
Bayi kita mana?
Dia selamat kan sayang?"

"JANGAN pernah sentuh aku!!"

Franda langsung menepis tangan Bisma kasar saat menyentuh pundaknya.

Bisma mengurungkan niatnya. Ia tahu emosi Franda tengah meluap padanya. Namun Bisma masih dibuat bingung akan sikap Franda ini.

"Apa anak kita gak selamat?
A..apa dia meninggal Nda?" Bisma bertanya kembali. Sekeliling ruangan rawat Franda dipandangnya pilu karna tidak ada sosok bayi mungil disana. Box bayi disamping Franda pun kosong tanpa ada wujuh bayi disana.

"Hiks.. Berati bayi kita beneran meninggal?
Bayi kita gak selamat Nda?" Bisma memandang Franda ragu.


"Maaf Bu, ini bayinya sudah selesai dibersihkan.
Dokter bilang tidak perlu terlalu lama ditaruh didalam ruang inkubator. Bayinya sehat. Jadi boleh langsung bersama ibunya." tiba-tiba seorang suster masuk seraya menggendong bayi yang begitu mungil.

Bisma terpelongo kaget. Ia tidak percaya dan semakin dibuat bingung akan semua ini.

"I..itu a.anak kita Nda?
B..bayinya selamat sayang?" Bisma menunjuk bayi mungil yang digendong oleh sang suster. Ia mendekat dan hendak menyentuh bayi mungil tersebut.

"JANGAN sentuh dia!"

"Suster tolong bawa kemarin bayinya."

"B..baik bu.
Ini putrinya.." suster tersebut pun melewati Bisma dan menghampiri Franda untuk memberikan putri kecil yang beberapa jam yang lalu memang berhasil Franda lahirkan meski lewat operasi sesar.

"Makasih sus.." Franda berujar lembut.

"Iya sama-sama. Kalau begitu saya permisi." suster muda itu pun berlalu keluar dan meninggalkan Franda juga Bisma.

Franda memangku bayi mungilnya. Bibirnya tersenyum saat melihat wajah putri kecil yang begitu lucu yang berhasil ia lahirkan dengan selamat.

"N..ndaa.. Bayinya cantik.
A..apa anak kita perempuan Nda?" Bisma dengan langkah gemetar berjalan mendekati ranjang rawat Franda.

"Putri bunda.. Maafin bunda yah sayang.. Bunda hampir aja gak bisa buat kamu melihat dunia ini.
Bunda hampir menyerah tadi. Maafin bunda nak.. Maafin bunda.." Franda mengecup pipi putri kecilnya. Ia menempelkan pipinya pada wajah bayi mungil tersebut. Franda sama sekali tidak menghiraukan Bisma atau pun pertanyaan yang Bisma lontarkan padanya.

"B..boleh aku gendong dia Nda?" pinta Bisma tiba-tiba. Ia mengulurkan kedua tangannya yang bergetar.

Franda buru-buru menjauhkan bayi mungilnya. Ia menatap Bisma penuh kebencian, lengan Bisma pun ditepisnya sangat kasar.

"Nyentuh dia aja aku gak akan pernah izinin. Apalagi buat gendong dia, GAK AKAN Bis!" jelas Franda menekan kata-katanya.

Tubuh Bisma terasa melemas. Ia tidak mengerti kenapa Franda bisa bersikap demikian padanya. Padahal sudah hak Bisma apabila ingin menggendong putrinya karna Bisma memang adalah ayah kandung dari bayi mungil tersebut.

"Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu Nda?
Kenapa aku gak boleh gendong anak aku sendiri?
Aku pingin nyentuh dia Nda.
Aku pingin gendong dia, please izini aku buat gendong anak aku.
Izinin aku buat ngerasain tubuh mungil dia, aku pingin peluk dia, aku pingi..."

"Non, ini bibi udah dapat kursi rodanya.
Katanya tadi non mau lihat den Rafa.
Ini bibi udah dapat kursi rodanya non.."

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya, yang diketahui pembantu dirumah Rafael datang dengan mendorong sebuah kursi roda.

Bibir Franda tersenyum. Ia mengangguk melihat kedatangan bi Ijah yang sedari tadi ditunggunya.

"Tolong bawa kesini bi, Nda susah kalau sendiri." suruh Franda lembut diselingi air mata yang keluar saat mengingat nama Rafael disebut oleh bi Ijah tadi.

"I..iya non sebentar.." bi Ijah mendorong kursi roda tersebut mendekat kearah Franda. Ia lalu membantu Franda turun dari tempat tidurnya agar berpindah duduk dikursi roda.

"B..biar aku bantu..?"

"Gak usah!" Franda lagi-lagi menepis tangan Bisma. Sebegitu bencinya ia pada Bisma sampai bisa melakukan hal yang membuat hati Bisma sakit karna tingkahnya ini.

"Bi bayinya sini, biar Nda pangku disini.." pinta Franda dengan mata berkaca.

"Iya non. Ini bayinya.."

"Makasih bi.."

"Iya non Franda sama-sama.
Yaudah biar bibi dorong kursi rodanya ya non.
Dokter bilang den Rafa harus segera dipindahkan keruangan yang seharusnya.
Jadi kita harus cepat-cepat kesana sebelum aden dibawa keruangan lain."

"Iya bi, Nda juga pingin bicara sama kak Rafa.
Nda mau ngucapin terimakasih sama dia.
Nda gak mau kehilangan dia bi."

"Sabar non. Bibi tahu ini sangat menyakitkan. Tapi non harus kuat. Bibi yakin non bisa kuat menghadapi semua ini."


Bisma masih memperhatikan apa yang dilakukan Franda dan bi Ijah. Ia membuntuti kemana bi Ijah membawa Franda pergi. Ia membuntutinya keluar. Begitu pun dengan Dina yang ikut membuntuti langkah Bisma Franda juga bi Ijah.

"Sebenarnya ada apa dengan semua ini?
Kenapa sikap Franda jadi kayak gini?
Kenapa sama dia?
Kenapaa?.." air mata Bisma keluar. Dadanya terasa sesak diacuhkan seperti ini oleh istrinya sendiri. Bahkan ia sampai tidak diperbolehkan menyentuh putri kecilnya yang baru saja Franda lahirkan.

"Kasihan Bisma. Ini semua gara-gara aku.
Franda pasti marah besar karna Bisma gak temenin dia saat proses persalinan berlangsung.
Dan itu gara-gara keegoisan aku.
Maafin aku Fran.. Maafin aku Bis..
Aku gak tahu kalau semuanya akan kayak gini.." Dina membatin penuh sesal melihat apa yang terjadi didepan kedua bola matanya.








Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p