Selasa, 01 Juli 2014

Perjanjian Cinta #Part 41

Pagi telah berganti siang, sore hari kini bahkan telah datang...


Franda nampak duduk dikursi teras depan rumahnya. Ia memandang terus kearah depan berharap kalau Bisma akan segera datang dan tidak mengecewakannya lagi.




"Ditelfon nomornya malah gak aktif, sebenernya Bisma niat gak sih buat pulang kerumah ini? Kalau emang gak niat, kenapa gak bilang aja? Atau gak perlu pulang sekalian! Selamanya!!" Franda menggerutu sebal. Ia menarik nafasnya panjang, mencoba menahan emosi yang semakin menggebu.

Franda melirik jam tangan putih dipergelangan kirinya. Ia berdecak. Sekarang sudah tepat pukul lima sore, dan sama sekali tidak ada kabar dari Bisma akan pulang atau pun tidak.

"Apa aku telfon ke kantornya aja?" fikir Franda tiba-tiba.

Tanpa menunggu lama lagi, Franda segera mengeluarkan iphone putih miliknya.

"Untung waktu itu Bisma pernah nelfon pake nomor kantor, jadi aku bisa tau nomor kantornya." Franda mencari kontak nomor kantor Bisma. Ia segera menekan tombol hijau untuk melakukan panggilan.


"Tuut....tuuutt...."


"Halo Bis, kaa.."

"Hallo? Ada yang bisa saya bantu?"

Tiba-tiba kalimat yang hendak keluar dari mulut Franda terhenti. Ia cukup kaget karna bukan suara Bisma yang didengarnya disana.

"Hallo? Ini dengan siapa yah? Ada perlu apa dengan pak Bisma?" suara seorang perempuan muda kembali terdengar disana.

Franda menghela nafasnya. Iphone putihnya kembali ia dekatkan ketelinga.

"Bismanya ada? Saya mau bicara sama dia?"

"Aduh maaf mba, pak Bisma itu lagi sibuk. Mba lain kali aja kalo mau nelfon, sekarang tuh pak Bisma lagi sibuk-sibuknya. Jadi saya haa.."

"Saya mau BICARA sama Bisma SEKARANG!!" tegas Franda sedikit menekan kata-katanya.

Perempuam muda yang ternyata sekertaris Bisma ini terpelongo kaget. Baru kali ini ada yang menelpon atasannya sampai memaksa seperti ini.

"Cepetan panggil Bismanya! Kamu denger saya gak sih?!" Franda mulai emosi.

"HEH! Mba tuh siapa sih? Berani-beraninya mba nyuruh-nyuruh sama saya?! Mba gak tau apa kalo saya ituu..."

"Saya ISTRINYA Bisma!" tegas Franda.

Seketika bola mata sekertaris muda itu membola kaget.

"Kenapa? Kamu kaget hah karna tau saya istrinya Bisma?"

"Ha? Hahaha.. Hahaha, apa mba? Coba bilang sekali lagi? Tadi mba bilang apa? Istri pak Bisma? Ahahaa.. Hahaha.." sekertaris muda yang diketahui bernama Shela itu malah tertawa hingga terpingkal-pingkal. Alhasil Franda semakin dibuat emosi saja akan tingkahnya.

"Errrrrr!!! Kenapa sekertaris gak jelas ini malah ngetawain gue sih?! Emang dia fikir ada yang lucu apa?!" Franda membatin penuh emosi.

"Haha aduuh.. Kayaknya mba tuh baru keluar dari rumah kejiwaan deh. Mba belum sembuh nih pasti. Atau jangan-jangan mba kabur lagi dari sana. Hahaha."

"HEH! JAGA bicara kamu yah!!" bentak Franda kesal.

"Hah? Kenapa saya harus jaga bicara saya? Memangnya saya bicara apa mba? Bukannya itu fakta yah? Lagian setau saya, pak Bisma itu masih single! Jangankan punya istri, pacar aja dia belum punya. Eh tapi saya siap deh jadi calon istrinya. Jadi mba gak usah ngarang dan ngaku-ngaku deh jadi istrinya pak Bisma, karna pak Bisma itu belum punya istri sampai sekarang. Jadi kmungkinan yang jadi istrinya itu saya, bukan mba yang gak jelas banget kaya gini!"


"JLEGG!!"


Tiba-tiba tubuh Franda melemas dan kaku mendengar Shela berucap seperti itu. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dua sungai kecil bahkan tanpa terasa keluar dari sudut mata Franda membasahi pipi putihnya.

"J..jadi..? J..jadi kamu belum bilang Bis..? K..kamu.."

"BRUKS!!"

Karna lemas dan sangat kaget. Franda langsung menjatuhkan Iphonenya begitu saja. Rasanya sangat sesak sekali mengetahui kalau ternyata Bisma belum juga menepati janjinya.

"Ini gak bisa dibiarin! Aku gak suka kamu bohongin aku kaya gini Bis, aku bener-bener kecewa sama kamu, aku KECEWA BISMA!!"

Franda semakin dibuat emosi. Dadanya sampai naik turun dengan tempo cepat. Bulir bening air mata pun tidak dapat dihentikannya lagi. Kakinya mulai melangkah keluar mendekati mobil Alphard hitamnya.

"Aku butuh penjelasan dari kamu Bis. Kamu udah bohongin aku. Kamu bilang kamu udah kenalin aku sama semua pegawai dan staf-staf diperusahaan kamu. Tapi apa Bis? APAA?! Hiks..kamu bohongin aku.. Kamu bohongin akuu.." Franda terisak lirih. Ia berjalan dengan tubuh dan hati yang hancur akan kebohongan Bisma ini.


"Bundaa!!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan Elfaris yang memanggil Franda.

"Bunda mau kemana? Ais ikut buun.. Bunda jangan tigalin Ais.." Elfaris berlari menghampiri sang bunda. Ia nampak ketakutan karna takut ditinggal pergi.

"Maafin bunda Ais.. Maafin bunda. Bunda gak bisa disini, bunda harus pergi, maafin bunda.." Franda menggeleng lemah melihat sosok buah hati kecilnya. Ia kemudian membuka pintu mobilnya dan masuk agar bisa segera pergi.


"Hiks.. Bundaaaa... Bunda jangan tigalin Ais... Bundaaa.. Buunn.. Bunda mau kemanaa..? Ais ikut bundaa.. Ais ikuut...hiks bundaaa.." Elfaris berlari mengejar mobil Franda. Ia mengedor pintu kaca mobil bundanya yang hendak melaju itu seraya menangis histeris.

"Maaf sayang, maaf... Bunda gak bisa ajak Ais sekarang. Maafin bunda nak.." Franda menatap lirih apa yang dilakukan buah hati kecilnya. Tangisan Elfaris terdengar pilu ditelinga Franda. Namun ibu satu anak itu tetap saja pergi. Ia memutar stir mobilnya dan melaju keluar dari halaman rumahnya.


"Hiks bunda.. Buun.. Jangan tigalin Ais...hiks bundaaaaaaaaaa!!" Elfaris berteriak lirih. Ia berdiri mematung memandang sedih mobil Alphard hitam sang bunda yang sudah menjauh pergi.


Tiba-tiba kedua kaki mungilnya berlari. Ia mengejar mobil hitam dihadapannya itu seraya terus menangis. Elfaris bahkan tidak mempedulikan kalau dirinya tidak mengenakan sendal atau pun sepatu.

"Hikss..buuun.. Blenti bundaa.. Bunda blenti... Ais moon bunda. Ais pingin ikut buun... Bundaaaaaa..hiks Ais ikut bunda.. Ais ikuut..." Elfaris terus berlari mempercepat langkahnya. Kedua kaki putihnya yang tidak terbiasa berjalan tanpa alas sampai lecet karna berlari cepat diatas aspal jalanan.


"BRUGGHH!!"


Tiba-tiba saja kaki Elfaris tersandung polisi tidur yang terdapat dijalanan kompleks tersebut. Ia terjatuh. Tubuhnya tersungkur dengan kedua lutut dan siku yang berdarah akibat tergores aspal.

"Hiks bunda jangan tigalin Ais buun..hiks BUNDAAAAAAAAA!!!" teriaknya histeris karna tidak mampu mengejar mobil bundanya lagi.


"Maafin bunda sayang. Bunda bener-bener minta maaf.. Ini semua gara-gara ayah kamu. Bunda kecewa sama dia, bunda kecewa Ais. Maafin bunda.." Franda terus melajukan mobilnya meninggalkan kompleks rumahnya. Ia tidak sanggup melihat kearah belakang lagi. Entah kenapa Franda bisa menjadi seegois ini. Padahal putra kecilnya sendiri sampai menangis histeris tidak mau ditinggalkannya.





** Berbeda dengan Franda. Bisma sendiri justru baru saja menyelesaikan meeting terakhirnya tentang pembahasan perusahaan baru yang menjadi bisnis baru Bisma bersama perusahaan luar. Pantas saja jika pekerjaannya hampir seminggu lebih ini tidak bisa ditunda terus, ini alasan Bisma karna bisnisnya kali ini memang bisnis besar-besaran.


"Nih, aku udah selesai Nda, aku mau ke Bandung sekarang. Meski masih capek, tapi aku gak mau buat kamu tambah marah. Semoga masih ada kesempatan buat aku minta maaf karna nelantarin kamu sama Ais disana. Aku gak sabar pengen ketemu kamu Nda. Rasanya kangen banget.. Apalagi sama Ais. Mudah-mudahan aku sampai sana gak malem yah, biar kalian berdua belum tidur pas aku dateng.."

Bisma masuk kedalam Alphard putihnya. Bibirnya tersenyum lebar membayangkan wajah kedua malaikat hatinya yang sangat ia rindukan. Bayangan wajah Franda dan Elfaris seolah menjadi penyemangat hari-harinya ini.

"Ayah beliin mainan banyak buat Ais. Aku juga beliin boneka-boneka panda buat kamu Nda, kalian pasti seneng.." Bisma melirik kotak-kotak mainan untuk Elfaris yang memang sengaja dibelinya. Boneka panda yang masih terbungkus rapi pun dipandangnya. Ia tidak sabar melihat ekspresi Franda dan Elfaris menerima hadiah-hadiah darinya itu.

Tak lama mobil Alphard putih Bisma melaju meninggalkan area kantornya. Tujuan Bisma saat ini adalah menuju Bandung dimana anak dan istrinya tengah menunggu kehadirannya disana.




** "Dia siapa sayang? Ko bisa ada dirumah kita?" Rafael memandang bingung sosok bocah kecil yang tengah diobati oleh Indah istrinya.

"Aku juga gak tau Raf, tapi kayaknya dia anak tetangga didepan rumah kita, Arfa bilang sih dia itu anak pemilik rumah yang didepan.." jelas Indah seraya menempelkan perekat luka dilutut bocah kecil yang ternyata Elfaris.

"Dia itu anak nakal yan tadi pagi lepal Arfa pake bola pah, utung Arfa gasape gegel otak, gak amesia juda. Kan kao sape amesia, bisa baabe paah.." ujar Arfa menjelaskan dengan kalimat lucu nan polosnya.

Rafael hanya tersenyum mendengar ucapan Arfa yang memang selalu mengundang tawa. Ia mengusap puncak kepala Arfa gemas karna tingkah lucunya.

"Yaudah nanti kalau abis diobatin, langsung anterin aja kerumahnya, takut orang tuanya nyariin. Mereka bisa khawatir nanti.." ujar Rafael lembut.

"Kapa gak sekaang aja pah anteinnya? Tapi gapeu diantein juda pasti dia bisa puang sendii." ceplos Arfa ngasal.

Indah dan Rafael hanya terkekeh melihat sikap Arfa yang sedari tadi sinis terus terhadap Elfaris.

Elfaris tidak berucap sama sekali. Meski ditanya berulang-ulang, namun ia tetap diam terisak. Mungkin karna masih sedih mengingat kejadian sore tadi. Rasa sakit pada lutut dan sikunya tidak sebanding dengan rasa sakit dihatinya akibat ditinggal sang bunda.


"Apa kamu?!" Arfa menatap Elfaris ketus.

"Arfa gak boleh gitu. Masa sama temannya kaya gitu sih? Ajak main dong sayang. Temen Arfa kan lagi sedih. Kasian tuh, lutut sama sikunya aja sampe berdarah. Harusnya Arfa gak boleh kaya gitu.." Rafael menasihati putra kecilnya.

"Tapi dia bakan temen Arfa pah. Arfa aja gatau nananya sapa. Jadi baati bakan temen Arfaa." jelas Arfa menolak.

"Ya kalau belum tau namanya, harusnya Arfa kenalan dong. Masa kenalan aja gak mau? Inget kan kalau papah selalu bilang Arfa ituu.."

"Iya papah Arfa inet! Papah gapeu uang ladi deeh.. Arfa bum amesia ko, dadi masih inet.." Arfa langsung memotong kalimat yang hendak Rafael ucapkan. Bibirnya melebar menunjukkan senyuman paksanya yang memang sangat lucu dan selalu bisa membuat Rafael atau pun Indah tertawa.

"Muach! Anak papah pinter.. Yaudah diajak ngobrol dulu yah temennya. Papah mau kekamar dulu, mau ganti baju, nanti kita sama-sama anterin temen Arfa ini kerumahnya." Rafael beranjak dan hendak berlalu pergi.

"Mamah juga mau tinggal dulu ya Fa? Mamah mau simpan kotak obatnya dulu. Arfa jangan nakal.. Kasian temen Arfanya, kalau bisa Arfa hibur yah? Biar temennya gak nangis lagi." jelas Indah ikut beranjak.

"Siap mah pah. Pokoknya mamah sama papah gapeu hawatir, Arfa pasti bakaan ajakin anak ini main, Arfa jaji ga nakal deeeh.." jelas Arfa tersenyum setuju seraya menunjukkan deretan gigi putihnya.

Indah dan Rafael ikut tersenyum. Keduanya kemudian beranjak dan berlalu membiarkan Arfa dan Elfaris agar bisa berbicara berdua untuk mengakrabkan diri.




* "Pasaan dai tadi Arfa nomong teus deh, tapi anak kecil ini teptep aja diem. Tinganya jan janan lusak ladi, jadi gabisa denel suaa Arfa." Arfa membidik Elfaris curiga. Kedua matanya mendelik lucu memperhatikan telinga Elfaris.

Memang sudah hampir 30menit Arfa berceloteh ria mengajak Elfaris berbicara, mulai dari bertanya nama, sebab dan akibat kenapa Elfaris menangis ditengah jalan kompleks tadi. Hingga Arfa sampai dibuat pusing sendiri karna Elfaris tetap saja diam tidak mau berbicara. Bocah tampan itu hanya diam dan diam seribu bahasa.

"Hufh, kamea dimana sih? Arfa nyeah deh kao dituh.. Mana sih kamea? Arfa mau labai tanan aja. Anak kecil ini payah, kayaknya tinga dia bakan cuna lusak, tapi udah sadium ahil.. Arfa nyeaaaaaahh.." Arfa membalikkan badannya dan beranjak berdiri. Ia tidak mau mengajak Elfaris berbicara lagi karna bocah tampan itu tetap saja diam tidak mempedulikannya.


"Ais mau bunda. Ais mau bunda buun.. Kenapa bunda tigalin Ais sih? Kenapa bunda tigalin Ais..hiks bundaa .." Elfaris membatin lirih penuh sesak. Rupanya ia menghiraukan segala ocehan Arfa karna terus saja teringat sosok bundanya. Kedua mata Elfaris ia pejamkan. Bulir bening air mata itu kembali keluar dari sudut matanya dan mengalir membasahi pipinya.

"Ayaah.. Ayah kapan pulang? Ais gamau sendili disini yah.. Bunda udah pelgi. Bunda tigalin Ais yah.. Ais pingin ayah pulang, Ais pingin ketemu ayah..hiks.." suara isakan tangis Elfaris terdengar lirih dan pelan. Arfa terpelongo bingung. Ia melihat wajah Elfaris sudah basah dengan air mata, padahal dirinya tidak berbuat apa-apa dan tidak menyakiti Elfaris.

"Waaah ini sih nananya panggalan. Pasaan Arfa ga bat apa-apa, tapi kaapa anak kecil ini maah nanis? Sape kual ail mata ladi.. Waaahh bisa dimaahin papah nih ntal.." Arfa membatin gelisah dan takut. Mimik wajahnya seketika menjadi lucu karna kaget dan bingung serta takut bercampur menjadi satu.





Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p