Ruangan serba putih dengan dipenuhi bau obat-obatan yang menyengat
seolah menjadi rumah kedua bagi lelaki tampan bernama Rafael ini.
Memang sudah hampir 6'bulan lamanya ia sering bolak-balik
mengunjungi ruangan tersebut. Menemui sang kekasih hati yang sudah enam
bulan terakhir ini terbaring lemah tak berdaya diatas ranjang rumah
sakit.
Kecelakaan mau enam bulan lalu memang hampir merenggut nyawa Karina Cantika perempuan cantik pemilik hatinya.
Rafael melangkah pelan menghampiri tubuh tak berdaya Karina. Ia
membawa seikat bunga mawar putih yang memang menjadi bunga favorit
Karina. Ia duduk dikursi disamping tempat Karina berbaring. Rafael
meletakkan bunga yang dibawanya diatas vas kecil dimana bunga yang
serupa masih terdapat disana namun dalam keadaan yang sudah layu.
Rafael meraih lengan halus Karina. Ia mengelusnya lembut,
mendekatkannya perlahan pada bagian wajahnya. Lengan yang lemah tak
berdaya itu ia kecup serta usap lembut.
"Aku kangen kamu.." lirihnya tiba-tiba. Tanpa terasa bulir bening
air mata jatuh membasahi pipi putihnya. "kapan kamu akan bangun?
Apa kamu gak capek tidur terus?
Aku kesepian disini..
Aku butuh kamu Rin.. Aku butuh kamu.." Rafael memejamkan matanya.
Hatinya terasa sesak melihat kondisi perempuan yang dicintainya tidak
juga menunjukkan perubahan. Terlebih selama enam bulan terakhir ini
kondisinya masih tetap koma tidak juga terbangun.
"Besok hari pernikahan kita, kamu udah siap kan untuk jadi istri aku
nantinya? Jadi ibu dari anak-anak aku, dan jadi pendamping setia aku
sampai kita tua nanti."
"Aku siap, aku saangat siap.."
"Hihi makasih sayang.. Kamu memang perempuan yang sangat-sangat aku
sayangi. Kamu selalu bisa buat aku senang dan bahagia. Aku benar-benar
udah gak sabar buat hari esok.."
"Aku juga udah gak sabar. Aku gak sabar ingin menjadi pemilik hati
kamu seutuhnya, jadi pendamping kamu, dan jadi bagian dari hidup kamu.
Aku udah gak sabar Raf.."
"Oh yah?"
"Issh Rafa aku serius.."
"Hihi iya sayang aku juga serius ko. Mmuach, makasih yah udah mau
menjadi bagian dari hidup aku. Makasih juga karna kamu udah kasih penuh
warna dalam hari-hari aku. Apalagi mulai esok, hari aku akan lebih
berwarna lagi karna kamu, sekali lagi makasih sayang.."
Air mata Rafael tiba-tiba menetes. Kenangan indahnya saat Karina
belum mengalami kecelakaan setengah tahun lalu seolah terekam kembali
dimemori ingatannya. Kalimat cinta serta sayang yang ia dan Karina
ucapkan kini hanya bisa menjadi angan dan bayang semu. Semuanya seolah
sirna. Terlebih sampai saat ini kondisi Karina tidak juga menunjukkan
perubahan.
"Aku yakin kamu pasti gak akan biarin aku terus-menerus sendiri disini.
Aku yakin kamu pasti ingin bangun kan Rin?
Aku akan tetap nunggu kamu.
Sampai kapan pun aku akan nunggu kamu disini.." Rafael kembali
mengecup tangan Karina lembut. Ia menempelkan lengan halus itu pada
pipinya. Mengelusnya pelan dan merasakan denyut nadi yang masih terasa
berdenyut itu.
"Pasaan tiap hai om itu sau ada disini teus. Kaau ga nanis ya pasti
neluain ail mata. Nomong sendii, tus nanis sendii juda. Hmm dasal oang
aneh.." Tiba-tiba bocah kecil berusia 5tahun ini berujar polos dengan
ekspresi bingungnya. Ia tak sengaja melintas melewati pintu ruangan
rawat Karina yang terbuka. Ia memang menjadi bagian dari rumah sakit
tersebut. Tepatnya sebagai pasient. Makanya tak heran kalau ia bisa
melihat Rafael sering mengunjungi ruangan rawat Karina kekasih hatinya.
Bocah kecil itu kemudian berlalu pergi. Kaos hijau dengan celana
jeans panjang digunakannya. Ia tidak terlihat seperti seorang pasient.
Padahal sebenarnya ia adalah salah satu pasient rumah sakit tersebut.
**
Sepulang dari rumah sakit Rafael kini hanya berdiam diri didalam
kamarnya. Ia duduk merenung seraya memandangi photo dirinya saat berdua
dengan Karina. Photo dimana disana Karina tengah tertawa senang seraya
mencubit kedua pipinya dengan kencang dari belakang. Ekspresinya sangat
lucu, terlebih wajah Rafael sendiri seperti yang menahan sakit. Dan itu
merupakan kenangan yang sangat indah baginya yang kini tidak bisa ia
rasakan lagi.
"Sebaiknya kamu lupakan saja perempuan itu Raf..
Mamah tidak tega kalau harus terus-menerus melihat kamu seperti ini.
Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Tidak seharusnya
kamu menunggu seseorang yang kemungkinan besar tidak akan pernah bisa
kamu harapkan lagi.." Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita paruh
baya yang berdiri diambang pintu kamar Rafael. Wanita yang ternyata
bernama tante Nila ibu dari Rafael itu berjalan masuk menghampiri
Rafael.
"Gak seharusnya mamah bicara kayak gitu mah.. Sampai kapan pun Rafa
akan tetap nunggu Karina bangun. Rafa yakin Karin pasti sembuh mah. Rafa
sangat yakin.." Rafael berujar pelan tanpa menoleh kearah sang mamah.
Ia mengelus pipi Karina yang terdapat diphoto yang tengah dipegangnya
itu.
"Mamah tidak bermaksud apa-apa Raf. Mamah hanya tidak mau melihat
kamu terus-menerus bersedih. Mamah ingin kamu bahagia. Mamah harap kamu
bisa menentukan apa yang lebih baik untuk diri kamu karna mamah ingin
melihat kamu bahagia Rafa.." tante Nila mengelus punggung Rafael dengan
kalimat lembut yang keluar dari mulutnya.
Namun Rafael hanya diam. Ia menunduk dan lagi-lagi tidak mau menoleh menatap wajah sang mamah.
"Hem yasudah mamah keluar. Kamu jangan tidur terlalu larut. Jaga
kondisi kamu Raf. Perempuan itu bukan hanya Karina saja. Kalau kamu mau
mamah sama papah bisa mencarikan perempuan lain pengganti Karina untuk
kamu. Mamah yakin diluar sana masih banyak kebahagiaan yang menunggu
kamu. Mamah sangat yakin itu Raf.." tante Nila berucap pelan diakhiri
satu kecupan yang ia daratkan dipuncak kepala putra semata wayangnya
itu. Ia kemudian keluar dari kamar Rafael dan meninggalkan putranya
tanpa mau mengganggunya lagi.
"Mamah salah mah.. Kebahagiaan Rafa itu justru ada di Karina. Rafa
yakin Karin pasti akan bangun. Dia pasti gak akan terus tidur mah. Dia
akan bangun dan kasih Rafa kebahagiaan besar. Rafa sangat yakin itu.."
batin Rafael memandang sosok tante Nila yang sudah berlalu dari
kamarnya. Bingkai photo Karina kembali ia tatap. Ia bahkan mengecup dan
mendekap bingkai yang terdapat photo kekasih hatinya itu.
**
"Tante aneh! Tante gak cape yah tidul teus?
Arfa aja capek tan kaau haus disuuh tidul teus, makanya Arfa seing
jan-jaan keual dai kamal Arfa. Tapi tante benean aneh!!" sosok bocah
kecil dengan nada suara khasnya itu memandang bingung tubuh Karina yang
masih tetap terbaring tak berdaya diatas ranjang rumah sakit. Keningnya
mengerut, ekspresi wajahnya sangat lucu karna tidak mengerti dengan apa
yang terjadi pada perempuan cantik dihadapannya itu.
"Tante tau gak, hapil tiap hai Arfa sau lihat om sipit itu datang
kesini, dia sau bawain buna atau cokat. Om sipit itu juda suka nomong
sendii disini, nanis, bakan kadang suka ketawa sendii. Arfa dadi binun
tan, apaagi tante gapenah mau buka mata tante, tante ganau banun..
Pahahal om sipit itu sau minta buat tante banun, tapi teptep aja tante
egak mau banun. Emanya tante gak kasian yah sama om sipit itu?.." kini
bocah yang ternyata bernama Arfa itu malah mengoceh tanpa jeda. Ia
berdiri disamping tubuh Karina seraya berbicara sendiri dengan sosok
perempuan yang hanya bisa bertahan karna alat-alat medis itu.
"Tante ko diem? Kapa sih tante diem teus? Emanya tante gak bosen
tidul teus? Ayo dong tan banun.. Janan tidul teus!!" Arfa tampak kesal.
Ia sedikit mengguncang tubuh Karina yang sama sekali tidak mau bereaksi
sedikitpun.
Arfa diam. Ia memandang wajah Karina. Kedua kelopak mata yang terus
terpejam serta tubuh yang tidak pernah bergeming itu membuatnya tampak
berfikir.
"Kaau tante tidulk teus baati tante ganau sebuh. Kayak Arfa dong
tan, Arfa tuh mau sebuh, makanya Arfa ga penah mau diem kana Arfa pen
sebuh.." jelasnya kemudian duduk dikursi samping Karina.
Arfa memandang sekeliling ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan yang
menyengat itu. Sesekali pandangannya menatap alat-alat medis yang
menempel ditubuh Karina. Entah itu selang oxigen, infus atau kabel-kabel
kecil yang menempel memenuhi tubuh Karina.
"Kaau tante mau tidul teus, meding tante gausah pake at aat ini
ladi, tante jaat! Tante ga penau mau banun dan egak tidul ladi. Dadi
meding seang ini Arfa buka ajah!" tiba-tiba Arfa beranjak dan hendak
melepas selang oxigent yang menutupi hidung Karina. Ia juga bahkan
hendak mematikan alat pendeteksi jantung yang hanya bisa dirasakan
detaknya saja itu.
"Arfa lagi apa?" tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki muda dengan pakaian putih menegurnya.
"Om Doktel..?" Arfa menoleh kaget kearah seseorang yang ternyata bernama Bisma itu.
Bisma yang kebetulan menjabat sebagai seorang Dokter muda itu berjalan masuk menghampiri Arfa.
"Om cariin Arfa dari tadi. Kakek Tan juga nanyain terus. Kita
kekamar yah? Sekarang udah malam. Arfa gak boleh berada diluar ruang
kamar Arfa terus. Apalagi Arfa disini, ini ruangan orang lain sayang,
Arfa gak boleh ada disini.." Bisma berucap pelan seraya berjongkok
menyamai tinggi bocah kecil itu.
"Tadi Arfa cuna lewat aja ko omm. Ladian Arfa disini cuna pen lihat
tante cantik itu, udah lama tante itu tidul teus. Arfa pen lihat dia
banun. Tapi tante ini ganau banun juda. Pahahal om sipitnya sau datang
kesini baal tante ini banun. Tapi tetep aja ganau om.. Arfa dadi kasian
sama om sipitnya. Om sipit pati sedih om.." jelas Arfa polos menatap
Bisma.
Bisma hanya tersenyum kecil. Ia meraih tubuh Arfa kemudian
menggendongnya. Mengelus puncak kepala Arfa dan sesekali melemparkan
senyuman manisnya.
"Mungkin tante cantiknya masih ngantuk. Arfa gak boleh ganggu yah?
Om yakin ko, suatu saat tante cantiknya pasti bangun. Tapi sekarang Arfa
harus bobo dulu. Besok Arfa kan mau operasi. Kakek Tan udah nungguin
disana. Ya sayang?" Bisma berujar begitu lembut seraya berjalan keluar
membawa Arfa.
Arfa hanya diam. Ia memandang sosok Karina yang tetap tidak bergeming sama sekali itu.
"Tante tau gak, besok Arfa mau opasi tan, Arfa mau opasi jatung.
Sebenelnya Arfa takut. Arfa ganau opasi, tapi Arfa pen sebuh. Arfa ganau
sakit teus, Arfa kasian sama kakek Tan juda om Bima yan tus Arfa
lepotin.
Kaau besok Arfa dadi kayak tante tidul kayak gini, Arfa pasti akan
busaha banun. Arfa pasti akan banun kana Arfa ganau tigai kakek Tan juda
om Bima. Arfa ganau susul papah sama mamah Arfa duu. Arfa masih pen
sama kakek Tan dan om Bima.
Tante juda haus banun yah? Baal om sipit ga sedih teus. Arfa pegi
tan.." lirih Arfa membatin. Rupanya ia memiliki masalah yang cukup
serius juga karna dirinya memang sudah sakit sejak lama. Makanya tak
heran kalau ia bisa berkeliaran dan tinggal dirumah sakit ini. Terlebih
kakek Tan adalah kakek satu-satunya sekaligus pemilik rumah sakit ini.
Sedangkan Bisma sendiri adalah Dokter pribadi yang dipercaya oleh kakek
Tan untuk mengobati Arfa sampai sembuh.
Bisma melangkah meninggalkan ruangan rawat Karina. Bibirnya sesekali
tersenyum miris melihat tubuh Karina yang masih berbaring tak berdaya
itu.
"Aku tau, mungkin bangun dari koma itu hanya butuh keajaiban dari
Tuhan saja yang bisa diharapkan. Tapi apa kamu gak mau berusaha untuk
bangun Rin?
Apa kamu gak kasihan sama Rafael?
Dia menyayangi kamu tulus Rin. Hatinya sangat begitu tulus. Mungkin
hanya satu dari sekian banyak laki-laki yang memiliki hati seperti
Rafael.
Meskipun kedua orang tuanya sering melarang dia untuk berhenti
mengharapkan kamu, tapi dia gak pernah mau peduli. Keyakinannya begitu
kuat Rin. Karna dia yakin kamu pasti akan bangun untuknya. Tapi sampai
kapan?
Aku sendiri gak tega kalau harus lihat sahabat aku seperti itu
terus. Dia udah seperti kehilangan akal sehat Rin. Semoga kamu mau
bangun dan kasih Rafael kebahagiaan. Semoga.." Bisma berujar dalam hati
sebelum kemudian berlalu keluar dari ruangan rawat Karina.
Entah kenapa tiba-tiba bulir bening keluar dari pelupuk mata Karina.
Ia menangis. Padahal ucapan Bisma atau Arfa tadi tidak bisa didengarnya
dengan telinga karna mereka hanya berbicara dalam hati. Apa mungkin
Karina mendengarnya dengan hati? Entahlah, tapi semoga ini bisa menjadi
awal yang baik untuk Karina dan ia mau menghentikan tidur panjangnya
yang sudah hampir enam bulan lebih ini.
**
Tiga hari kemudian..
Wajah Rafael tampak begitu panih dan khawatir. Setelah dua hari
tidak datang melihat keadaan Karina justru kini ia dikagetkan karna
Karina tidak ada diruangan rawatnya. Hatinya semakin takut. Fikiran
buruk pun berkecamuk dikepalanya. Ia berlari mencari sosok Karina dan
mengobrak-abrik seisi ruangan tersebut. Ia bahkan sampai berlari
menelusuri rumah sakit. Mencari tahu dimana kini kekasih hatinya berada.
"Besok katanya pak Karim bilang dia mau melepas semua alat-alat
medis yang menempel ditubuh Karina. Mungkin biayanya sudah tidak bisa ia
tanggung lagi karna sangat mahal, terlebih selama setengah tahun ini
Karin memang tidak menunjukkan perubahan. Mba Ratna istrinya juga sudah
pasrah akan keadaan putrinya itu. Mungkin itu memang yang terbaik untuk
Karin.."
"Syukur kalau begitu, berati papah tidak perlu bersusah payah
menyuruh Rafael agar meninggalkan perempuan yang hanya membuatnya gila
itu. Mungkin dengan itu memang lebih baik.."
"Iya pah, mamah juga berfikir seperti itu. Mamah tidak tega sama
Rafael. Meskipun mamah tahu Karina itu anak yang baik, tapi mamah tidak
mau kalau Rafael jadi terus bermimpi akan sesuatu yang sangat tidak
memungkinkan itu.."
"J..jadi?" tiba-tiba wajah Rafael semakin terlihat cemas. Ia
menghentikan langkahnya. Ucapan kedua orang tuanya seolah kembali ia
ingat. "Apa mungkin yang mamah sama papah ucapkan itu benar? B..berati?"
fikiran Rafael semakin dibuat kalut dan bertanya-tanya.
Rafael berlari mencari sosok Bisma. Teman sekaligus sahabat
dekatnya. Mungkin Bisma lebih tahu karna Bisma lebih sering berada
dirumah sakit dari pada dirinya.
"Gue lagi dipemakaman Raf.."
Tiba-tiba langkah kaki Rafael lagi-lagi terhenti. Telpon dari Bisma pagi tadi seolah kembali ia ingat.
"Ya Tuhan...
Apa jangan-jangan Bisma lagi dipemakaman Karina?
L..lalu kenapa gak ada yang ngasih tahu gue?..
K..kenapa dengan semua orang hari ini?
Hiks.. Enggak.. Kamu gak boleh pergi tinggalin aku Rin.. Gak
boleh.." lirih Rafael kembali berlari meninggalkan rumah sakit. Pergi
ketempat pemakaman untuk mencari sosok Bisma dan mencari akan semua
kebenaran yang terjadi yang sama sekali tidak diketahuinya itu.
**
"Kamu tau. waktu itu, suasana yang sunyi dan sepi aku seolah denger
suara seseorang. Suara yang entah kenapa bisa buat aku nangis. Aku
rasanya ingin berlari mencari sumber suara itu. Suara yang terdengar
beberapa kali ditelinga aku. Bahkan ada juga suara anak kecil. Aku terus
lari, aku gak tahu aku berlari kemana. Semuanya sama, semuanya putih.
Aku bagaikan berlari ditempat yang sama. Tapi suara anak kecil itu
semakin lama semakin terasa dekat ditelinga aku. Aku gak peduli, aku
terus berlari dan berlari. Meski aku tetap berada ditempat yang sama
tapi aku terus berlari.
Aku lari Bis.." sosok gadis cantik yang duduk diatas kursi roda ini
bercerita dengan bulir bening air mata yang mengiringi ucapannya.
Bisma hanya diam. Ia tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi
cerita yang gadis tersebut ucapkan. Kedua bola matanya hanya memandang
pilu gundukan tanah merah dihadapannya.
"Dia anak yang kuat. Dia juga anak yang ceria. Tapi aku gak bisa
selamatin dia. Aku gak bisa Rin.." Lirih Bisma penuh sesal. Gadis cantik
yang ternyata Karina itu diam. Ia memandang Bisma dan menatap lekat
mata bening Bisma.
"Kamu tahu? Arfa pernah bilang sama aku kalau dia ingin lihat kamu
bangun. Dia gak mau lihat Rafael yang selalu dipanggil om sipit olehnya
sedih terus.
Dia sering merhatiin kamu Rin, dia juga suka masuk ruangan kamar
rawat kamu. Ngoceh sendiri dengan kalimatnya yang masih belepotan itu.
Dia kadang suka marah Rin, dia marah karna kamu gak mau bangun. Dan
sekarang.. Disaat kamu udah bangun, justru dia yang pergi. Dia yang
tidur Rin.. Tidur untuk selamanya dan pergi dari dunia ini. Dia udah gak
ada Rin.." Bisma menyeka air matanya. Karina ikut menangis. Batu nisan
bertuliskan nama ARFA ELFANO TAN itu dipandangnya pilu. Photo berukuran
cukup besar yang terdapat disamping batu nisan tersebut pun seolah
menggambarkan wajah polos Arfa yang memang tidak terlalu dikenalnya itu.
"Kamu mungkin gak kenal sama Arfa. Tapi Arfa kenal kamu dan tahu semua tentang kamu dari Rafael.
Disaat Rafael lagi nungguin kamu dirumah sakit, Arfa suka
menghampiri Rafael, bocah itu suka ngoceh dan nanya-nanya gak jelas
tentang kenapa Rafael suka nangis dan nemuin kamu disana. Dia anaknya
selalu ingin tahu. Makanya malam terakhir sebelum dia operasi dia sempat
masuk kekamar kamu. Dia bilang dia gak mau lihat kamu tidur terus. Dia
gak mau lihat Rafael terus bersedih dan nangisin kamu. Dia gak mau Rin..
Dia sangat menyayangi Rafael.. Dia bilang Rafael itu mirip papahnya
yang udah lama pergi. Dia selalu bilang begitu Rin..." Bisma kembali
bercerita. Air matanya benar-benar sudah tidak sanggup ia tahan lagi. Ia
menangis terisak didepan gundukan tanah merah tempat peristirahatan
terakhir Arfa. Sedangkan keluarga Arfa yang lain sudah berlalu pulang
sejak beberapa jam yang lalu.
Air mata Karina ikut menetes. Ia meraih batu nisan dihadapannya.
Mengelusnya pelan serta mengelus bingkai photo Arfa yang disimpan
disamping batu nisan tersebut.
"Anak yang baik.. Dia pintar.. Tapi kenapa harus secepat ini?..
Padahal tante ingin mengenal kamu. Tante ingin berterimakasih sama
kamu.." lirihnya membatin.
**
"Jujur. Sebenernya aku masih belum percaya kalau sekarang kamu udah
bangund an sembuh. Aku masih kayak mimpi Rin.." Rafael berujar tidak
percaya.
Karina hanya tersenyum. Ia mengelus kedua pipi Rafael yang begitu
dekat dengan wajahnya itu. "Ini bukan mimpi Raf. Ini kenyataan.. Mungkin
Tuhan terlalu sangat menyayangi kamu. Makanya aku Ia bangunkan dan itu
khusus buat kamu.." jelasnya lembut diiringi senyum.
Rafael menarik tubuh Karina kedalam pelukannya. Mendekapnya meskipun
terasa cukup sulit karna posisi Karina sendiri masih duduk diatas kursi
rodanya.
"Aku sayang sama kamu Rin. Please aku mohon jangan pernah tinggalin
aku lagi. Jangan kamu tidur terlalu lama lagi. Karna aku gak bisa
sendiri tanpa kamu.." Rafael mengecup puncak kepala Karina lembut.
"Aku gak akan kemana-mana ko Raf. Meski aku pergi jauh sekalipun,
hati aku pasti akan selalu disini.. Dihati kamu.." Karina menyentuh dada
bidang Rafael. Menunjuknya seraya menatap teduh lelaki tampan yang
begitu sangat tulus mencintainya itu.
"Ternyata semua yang Arfa bilang itu benar. Jika kita yakin semua
baik, pasti akan berakhir baik juga. Begitu pun dengan Karina. Akhirnya
dia bisa kembali kepelukanku juga. Menjadi bagian dari hidupku dan
sebentar lagi akan menjadi istriku.." Rafael membatin.
"Besok lusa kita menikah. Kita akan mengukir cinta kita lagi yang
sempat tertunda enam bulan lamanya. Tapi aku mau besok kamu antar aku ke
tempat pemakaman Arfa yah? Aku mau berkunjung kesana lagi. Aku mau
berterimakasih sama dia karna selama aku koma dia yang selalu nemenin
kamu juga kasih kamu semangat.. Kamu mau kan?" tanya Karina.
Dengan sangat mantapnya Rafael mengangguk setuju. "Aku pasti mau
sayang.. Aku juga ingin pergi kesana lagi. Ternyata bukan hanya Bisma
dan kakeknya yang kehilangan Arfa. Tapi aku juga sangat kehilangan bocah
kecil itu.." Rafael kembali menarik tubuh Karina dan mendekapnya.
"Ternyata roda itu benar-benar tidak berhenti. Ia pasti akan terus
berputar dan berputar. Begitu pun dengan hidupku, kisahku juga cintaku.
Semuanya tidak berhenti sampai disitu. Sekarang semua sudah berputar
lagi dan siap untuk berjalan kedepan yang lebih baik.
Andai kamu masih disini Fa, om pasti akan bertambah senang. Om sudah
menganggap kamu anak om sendiri. Anak yang ceria dan terkadang so tau,
tapi kamu sangat memiliki hati yang tulus setulus hati om yang begitu
sangat mencintai Karina.." Rafael tersenyum seraya terus mendekap tubuh
Karina. Ia mengecup kening Karina dan mengelus rambut panjang Karina
penuh kasih sayang.
"Tuh kan Arfa benel! Belati om haus kasih Arfa pemen..
Arfa bahagia kau lihat om juda bahagia.
Tapi isini Arfa bih bahagia om kana disini Arfa ketemu sama papah
juda mamah Arfa.." tiba-tiba sosok bocah kecil berpakaian serba putih
tersenyum kecil memandangi Rafael dan Karina yang masih dalam posisi
saling memeluk. Ia kemudian lenyap seketika dan begitu bahagianya karna
melihat orang yang disayanginya bahagia.
Tidak selamanya sesuatu yang buruk itu terus-menerus berakhir buruk.
Begitu pun sebaliknya. Terkadang justru sesuatu yang baik bisa berakhir buruk.
Jadi, jangan berhenti berharap dan berusaha. Ubahlah sesuatu yang buruk itu agar senantiasa menjadi baik dan berakhir bahagia.
Gunakan hatimu, Setulus Hatiku..
TAMAT
aduhhh sedih banget jadi nagis bacanya
BalasHapus