Minggu, 17 November 2013

Setulus Hatiku #Cerpen Spesial HBD Rafael

Ruangan serba putih dengan dipenuhi bau obat-obatan yang menyengat seolah menjadi rumah kedua bagi lelaki tampan bernama Rafael ini.
Memang sudah hampir 6'bulan lamanya ia sering bolak-balik mengunjungi ruangan tersebut. Menemui sang kekasih hati yang sudah enam bulan terakhir ini terbaring lemah tak berdaya diatas ranjang rumah sakit.
Kecelakaan mau enam bulan lalu memang hampir merenggut nyawa Karina Cantika perempuan cantik pemilik hatinya.


Rafael melangkah pelan menghampiri tubuh tak berdaya Karina. Ia membawa seikat bunga mawar putih yang memang menjadi bunga favorit Karina. Ia duduk dikursi disamping tempat Karina berbaring. Rafael meletakkan bunga yang dibawanya diatas vas kecil dimana bunga yang serupa masih terdapat disana namun dalam keadaan yang sudah layu.

Rafael meraih lengan halus Karina. Ia mengelusnya lembut, mendekatkannya perlahan pada bagian wajahnya. Lengan yang lemah tak berdaya itu ia kecup serta usap lembut.

"Aku kangen kamu.." lirihnya tiba-tiba. Tanpa terasa bulir bening air mata jatuh membasahi pipi putihnya. "kapan kamu akan bangun?
Apa kamu gak capek tidur terus?
Aku kesepian disini..
Aku butuh kamu Rin.. Aku butuh kamu.." Rafael memejamkan matanya. Hatinya terasa sesak melihat kondisi perempuan yang dicintainya tidak juga menunjukkan perubahan. Terlebih selama enam bulan terakhir ini kondisinya masih tetap koma tidak juga terbangun.


"Besok hari pernikahan kita, kamu udah siap kan untuk jadi istri aku nantinya? Jadi ibu dari anak-anak aku, dan jadi pendamping setia aku sampai kita tua nanti."

"Aku siap, aku saangat siap.."

"Hihi makasih sayang.. Kamu memang perempuan yang sangat-sangat aku sayangi. Kamu selalu bisa buat aku senang dan bahagia. Aku benar-benar udah gak sabar buat hari esok.."

"Aku juga udah gak sabar. Aku gak sabar ingin menjadi pemilik hati kamu seutuhnya, jadi pendamping kamu, dan jadi bagian dari hidup kamu. Aku udah gak sabar Raf.."

"Oh yah?"

"Issh Rafa aku serius.."

"Hihi iya sayang aku juga serius ko. Mmuach, makasih yah udah mau menjadi bagian dari hidup aku. Makasih juga karna kamu udah kasih penuh warna dalam hari-hari aku. Apalagi mulai esok, hari aku akan lebih berwarna lagi karna kamu, sekali lagi makasih sayang.."

Air mata Rafael tiba-tiba menetes. Kenangan indahnya saat Karina belum mengalami kecelakaan setengah tahun lalu seolah terekam kembali dimemori ingatannya. Kalimat cinta serta sayang yang ia dan Karina ucapkan kini hanya bisa menjadi angan dan bayang semu. Semuanya seolah sirna. Terlebih sampai saat ini kondisi Karina tidak juga menunjukkan perubahan.

"Aku yakin kamu pasti gak akan biarin aku terus-menerus sendiri disini.
Aku yakin kamu pasti ingin bangun kan Rin?
Aku akan tetap nunggu kamu.
Sampai kapan pun aku akan nunggu kamu disini.." Rafael kembali mengecup tangan Karina lembut. Ia menempelkan lengan halus itu pada pipinya. Mengelusnya pelan dan merasakan denyut nadi yang masih terasa berdenyut itu.


"Pasaan tiap hai om itu sau ada disini teus. Kaau ga nanis ya pasti neluain ail mata. Nomong sendii, tus nanis sendii juda. Hmm dasal oang aneh.." Tiba-tiba bocah kecil berusia 5tahun ini berujar polos dengan ekspresi bingungnya. Ia tak sengaja melintas melewati pintu ruangan rawat Karina yang terbuka. Ia memang menjadi bagian dari rumah sakit tersebut. Tepatnya sebagai pasient. Makanya tak heran kalau ia bisa melihat Rafael sering mengunjungi ruangan rawat Karina kekasih hatinya.

Bocah kecil itu kemudian berlalu pergi. Kaos hijau dengan celana jeans panjang digunakannya. Ia tidak terlihat seperti seorang pasient. Padahal sebenarnya ia adalah salah satu pasient rumah sakit tersebut.



**
Sepulang dari rumah sakit Rafael kini hanya berdiam diri didalam kamarnya. Ia duduk merenung seraya memandangi photo dirinya saat berdua dengan Karina. Photo dimana disana Karina tengah tertawa senang seraya mencubit kedua pipinya dengan kencang dari belakang. Ekspresinya sangat lucu, terlebih wajah Rafael sendiri seperti yang menahan sakit. Dan itu merupakan kenangan yang sangat indah baginya yang kini tidak bisa ia rasakan lagi.

"Sebaiknya kamu lupakan saja perempuan itu Raf..
Mamah tidak tega kalau harus terus-menerus melihat kamu seperti ini.
Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Tidak seharusnya kamu menunggu seseorang yang kemungkinan besar tidak akan pernah bisa kamu harapkan lagi.." Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita paruh baya yang berdiri diambang pintu kamar Rafael. Wanita yang ternyata bernama tante Nila ibu dari Rafael itu berjalan masuk menghampiri Rafael.

"Gak seharusnya mamah bicara kayak gitu mah.. Sampai kapan pun Rafa akan tetap nunggu Karina bangun. Rafa yakin Karin pasti sembuh mah. Rafa sangat yakin.." Rafael berujar pelan tanpa menoleh kearah sang mamah. Ia mengelus pipi Karina yang terdapat diphoto yang tengah dipegangnya itu.

"Mamah tidak bermaksud apa-apa Raf. Mamah hanya tidak mau melihat kamu terus-menerus bersedih. Mamah ingin kamu bahagia. Mamah harap kamu bisa menentukan apa yang lebih baik untuk diri kamu karna mamah ingin melihat kamu bahagia Rafa.." tante Nila mengelus punggung Rafael dengan kalimat lembut yang keluar dari mulutnya.

Namun Rafael hanya diam. Ia menunduk dan lagi-lagi tidak mau menoleh menatap wajah sang mamah.

"Hem yasudah mamah keluar. Kamu jangan tidur terlalu larut. Jaga kondisi kamu Raf. Perempuan itu bukan hanya Karina saja. Kalau kamu mau mamah sama papah bisa mencarikan perempuan lain pengganti Karina untuk kamu. Mamah yakin diluar sana masih banyak kebahagiaan yang menunggu kamu. Mamah sangat yakin itu Raf.." tante Nila berucap pelan diakhiri satu kecupan yang ia daratkan dipuncak kepala putra semata wayangnya itu. Ia kemudian keluar dari kamar Rafael dan meninggalkan putranya tanpa mau mengganggunya lagi.

"Mamah salah mah.. Kebahagiaan Rafa itu justru ada di Karina. Rafa yakin Karin pasti akan bangun. Dia pasti gak akan terus tidur mah. Dia akan bangun dan kasih Rafa kebahagiaan besar. Rafa sangat yakin itu.." batin Rafael memandang sosok tante Nila yang sudah berlalu dari kamarnya. Bingkai photo Karina kembali ia tatap. Ia bahkan mengecup dan mendekap bingkai yang terdapat photo kekasih hatinya itu.




**
"Tante aneh! Tante gak cape yah tidul teus?
Arfa aja capek tan kaau haus disuuh tidul teus, makanya Arfa seing jan-jaan keual dai kamal Arfa. Tapi tante benean aneh!!" sosok bocah kecil dengan nada suara khasnya itu memandang bingung tubuh Karina yang masih tetap terbaring tak berdaya diatas ranjang rumah sakit. Keningnya mengerut, ekspresi wajahnya sangat lucu karna tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada perempuan cantik dihadapannya itu.

"Tante tau gak, hapil tiap hai Arfa sau lihat om sipit itu datang kesini, dia sau bawain buna atau cokat. Om sipit itu juda suka nomong sendii disini, nanis, bakan kadang suka ketawa sendii. Arfa dadi binun tan, apaagi tante gapenah mau buka mata tante, tante ganau banun.. Pahahal om sipit itu sau minta buat tante banun, tapi teptep aja tante egak mau banun. Emanya tante gak kasian yah sama om sipit itu?.." kini bocah yang ternyata bernama Arfa itu malah mengoceh tanpa jeda. Ia berdiri disamping tubuh Karina seraya berbicara sendiri dengan sosok perempuan yang hanya bisa bertahan karna alat-alat medis itu.

"Tante ko diem? Kapa sih tante diem teus? Emanya tante gak bosen tidul teus? Ayo dong tan banun.. Janan tidul teus!!" Arfa tampak kesal. Ia sedikit mengguncang tubuh Karina yang sama sekali tidak mau bereaksi sedikitpun.

Arfa diam. Ia memandang wajah Karina. Kedua kelopak mata yang terus terpejam serta tubuh yang tidak pernah bergeming itu membuatnya tampak berfikir.

"Kaau tante tidulk teus baati tante ganau sebuh. Kayak Arfa dong tan, Arfa tuh mau sebuh, makanya Arfa ga penah mau diem kana Arfa pen sebuh.." jelasnya kemudian duduk dikursi samping Karina.

Arfa memandang sekeliling ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan yang menyengat itu. Sesekali pandangannya menatap alat-alat medis yang menempel ditubuh Karina. Entah itu selang oxigen, infus atau kabel-kabel kecil yang menempel memenuhi tubuh Karina.

"Kaau tante mau tidul teus, meding tante gausah pake at aat ini ladi, tante jaat! Tante ga penau mau banun dan egak tidul ladi. Dadi meding seang ini Arfa buka ajah!" tiba-tiba Arfa beranjak dan hendak melepas selang oxigent yang menutupi hidung Karina. Ia juga bahkan hendak mematikan alat pendeteksi jantung yang hanya bisa dirasakan detaknya saja itu.


"Arfa lagi apa?" tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki muda dengan pakaian putih menegurnya.

"Om Doktel..?" Arfa menoleh kaget kearah seseorang yang ternyata bernama Bisma itu.

Bisma yang kebetulan menjabat sebagai seorang Dokter muda itu berjalan masuk menghampiri Arfa.

"Om cariin Arfa dari tadi. Kakek Tan juga nanyain terus. Kita kekamar yah? Sekarang udah malam. Arfa gak boleh berada diluar ruang kamar Arfa terus. Apalagi Arfa disini, ini ruangan orang lain sayang, Arfa gak boleh ada disini.." Bisma berucap pelan seraya berjongkok menyamai tinggi bocah kecil itu.

"Tadi Arfa cuna lewat aja ko omm. Ladian Arfa disini cuna pen lihat tante cantik itu, udah lama tante itu tidul teus. Arfa pen lihat dia banun. Tapi tante ini ganau banun juda. Pahahal om sipitnya sau datang kesini baal tante ini banun. Tapi tetep aja ganau om.. Arfa dadi kasian sama om sipitnya. Om sipit pati sedih om.." jelas Arfa polos menatap Bisma.

Bisma hanya tersenyum kecil. Ia meraih tubuh Arfa kemudian menggendongnya. Mengelus puncak kepala Arfa dan sesekali melemparkan senyuman manisnya.

"Mungkin tante cantiknya masih ngantuk. Arfa gak boleh ganggu yah? Om yakin ko, suatu saat tante cantiknya pasti bangun. Tapi sekarang Arfa harus bobo dulu. Besok Arfa kan mau operasi. Kakek Tan udah nungguin disana. Ya sayang?" Bisma berujar begitu lembut seraya berjalan keluar membawa Arfa.

Arfa hanya diam. Ia memandang sosok Karina yang tetap tidak bergeming sama sekali itu.

"Tante tau gak, besok Arfa mau opasi tan, Arfa mau opasi jatung. Sebenelnya Arfa takut. Arfa ganau opasi, tapi Arfa pen sebuh. Arfa ganau sakit teus, Arfa kasian sama kakek Tan juda om Bima yan tus Arfa lepotin.
Kaau besok Arfa dadi kayak tante tidul kayak gini, Arfa pasti akan busaha banun. Arfa pasti akan banun kana Arfa ganau tigai kakek Tan juda om Bima. Arfa ganau susul papah sama mamah Arfa duu. Arfa masih pen sama kakek Tan dan om Bima.
Tante juda haus banun yah? Baal om sipit ga sedih teus. Arfa pegi tan.." lirih Arfa membatin. Rupanya ia memiliki masalah yang cukup serius juga karna dirinya memang sudah sakit sejak lama. Makanya tak heran kalau ia bisa berkeliaran dan tinggal dirumah sakit ini. Terlebih kakek Tan adalah kakek satu-satunya sekaligus pemilik rumah sakit ini. Sedangkan Bisma sendiri adalah Dokter pribadi yang dipercaya oleh kakek Tan untuk mengobati Arfa sampai sembuh.

Bisma melangkah meninggalkan ruangan rawat Karina. Bibirnya sesekali tersenyum miris melihat tubuh Karina yang masih berbaring tak berdaya itu.

"Aku tau, mungkin bangun dari koma itu hanya butuh keajaiban dari Tuhan saja yang bisa diharapkan. Tapi apa kamu gak mau berusaha untuk bangun Rin?
Apa kamu gak kasihan sama Rafael?
Dia menyayangi kamu tulus Rin. Hatinya sangat begitu tulus. Mungkin hanya satu dari sekian banyak laki-laki yang memiliki hati seperti Rafael.
Meskipun kedua orang tuanya sering melarang dia untuk berhenti mengharapkan kamu, tapi dia gak pernah mau peduli. Keyakinannya begitu kuat Rin. Karna dia yakin kamu pasti akan bangun untuknya. Tapi sampai kapan?
Aku sendiri gak tega kalau harus lihat sahabat aku seperti itu terus. Dia udah seperti kehilangan akal sehat Rin. Semoga kamu mau bangun dan kasih Rafael kebahagiaan. Semoga.." Bisma berujar dalam hati sebelum kemudian berlalu keluar dari ruangan rawat Karina.

Entah kenapa tiba-tiba bulir bening keluar dari pelupuk mata Karina. Ia menangis. Padahal ucapan Bisma atau Arfa tadi tidak bisa didengarnya dengan telinga karna mereka hanya berbicara dalam hati. Apa mungkin Karina mendengarnya dengan hati? Entahlah, tapi semoga ini bisa menjadi awal yang baik untuk Karina dan ia mau menghentikan tidur panjangnya yang sudah hampir enam bulan lebih ini.





**
Tiga hari kemudian..

Wajah Rafael tampak begitu panih dan khawatir. Setelah dua hari tidak datang melihat keadaan Karina justru kini ia dikagetkan karna Karina tidak ada diruangan rawatnya. Hatinya semakin takut. Fikiran buruk pun berkecamuk dikepalanya. Ia berlari mencari sosok Karina dan mengobrak-abrik seisi ruangan tersebut. Ia bahkan sampai berlari menelusuri rumah sakit. Mencari tahu dimana kini kekasih hatinya berada.

"Besok katanya pak Karim bilang dia mau melepas semua alat-alat medis yang menempel ditubuh Karina. Mungkin biayanya sudah tidak bisa ia tanggung lagi karna sangat mahal, terlebih selama setengah tahun ini Karin memang tidak menunjukkan perubahan. Mba Ratna istrinya juga sudah pasrah akan keadaan putrinya itu. Mungkin itu memang yang terbaik untuk Karin.."

"Syukur kalau begitu, berati papah tidak perlu bersusah payah menyuruh Rafael agar meninggalkan perempuan yang hanya membuatnya gila itu. Mungkin dengan itu memang lebih baik.."

"Iya pah, mamah juga berfikir seperti itu. Mamah tidak tega sama Rafael. Meskipun mamah tahu Karina itu anak yang baik, tapi mamah tidak mau kalau Rafael jadi terus bermimpi akan sesuatu yang sangat tidak memungkinkan itu.."


"J..jadi?" tiba-tiba wajah Rafael semakin terlihat cemas. Ia menghentikan langkahnya. Ucapan kedua orang tuanya seolah kembali ia ingat. "Apa mungkin yang mamah sama papah ucapkan itu benar? B..berati?" fikiran Rafael semakin dibuat kalut dan bertanya-tanya.

Rafael berlari mencari sosok Bisma. Teman sekaligus sahabat dekatnya. Mungkin Bisma lebih tahu karna Bisma lebih sering berada dirumah sakit dari pada dirinya.


"Gue lagi dipemakaman Raf.."

Tiba-tiba langkah kaki Rafael lagi-lagi terhenti. Telpon dari Bisma pagi tadi seolah kembali ia ingat.

"Ya Tuhan...
Apa jangan-jangan Bisma lagi dipemakaman Karina?
L..lalu kenapa gak ada yang ngasih tahu gue?..
K..kenapa dengan semua orang hari ini?
Hiks.. Enggak.. Kamu gak boleh pergi tinggalin aku Rin.. Gak boleh.." lirih Rafael kembali berlari meninggalkan rumah sakit. Pergi ketempat pemakaman untuk mencari sosok Bisma dan mencari akan semua kebenaran yang terjadi yang sama sekali tidak diketahuinya itu.




**
"Kamu tau. waktu itu, suasana yang sunyi dan sepi aku seolah denger suara seseorang. Suara yang entah kenapa bisa buat aku nangis. Aku rasanya ingin berlari mencari sumber suara itu. Suara yang terdengar beberapa kali ditelinga aku. Bahkan ada juga suara anak kecil. Aku terus lari, aku gak tahu aku berlari kemana. Semuanya sama, semuanya putih. Aku bagaikan berlari ditempat yang sama. Tapi suara anak kecil itu semakin lama semakin terasa dekat ditelinga aku. Aku gak peduli, aku terus berlari dan berlari. Meski aku tetap berada ditempat yang sama tapi aku terus berlari.
Aku lari Bis.." sosok gadis cantik yang duduk diatas kursi roda ini bercerita dengan bulir bening air mata yang mengiringi ucapannya.

Bisma hanya diam. Ia tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi cerita yang gadis tersebut ucapkan. Kedua bola matanya hanya memandang pilu gundukan tanah merah dihadapannya.

"Dia anak yang kuat. Dia juga anak yang ceria. Tapi aku gak bisa selamatin dia. Aku gak bisa Rin.." Lirih Bisma penuh sesal. Gadis cantik yang ternyata Karina itu diam. Ia memandang Bisma dan menatap lekat mata bening Bisma.

"Kamu tahu? Arfa pernah bilang sama aku kalau dia ingin lihat kamu bangun. Dia gak mau lihat Rafael yang selalu dipanggil om sipit olehnya sedih terus.
Dia sering merhatiin kamu Rin, dia juga suka masuk ruangan kamar rawat kamu. Ngoceh sendiri dengan kalimatnya yang masih belepotan itu. Dia kadang suka marah Rin, dia marah karna kamu gak mau bangun. Dan sekarang.. Disaat kamu udah bangun, justru dia yang pergi. Dia yang tidur Rin.. Tidur untuk selamanya dan pergi dari dunia ini. Dia udah gak ada Rin.." Bisma menyeka air matanya. Karina ikut menangis. Batu nisan bertuliskan nama ARFA ELFANO TAN itu dipandangnya pilu. Photo berukuran cukup besar yang terdapat disamping batu nisan tersebut pun seolah menggambarkan wajah polos Arfa yang memang tidak terlalu dikenalnya itu.

"Kamu mungkin gak kenal sama Arfa. Tapi Arfa kenal kamu dan tahu semua tentang kamu dari Rafael.
Disaat Rafael lagi nungguin kamu dirumah sakit, Arfa suka menghampiri Rafael, bocah itu suka ngoceh dan nanya-nanya gak jelas tentang kenapa Rafael suka nangis dan nemuin kamu disana. Dia anaknya selalu ingin tahu. Makanya malam terakhir sebelum dia operasi dia sempat masuk kekamar kamu. Dia bilang dia gak mau lihat kamu tidur terus. Dia gak mau lihat Rafael terus bersedih dan nangisin kamu. Dia gak mau Rin.. Dia sangat menyayangi Rafael.. Dia bilang Rafael itu mirip papahnya yang udah lama pergi. Dia selalu bilang begitu Rin..." Bisma kembali bercerita. Air matanya benar-benar sudah tidak sanggup ia tahan lagi. Ia menangis terisak didepan gundukan tanah merah tempat peristirahatan terakhir Arfa. Sedangkan keluarga Arfa yang lain sudah berlalu pulang sejak beberapa jam yang lalu.

Air mata Karina ikut menetes. Ia meraih batu nisan dihadapannya. Mengelusnya pelan serta mengelus bingkai photo Arfa yang disimpan disamping batu nisan tersebut.

"Anak yang baik.. Dia pintar.. Tapi kenapa harus secepat ini?.. Padahal tante ingin mengenal kamu. Tante ingin berterimakasih sama kamu.." lirihnya membatin.



**
"Jujur. Sebenernya aku masih belum percaya kalau sekarang kamu udah bangund an sembuh. Aku masih kayak mimpi Rin.." Rafael berujar tidak percaya.

Karina hanya tersenyum. Ia mengelus kedua pipi Rafael yang begitu dekat dengan wajahnya itu. "Ini bukan mimpi Raf. Ini kenyataan.. Mungkin Tuhan terlalu sangat menyayangi kamu. Makanya aku Ia bangunkan dan itu khusus buat kamu.." jelasnya lembut diiringi senyum.

Rafael menarik tubuh Karina kedalam pelukannya. Mendekapnya meskipun terasa cukup sulit karna posisi Karina sendiri masih duduk diatas kursi rodanya.

"Aku sayang sama kamu Rin. Please aku mohon jangan pernah tinggalin aku lagi. Jangan kamu tidur terlalu lama lagi. Karna aku gak bisa sendiri tanpa kamu.." Rafael mengecup puncak kepala Karina lembut.

"Aku gak akan kemana-mana ko Raf. Meski aku pergi jauh sekalipun, hati aku pasti akan selalu disini.. Dihati kamu.." Karina menyentuh dada bidang Rafael. Menunjuknya seraya menatap teduh lelaki tampan yang begitu sangat tulus mencintainya itu.

"Ternyata semua yang Arfa bilang itu benar. Jika kita yakin semua baik, pasti akan berakhir baik juga. Begitu pun dengan Karina. Akhirnya dia bisa kembali kepelukanku juga. Menjadi bagian dari hidupku dan sebentar lagi akan menjadi istriku.." Rafael membatin.

"Besok lusa kita menikah. Kita akan mengukir cinta kita lagi yang sempat tertunda enam bulan lamanya. Tapi aku mau besok kamu antar aku ke tempat pemakaman Arfa yah? Aku mau berkunjung kesana lagi. Aku mau berterimakasih sama dia karna selama aku koma dia yang selalu nemenin kamu juga kasih kamu semangat.. Kamu mau kan?" tanya Karina.

Dengan sangat mantapnya Rafael mengangguk setuju. "Aku pasti mau sayang.. Aku juga ingin pergi kesana lagi. Ternyata bukan hanya Bisma dan kakeknya yang kehilangan Arfa. Tapi aku juga sangat kehilangan bocah kecil itu.." Rafael kembali menarik tubuh Karina dan mendekapnya.

"Ternyata roda itu benar-benar tidak berhenti. Ia pasti akan terus berputar dan berputar. Begitu pun dengan hidupku, kisahku juga cintaku. Semuanya tidak berhenti sampai disitu. Sekarang semua sudah berputar lagi dan siap untuk berjalan kedepan yang lebih baik.
Andai kamu masih disini Fa, om pasti akan bertambah senang. Om sudah menganggap kamu anak om sendiri. Anak yang ceria dan terkadang so tau, tapi kamu sangat memiliki hati yang tulus setulus hati om yang begitu sangat mencintai Karina.." Rafael tersenyum seraya terus mendekap tubuh Karina. Ia mengecup kening Karina dan mengelus rambut panjang Karina penuh kasih sayang.


"Tuh kan Arfa benel! Belati om haus kasih Arfa pemen..
Arfa bahagia kau lihat om juda bahagia.
Tapi isini Arfa bih bahagia om kana disini Arfa ketemu sama papah juda mamah Arfa.." tiba-tiba sosok bocah kecil berpakaian serba putih tersenyum kecil memandangi Rafael dan Karina yang masih dalam posisi saling memeluk. Ia kemudian lenyap seketika dan begitu bahagianya karna melihat orang yang disayanginya bahagia.



Tidak selamanya sesuatu yang buruk itu terus-menerus berakhir buruk.
Begitu pun sebaliknya. Terkadang justru sesuatu yang baik bisa berakhir buruk.

Jadi, jangan berhenti berharap dan berusaha. Ubahlah sesuatu yang buruk itu agar senantiasa menjadi baik dan berakhir bahagia.
Gunakan hatimu, Setulus Hatiku..





TAMAT

1 komentar:

Nggak Komentar, Nggak Kece :p