Senin, 13 Juli 2015

Ujung Pelangi (Cerpen Smashblast)

‘Lelah? Pasti. Itu aku. Lelah menunggu kepastian yang tak mungkin ada untukku.’ – Yumelia.



                Perempuan ini berjalan menuju parkiran sekolah. Belum sampai di parkiran sekolah, ia sudah disambut oleh seorang pria.




“Mel, hari ini mau pulang bareng?” ajak pria tadi. Perempuan yang disapa ‘Mel’ tadi adalah Yumeliasari Adhitama, kelas 2 SMA. Dan pria tadi adalah Dicky Muhammad Prasetya. Mereka bersahabat sejak lama dari mereka kecil. Tapi, tanpa Dicky ketahui, Yumel menyukai Dicky sejak mereka lulus SMP. Sebelum Yumel terkena kanker ganas yaitu kanker otak. Dicky tak mengetahui jika Yumel terkena penyakit itu. Tapi pernah hidung Yumel mengeluarkan darah di depan Dicky. Dicky sangat khawatir. Tapi, Yumel hanya bilang ‘Gak apa-apa. Cuma kurang minum aja.’



“Mau, Dick.” balas Yumel.



“Ohya, nanti sore ke bukit yuk.” ajak Dicky lagi. Bukit adalah tempat favorit mereka. Di sana anginnya sejuk, sepi, dan tenang. Yumel membalas ajakan Dicky dengan anggukan. Dicky tersenyum. Yumel terenyuh. Senyuman Dicky manis sekali, batinnya. Itu yang membuat Yumel suka dengan Dicky. Senyuman dan perhatiannya. Kadang Yumel pernah ingin melakukan hal konyol yaitu menyatakan cinta. Tapi saat Yumel ingin bilang, selalu saja ada halangan. Misal, Dicky mengatakan kalau dia jadian dengan seseorang. Hal itu yang membuat Yumel terus memendam perasaannya entah sampai kapan lamanya.



***



‘Walaupun diri ini menyukaimu. Kamu seperti tak tertarik kepadaku. Siap patah hati kesekian kalinya.” – JKT48 - Fortune Cookie.



                Kini Yumel dan Dicky sedang di bukit mereka. Yang mereka lakukan adalah melakukan aktivitas masing-masing. Yumel tiduran sambil membaca novel. Lalu Dicky tiduran sambil mendengarkan lagu lewat iPod-nya dan menutup matanya. Tiba-tiba Yumel merasakan ada yang mengalir di dalam hidungnya. Ia selalu bisa merasakan kalau ia mimisan. Lalu Yumel beranjak dan berlari menuju tempat di balik pohon.



“Sial. Aku lupa meminum obatnya tadi siang.” batin Yumel sambil membersihkan darah di hidungnya. Setelah membersihkan darah, ia meminum obat yang ia bawa. Bentuknya bulat, sebesar koin Jepang nominal 1 yen, dan berwarna merah muda. Rasanya pahit. Lalu, Yumel kembali ke tempat Dicky berada. Dicky tidak ada! Kemana dia? Yumel merasakan ada yang menyentuh pundaknya. Yumel berbalik.



“Yumel, kamu kemana aja? Aku cari kamu.” Dicky sangat cemas.



“Darimana ya? Hehe..” Yumel terlihat kikuk menjawabnya. Tiba-tiba Dicky memeluk Yumel.



“Di..Dicky.” gumam Yumel. Dicky mempererat pelukannya.



“Maaf kalau kamu kaget. Sejak lulus SMP, aku selalu merasa cemas terhadapmu. Apakah ada yang kamu sembunyikan dariku?” tanya Dicky. Yumel menggeleng pelan.



“Sekarang kita pulang?” tanya Dicky. Yumel menggeleng.



“Aku masih mau di bukit.” jawab Yumel.



“Oke. Kita keliling bukit yuk.” Dicky merangkul Yumel. Yumel terkejut dan tersenyum. Lalu mereka mengelilingi bukit.



“Dicky.. Aku suka kamu. Kenapa kau tak sadar itu? Kau anggap aku apa selama ini? Kelakuan kita seperti orang pacaran. Aku tak suka kau menggantungkanku seperti ini.” batin Yumel. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba langkah Dicky terhenti.



“Oh iya hampir lupa. Aku juga mau memberitahu sesuatu, Mel.” Dicky.



“Apa?”



“Kalau aku...” ucapan Dicky terpotong karena hujan mendadak turun.



“Yah, hujan.” Yumel menadahkan tangan.



“Teduh di sana yuk.” Dicky menarik Yumel ke sebuah pohon yang daunnya rimbun, cocok untuk berteduh. Yumel menggosok tangannya berkali-kali. Yumel alergi dingin, tangannya sudah mulai muncul bintik-bintik merah. Dicky melihat tangan Yumel. Ia sudah tahu kalau Yumel alergi. Dicky segera membuka jaketnya dan memakaikannya pada Yumel. Yumel tersenyum.



"Tuhan, jika ini mimpi, jangan bangunkan aku. Biarkan aku larut dalam mimpi ini.” batin Yumel menatap Dicky. Tak lama...



“Eh, hujannya udah reda tuh. Lanjut lagi yuk.” ajak Dicky. Yumel mengangguk. Yumel menatap sebelah barat.



“Dicky, Dicky. Lihat! Ada pelangi.” seru Yumel.



“Iya. Pelangi itu favoritmu kan?” tanya Dicky. Yumel mengangguk sambil terus menatap pelangi.



“Kata nenekku, jika berdiri di ujung pelangi, akan tertarik ke Surga.” Yumel.



“Ohya?” Dicky.



“Iya. Aku ingin ke ujung pelangi itu.” tutur Yumel. Dicky menatap Yumel.



“Apa maksud dia?” batin Dicky. Yumel menatap Dicky.



“Dicky?” Yumel melambaikan tangannya di depan wajah Dicky.



“Eh.. ngg.. Iya, Mel.” Dicky tersadar dari lamunannya.



“Hhh... Dia malah melamun.” Yumel.



“Ehehehe... Eh iya, Mel. Aku mau ngomong sesuatu.” Dicky. Yumel mengerutkan dahinya.



“Apa?” Hati Yumel berdebar-debar. Apakah Dicky akan menembaknya?



“Kamu tahu Riva kan?” tanya Dicky. Yumel mengangguk dan terlihat cuek.



“Aku sudah jadian dengannya.” Dicky terlihat senang. Yumel menghela napas. Ia sudah biasa seperti ini.



“Tuhan, ini mimpi burukku. Bangunkan aku, Tuhan. Aku tidak ingin mimpi seperti ini.” batin Yumel. Matanya terlihat berkaca-kaca.



“Mel? Kamu nangis?” Dicky. Ternyata Dicky mengetahuinya.



“Ngga kok. Kemasukan debu. Hehe..” Fake smiling Yumel.



“Eh iya. Besok mau jalan dengan aku dan Riva?” ajak Dicky.



“Hah? Sama Riva? Ngga deh. Nanti mengganggu.” Yumel.



“Udah, gak apa-apa. Nih, aku telepon Riva. Pasti dia mau.” Dicky mengeluarkan ponsel di sakunya dan segera menelpon Riva.



“Halo, Dicky?” terdengar suara seorang perempuan. Dicky men-loudspeaker ponselnya.



“Riva, besok kita jalannya sama Yumel ya?” Dicky.



“Hah? Sama Yumel? Ih, ngga ah. Kalau kamu ajak dia, aku gak mau ikut! Daripada jadi obat nyamuk antara kamu sama dia.” seru Riva. Dicky terkejut. Ia segera menonaktifkan loudspeaker dan menjauh dari Yumel. Yumel terdiam.



“Riva tahu aku? Kapan kami bertemu? Kami kan belum kenalan. Kenal mukanya saja ngga. Kenapa dia tidak suka padaku?” batin Yumel. Lalu Dicky kembali.



“Yumel, maaf ya perkataan Riva tadi. Dia mau kok kamu jalan sama kami.” Dicky tersenyum kecil. Yumel membalasnya dengan senyuman paksa.



“Kita pulang ya.” Dicky. Yumel mengangguk.



“Dicky, apa yang kamu rasakan saat bersamaku? Apa kau tidak merasakan apa yang ku rasakan? Sakit memendam rasa ini terlalu lama.” batin Yumel sambil menangis.



***



‘Akankah perasaan ini sampai padamu? Aku tak terlalu yakin. Tapi tolong jangan tertawa dan dengarkan aku. Aku akan menaruh perasaanku pada lagu ini. Aku berterima kasih padamu dengan sepenuh hati. Aku tak akan pernah melupakan perasaan ini.” – Houkagou Tea Time - U&I



                Esok harinya, Yumel telah siap berangkat untuk pergi jalan dengan Dicky dan Riva. Tinggal menunggu mobil Dicky datang menjemputnya. Terdengar suara klakson mobil di depan rumah Yumel. Ia segera keluar. Tampak mobil Dicky di depan teras rumahnya. Terlihat seorang perempuan yang duduk di samping Dicky. Mungkin itu Riva, pikir Yumel.



“Pagi, Mel. Maaf ya. Kamu duduk di belakang.” Dicky. Yumel mengangguk. Perempuan di samping Dicky tersenyum sinis.



“Mel, sampingku Riva. Udah tahu kan?” Dicky.



“Udah.” jawab Yumel datar.



“Dicky, ke taman yuk.” ucap Riva sambil merangkul tangan Dicky dan bersandar di bahu Dicky. Dicky tersenyum dan mengangguk. Yumel terdiam. Sakit, itulah yang dirasakannya. Tapi, Yumel sudah terbiasa. Ini yang kesekian kalinya ia melihat Dicky dengan kekasihnya seperti itu.



“Sabar, Mel. Ngapain cemburu? Umurku sudah tak lama lagi. Aku tak butuh cinta. Aku menyerah, tak ingin menyatakan cinta lagi padanya. Mulai besok aku akan menjauhi Dicky dan mulai fokus pada sakitku.” batin Yumel.



“Untung saja aku meminum obatnya. Tapi aku harus bawa obatnya selesai makan siang nanti.” batin Yumel lagi.



***



‘Apakah cinta itu seperti ini? Apakah ini akan lebih sakit daripada sakit yang telah ku rasakan? Semakin aku mendekatimu, perasaan ini semakin besar. Dan itu membuatku takut.’ – Jessica - The One Like You



                Sampai di taman, Dicky turun duluan dari mobil. Saat Yumel hendak turun, Riva menahannya.



“Gue tau lo dekat sama Dicky. Lo tahu semua tentang Dicky lebih dari gue. Gue suka sama dia dari dulu. Tapi karena lo halangin gue buat dekat dengan Dicky, gue baru pacaraan sama Dicky sekarang. Gue peringatin sama lo, jangan kecentilan sama Dicky! Karena Dicky selamanya milik gue.” Riva. Yumel mengangguk kikuk. Riva menatap Yumel sinis dan pergi ke luar mobil. Yumel terdiam di dalam mobil.



“Tuhan, salahkah aku dekat dengan Dicky? Memilikinya saja Kau tak mengizinkanku. Sekarang ada yang mengirikan kedekatanku dengan Dicky. Salahkah aku masih merasakan kebahagiaan? Apakah ini pertanda kalau aku harus melupakan Dicky?” batin Yumel.



“Yumel?” sapa Dicky yang muncul dari jendela mobil.



“Eh, iya, Dick.” balas Yumel.



“Kok masih di dalam? Ayo keluar.” Dicky. Yumel mengangguk dan segera keluar dari mobil.



                Yumel, Dicky, dan Riva berhenti di salah satu bangku panjang yang ada di taman. Sebenarnya bangku panjang itu cukup untuk 3 orang. Tapi Riva sengaja menyempitkan ruang yang kosong. Jadi, hanya Dicky dan Riva yang menempati bangku tersebut. Yumel berdecak sebal.



“Dicky, aku ke toilet ya. Titip tasku.” Yumel menaruh tasnya di pangkuan Dicky. Dicky mengangguk dan Yumel langsung pergi ke toilet. Riva melirik ke tas Yumel.



“Kalau gue jailin tuh cewek seru kali ya.” batin Riva tersenyum sinis.



“Mmm.. Dicky. Aku haus. Tolong beli minuman yang ada di sana ya.” Riva menunjuk sebuah cafe yang cukup ramai dan jauh dari tempat mereka.



“Hah? Itu? Gak salah? Itu ramai, Va. Terus jauh..” dumel Dicky.



“Tapi aku haus.” rengek Riva. Dicky menghela napas.



“Iya..iya. Aku belikan. Tunggu sini ya. Titip tas Yumel.” Dicky memberi tas Yumel pada Riva. Setelah Dicky berlalu, Riva tersenyum sinis. Ia segera mengobrak-abrik tas Yumel. Lalu, ia mengambil sesuatu.



“Lho? Ini kan obat kanker otak. Sama kayak obat yang diminum papah sebelum beliau meninggal. Jangan-jangan...” Riva menggantungkan ucapannya dan mulai tersenyum licik.



“Kalau dia beneran terkena kanker otak, gue bakal bikin dia mati. Dan Dicky bakal jadi milik gue seutuhnya.” Riva tertawa licik. Ia menginjak obat Yumel yang masih berada di dalam bungkusnya. Setelah obat itu hancur, ia membuangnya ke tempat sampah. Lalu, Dicky kembali.



“Nih, minumnya.” Dicky memberi Riva minuman Iced Soda sambil mengatur napas. Mungkin dia lelah~ :D



“Makasih, Dick.” Riva. Yumel pun kembali dari toilet.



“Kenapa tasku ada di Riva?” batin Yumel. Ia mengambil tasnya di Riva.



“Lama banget, Mel. Abis ngapain? Hehe.” canda Dicky.



“Tadi toilet penuh.” balas Yumel sambil bermain ponsel. Ternyata ada 1 pesan dari Mama Yumel yang meminta Yumel menjemput beliau di bandara.



“Dick, sorry nih. Aku harus pulang. Gabisa temani kalian lama-lama. Aku disuruh Mama untuk menjemput beliau.” Yumel.



“Mau aku antar, Mel?” Dicky menawar.



“Dicky! Kamu mau tinggalin aku?” protes Riva.



“Tapi dia sendirian, Va.” Dicky.



“Udah gak usah. Dia bukan anak kecil lagi. Dia bisa kok sendiri.” Riva menahan tangan Dicky. Yumel menarik nafas panjang.



“Gapapa, Dick. Aku bisa sendiri.” Yumel tersenyum dan segera pergi.



***



‘Ku akui sungguh beratnya. Meninggalkanmu yang dulu pernah ada. Namun harus aku lakukan. Karena ku tahu ini yang terbaik. Ku harus pergi meninggalkan kamu. Yang telah hancurkan aku. Sakitnya, sakitnya, oh sakitnya. Cintaku lebih besar darinya. Mestinya kau sadar itu. Bukan dia, bukan dia, tapi aku..’ – Judika - Bukan Dia Tapi Aku.



“Mama.. Papa..” sapa Yumel. Selama ini orang tua Yumel di Singapura untuk bekeja dan juga mengirim obat Yumel dari sana. Obat Yumel memang dikirim dari Singapura karena di Indonesia tidak ada. Orangtua Yumel pulang ke Indonesia sebulan sekali untuk melihat kondisi Yumel.



“Yumel, gimana kondisimu? Baik-baik saja kan?” tanya Mama Yumel, Tante Nisa. Yumel mengangguk sambil tersenyum.



“Ya sudah. Kita pulang yuk. Papa bawa makanan favoritmu.” Papa Yumel, Om Agung. Lalu mereka segera pulang ke rumah.



             Setelah makan siang, Yumel menuju kamar untuk mengambil obatnya di dalam tas.



“Lho? Kok gak ada? Padahal aku taruh di sini.” gumam Yumel. Ia segera mencari ke tempat lain.



“Duh.. Gak ada. Gimana nih?” keluh Yumel.



“Mama... Lihat obatku gak?” teriak Yumel dari kamarnya.



“Ngga, sayang. Memangnya kamu taruh di mana?” Tante Nisa.



“Di sini. Tapi gak ada.” cemas Yumel.



“Coba cari kotak persediaan obat kamu. Masih ada cadangan kan?” tanya Tante Nisa. Yumel menatap mamanya.



“Ng.. Obat yang hilang itu yang terakhir.” jawab Yumel gugup. Tante Nisa menghela napas.



“Kenapa kamu tidak bilang sama Mama? Mama kan bisa membawakan obat dari Singapura.”



“Maaf, Ma. Yumel kira obatnya cukup sampai sebulan.” sesal Yumel.



“Ya sudah. Terpaksa kamu harus konsumsi suntikan obat keras.” Tante Nisa. Yumel menghela napas dan mengangguk. Ia segera tiduran di kasur dan siap mengkonsumsi obat keras.



“Argh... Kenapa obatku harus hilang? Jadinya, aku harus merasakan dinginnya reaksi obat-obat keras yang masuk ke dalam tubuhku.” batin Yumel.



                Suntikan obat keras itu pengganti obat Yumel. Obat keras berfungsi menghambat kanker menyebar

luas di tubuh Yumel. Tapi obat yang hilang itu lebih maksimal manfaatnya. Manfaatnya menjaga kekebalan tubuh dari kanker. Ini memang takkan bisa membuat Yumel sembuh. Yah, mau bagaimana lagi. Kemo yang dijalani Yumel tak membuahkan hasil.



                Tante Nisa mengambil jarum suntik yang masih terbungkus rapi dan juga mengambil satu botol berukuran kecil. Tante Nisa memasukkan cairan obat keras dari botol itu ke dalam suntikan. Lalu menyuntikannya ke pergelangan tangan Yumel. Yumel menutup matanya untuk menahan sakit ketika merasakan zat-zat kimia itu bercampur dengan darahnya.



“Dingin..” batin Yumel. Ia menggigil. Lalu, Yumel pingsan seketika.



***



‘Semakin ku menyayangimu, semakin ku harus melepasmu dari hidupku. Tak ingin lukai hatimu lebih dari ini. Kita tak mungkin trus bersama.’ – Drive - Melepasmu



                Obat keras itu membuat Yumel tidur 3 hari lamanya. Ia membuka mata. Yumel ingin memanggil Tante Nisa, tapi mulutnya terasa kaku. Lalu ia mendengar suara langkah kaki yang menuju kamarnya.



“Yumel..” sapa Tante Nisa yang masuk ke kamar Yumel.



“Kamu tidur tiga hari. Mungkin obat keras itu tak terbiasa dengan tubuhmu. Tubuhmu kan sudah lama tak mengkonsumsi obat keras.” lanjut Tante Nisa. Yumel masih terdiam.



“Aku nggak sekolah tiga hari ya.” Yumel mencoba berbicara.



“Iya. Kemarin siang Dicky ke sini cari kamu. Mama bilang kamu ke rumah sakit untuk berobat.” Tante Nisa. Yumel tersenyum tipis.



“Bagus deh Mama gak bilang ke dia.” Yumel.



“Memangnya kenapa sih, Mel? Dicky kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalau dia tahu penyakitmu yang sebenarnya.” Tante Nisa.



“Mama tahu kamu suka Dicky kan?” tanya Tante Nisa penuh selidik. Yumel terdiam.



“Dicky kelihatannya juga suka kamu kok.” lanjut Tante Nisa.



“Dicky gak mungkin suka sama Yumel kalau dia selalu punya kekasih baru, Ma. Udahlah, gak usah bahas Dicky. Aku ingin fokus ke penyakitku. Bukan cinta yang aku perlu.” Yumel membelakangi Tante Nisa dan menutupi tubuhnya dengan selimut.



"Siapa tahu cinta bisa membuatmu semangat." Tante Nisa. Yumel masih terdiam. Tante Nisa menghela napas panjang.



“Dua hari yang lalu Papa ke Singapura untuk ambil obat kamu.” Tante Nisa. Yumel membalikan badan dan menatap Tante Nisa.



“Tapi sampai sekarang Papa belum pulang. Tunggu kabar dari Papa ya. Mama mau masak dulu, pasti kamu lapar kan.” Tante Nisa beranjak dari tempatnya lalu menuju dapur.



                Suara deru mobil taksi berhenti di depan rumah Yumel. Tante Nisa segera keluar. Ternyata itu Om Agung.



“Kamu sudah pulang, Pa.” Tante Nisa menyambut Om Agung dengan wajah penuh harapan.



“Maaf. Papa gabisa bawa obat Yumel. Di Singapura sudah habis persediaannya. Papa ingin ke Jepang, tapi uang tabungan Papa sudah hampir habis untuk pengobatan Yumel dan melunasi hutang perusahaan. Kalau Papa pakai tabungan itu, kita tidak bisa balik ke Singapura.” terang Om Agung. Yumel mendengar pembicaraan Om Agung dan Tante Nisa. Ia terkejut.



“Tuhan, apakah aku begitu merepotkan kedua orangtuaku? Membahagiakan mereka saja tak ada kesempatan untukku.” batin Yumel sambil menangis.



                Dengan tertatih-tatih, Yumel beranjak dari kasur menuju ruang tamu.



“Mama, Papa. Nggak perlu ke Jepang untuk cari obatku. Nggak apa-apa aku harus mengkonsumsi obat kimia itu. Asalkan, Mama dan Papa tetap di sini bersamaku.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung menangis dan memeluk Yumel.



***



‘Kau akan selalu berada di dalam hatiku. Selalu ada tempat hanya untukmu. Aku berharap bahwa aku memiliki tempat di hatimu juga. Sekarang dan selamanya kau masih satu-satunya. Sekarang ini masih sebuah lagu cinta sedih. Sampai aku bisa menyanyikan lagu yang baru’ – Utada Hikaru - First Love



                Hampir 2 minggu Yumel tak masuk sekolah dengan beralasan ‘sakit’. Dan juga hampir setiap hari Dicky mengunjungi Yumel, tapi Tante Nisa selalu bilang dengan alasan yang sama yaitu sedang berobat ke rumah sakit. Selama 2 minggu Yumel sudah mengkonsumsi suntikan obat keras. Tapi kondisi Yumel semakin memburuk. Mungkin karena sudah satu setengah tahun ia tidak mengkonsumsinya. Tante Nisa dan Om Agung membawa Yumel ke rumah sakit. Dokter memeriksa Yumel.



“Bagaimana, dok?” tanya Om Agung yang tampak khawatir.



“Kankernya sudah menyebarluas ke tubuh pasien. Kanker itu sudah merenggut kesehatannya. Pasien saat ini kritis karena terlalu banyak zat kimia di dalam tubuhnya. Di seluruh tubuhnya tampak banyak memar biru akibat suntikan. Saya mohon jangan beri suntikan zat kimia lagi pada pasien. Karena akan berakibat fatal. Kini obat kimia itu sudah tak berpengaruh pada kanker itu. Saat ini Yumel mengalami koma, ia membutuhkan rawat inap selama beberapa hari. Saya akan memberikan obat yang berbeda untuk menghambat pertumbuhan kankernya. Tapi saya tidak tahu itu akan membuat pasien sembuh atau tidak. Kita berdoa saja agar Tuhan memberikan mukjizat pada pasien. Saya permisi.” Dokter itupun pergi. Tante Nisa menangis.



“Tenang, Ma. Papa akan lakukan sesuatu demi kesembuhan Yumel.” Om Agung berusaha menenangkan Tante Nisa.



***



‘Saat ku melihatmu jantungku selalu berdebar. Kenangan yang melambai bagaikan marshmallow yang melayang. Aku selalu berjuang, tak pernah kau sadari. Tiap saat kutatap wajahmu dari samping. Andaikan ini mimpi, jarak kita berdua. Akan menjadi lebih dekat.’ – Houkago Tea Time - Fuwa  Fuwa Time



                Hari ini, Dicky ada janji dengan Riva. Dicky baru saja bangun dari tidurnya. Padahal 15 menit lagi, ia akan terlambat. Jika ia telat, mungkin Riva akan marah padanya.



“Aduh, gue bangun kesiangan. Udahlah, gak usah mandi. Walaupun gak mandi, tetep kece.” gumam Dicky sambil berpakaian. Lalu ia segera pergi ke rumah Riva.



                Sampai di sana, Dicky menekan bel rumah Riva berkali-kali. Tapi sang empunya rumah tak kunjung keluar.



“Gue masuk aja kali ya.” gumam Dicky. Ia membuka pagar rumah Riva dan masuk menuju ruang tamu. Dicky terkejut melihat Riva sedang berduaan dengan laki-laki lain.
“Riva...” Dicky. Riva dan laki-laki itu menoleh ke arah Dicky.

“Eh, ada Dicky.” ucap Riva dengan santai.

“Kamu kenapa tega melakukan ini kepadaku? Salahku apa, Riva?” Dicky.

“Salah lo? Banyak! Akhir-akhir ini lo sering ketemuan kan sama Yumel.” hardik Riva.

“Ngga kok. Gue jarang ketemu dia.” Dicky.

“Walaupun lo jarang ketemu dia. Gue tahu akhir-akhir ini lo sering ke rumah Yumel.”

“Gue ke rumah Yumel karena gue khawatir. Dia sedang sakit, Va.” ucap Dicky lembut.

“Khawatir? Emang Yumel siapa lo? Karena lo terlalu khawatir sama Yumel, sampai lo gak ada waktu buat gue?” Riva.

“Yumel itu sedang sakit, Va. Kalau lo? Sehat-sehat aja kan?” Dicky. Riva tersenyum sinis.

“Lo mau tahu Yumel sakit apa? Kanker otak!” seru Riva. Dicky terkejut.

“Lo.. lo serius, Va? Tahu darimana lo?” Dicky.

“Beberapa minggu lalu, gue menemukan obat di tas Yumel. Obat itu sama seperti obat kanker otak punya bokap gue sebelum beliau meninggal dulu. Jadi, gue hancurin obatnya Yumel biar dia mati.” Riva.

“Lo!” Dicky hendak menampar Riva, tapi ia sadar Riva seorang perempuan. Tak mungkin Dicky menyakiti perempuan.

“Kita putus!” Dicky.

“Wow. Gue gak kaget.” ucap Riva santai. Dicky menatap tajam Riva lalu ia segera keluar. Riva tersenyum sinis saat melihat Dicky pergi.

“Gue udah bosan sama lo, Dick. Lo ngga senyaman yang gue kira. Nyesel gue pernah suka sama lo.” batin Riva. Lalu ia menghampiri selingkuhannya.



***

‘Meskipun dengan frustasi melanjutkan hubungan ini. Dengan sedih pula aku tak dapat mengubah hatiku. Meski aku mencintaimu, meski aku tak ingin berpisah darimu. Aku harus mengatakannya...’ – Megurine Luka - Just Be Friends

                Dicky segera pergi ke rumah Yumel. Ia membawa mobilnya dengan cepat. Dicky khawatir.

“Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sakit kanker, Mel? Rasa khawatirku sekarang terjawab. Sejak lulus SMP, aku memang merasa ada yang kamu sembunyikan.” batin Dicky. Setela sampai di rumah Yumel, Dicky segera mengetuk pintu rumah Yumel dengan cepat. Pintu pun terbuka.

“Eh, Dicky.” sapa Tante Nisa.

“Tante, Yumel ada?” tanya Dicky dengan sopan.

“Yumel sedang berobat dengan Om Agung, Dick. Yumel memang harus check-up dengan rutih biar cepat sembuh.” dusta Tante Nisa.

“Oh, memangnya kalau sakit kanker otak harus check-up dengan rutin, Tante?” Dicky. Tante Nisa terkejut.

“Yumel bukan sakit kanker, Dicky. Hanya sakit biasa.” Tante Nisa masih berbohong.

“Tante gak usah bohong lagi sama Dicky. Dicky sudah tahu yang sebenarnya. Yumel sakit kanker otak kan, Tante?” tanya Dicky.

“Dari mana kamu tahu?” tanya Tante Nisa.

“Tante ngga perlu tahu. Izinkan Dicky bertemu dengan Yumel, Tante. Dicky mohon.” Dicky berlutut. Matanya berkaca-kaca. Tante Nisa merasa iba. Beliau membantu Dicky berdiri.

“Tante akan memberi tahu. Tapi besok kamu kembali kesini.” Tante Nisa.

“Tapi, Tante. Kenapa harus besok?” tanya Dicky.

“Turuti saja apa kata Tante.” Tante Nisa segera masuk ke dalam. Dicky menghela napas kecewa.

***

‘Takdir yang telah menghubungkan kita berdua. Terputus dan menghilang di dalam kehidupan. Selamat tinggal orang yang ku cintai, sampai di sini. Janganlah lagi melihat ke belakang, mulailah berjalan.’ – Megurine Luka - Just Be Friends

                Hari begitu lama bagi Dicky. Walau hari sudah larut malam, Dicky belum tertidur. Ia masih menunggu hari esok.

“Sejak lulus SMP, aku sering lihat kamu mimisan. Waktu kelas 1 SMA, 6 bulan kamu ngga masuk sekolah, Mel. Tapi kamu hebat. Kamu tetap menduduki ranking 1. Beberapa bulan lagi, kita kelas 3. Apakah kita masih bisa bersama, Mel?” gumam Dicky sambil memandang fotonya dengan Yumel ketika mereka masih kelas 6 SD. Di foto itu tampak Dicky mencubit pipi Yumel dan Yumel terlihat kesal. Dicky tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. Akhirnya, Dicky tertidur.

                Dicky membuka matanya. Dicky terkejut. Kini ia sedang berada di bukit.

“Kok gue ada di sini?” batin Dicky. Ia mencoba berjalan di sekitar bukit. Tiba-tiba, ia melihat Yumel berada di balik pohon.

“Lho, itu kan Yumel. Dia ngapain?” Dicky mendekati Yumel. Lalu ia terkejut. Yumel sedang membersihkan darah di hidungnya. Lalu tak lama, Yumel beranjak. Ia seperti mencari seseorang. Dicky mengikutinya. Tiba-tiba ia terperangah kaget. Dicky melihat dirinya sendiri sedang menghampiri Yumel.

“Oh iya. Gue ingat. Ini waktu di bukit beberapa minggu yang lalu.” gumam Dicky. Lalu angin berhembus, seperti meminta Dicky mengikuti mereka berdua. Dicky mendengar pembicaraan mereka berdua. tiba-tiba terdengar suara, suara yang sangat keras, bukan teriakan. Seperti gemuruh, gemuruh yang lembut.

“Dicky.. Aku suka kamu. Kenapa kau tak sadar itu? Kau anggap aku apa selama ini? Kelakuan kita seperti orang pacaran. Aku tak suka kau menggantungkanku seperti ini.” Begitulah suara itu. Dicky terkejut. Itu seperti suara hati, suara hati Yumel.

Tiba-tiba, semua menjadi gelap. Dicky ketakutan. Ini gelap, sangat gelap. Tidak ada cahaya sedikitpun. Dicky mencoba meraba sekitar. Tidak ada benda di sekitarnya. Dicky mencoba berjalan, tapi kakinya terasa kaku. Lalu Dicky mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Tiba-tiba, semua terang. Dicky terkejut karena ada seseorang yang berada di depannya. Wajahnya sangat familiar bagi Dicky.

“Kak...” sapa Dicky. Orang yang disapa ‘kak’ itu hanya menatap tajam Dicky.

“Lo udah ingkar janji lo sendiri..” Kak Ali, kakaknya Yumel. Ia sudah meninggal saat Yumel kelas 2 SMP karena kecelakaan. Kak Ali beda 4 tahun dengan Yumel dan Dicky.

“Ma.. Maksud Kakak apa ya?” tanya Dicky. Ia ketakutan melihat Kak Ali yang merwajah pucat. Kak Ali mengangkat tangannya dan menempelkan jari telunjuknya di dahi Dicky yang sebesar banda Soekarno-Hatta itu.

                Tiba-tiba, Dicky seperti tertarik ke belakang. Ia kembali ke masa lalunya, yaitu saat 2 SMP. Dicky melihat dirinya sendiri di depan rumahnya Yumel.

“Yumel..” panggil Dicky kecil. Dicky ingat. Ini saat dia memanggil Yumel untuk berangkat ke sekolah. Keluarlah Kak Ali saat masih hidup.

“Eh, Dicky. Ayo masuk. Yumel-nya belum turun. Tunggu di dalam aja.” Kak Ali. Dicky kecil mengangguk.

“Dicky, kamu sayang ngga sama Yumel?” tanya Kak Ali spontan.

“Dicky sayang banget sama Yumel, Kak Ali.” Dicky kecil menjawab dengan mantap.

“Mau kan jagain Yumel kalau kakak gak ada?” tanya Kak Ali. Dicky kecil mengerutkan dahinya dan mengangguk.

“Janji ya. Jangan bikin Yumel sedih. Kalau Yumel sampai sedih, kakak bakal hantuin kamu.” canda Kak Ali.

“Kak Ali bisa aja bercandanya.” Dicky kecil.

“Pada ngomongin apa sih? Masa Yumel gak diajak.” kata Yumel kecil yang baru turun dari kamarnya.

“Yumel kepo deh. Udah ya. Kakak langsung berangkat sekolah. Kamu bareng Dicky ya.” Kak Ali.

“Iya. Kakak hati-hati ya.” Yumel Kecil. Dicky menelan ludahnya saat melihat adegan di masa lalu-nya itu. Ia ingat. Setelah Yumel dan Dicky sampai di sekolah, Yumel dikejutkan oleh kepala sekolah bahwa Kak Ali kecelakaan. Ternyata yang diucapkan Kak Ali itu adalah permintaan terakhirnya. Tiba-tiba, Dicky seperti tertarik ke belakang lagi. Lalu Kak Ali kembali berada di depan Dicky.

“Dan lo lihat sekarang. Yumel sedang terbaring lemah. Lo ngga sadar, Dick? Yumel itu suka sama lo! Dia selalu ingin mengutarakan perasaannya ke lo, tapi selalu gagal. Karena lo selalu punya cewek baru.” Kak Ali emosi.

“Maaf, Kak. Gue emang suka Yumel. Tapi gue ragu kalau Yumel suka sama gue. Karena dia memang gak pernah tunjukin perasaannya.” Dicky.

“Emang lo gak pernah tanyakan perasaan Yumel terhadap lo? Pengecut lo, Dick. Gak gentle! Gue kecewa sama lo. Gue gak akan temuin lo sama Yumel lagi.” Kak Ali sudah naik pitam.

“Ma.. Maksud lo Kak?” tanya Dicky. Kak Ali tersenyum sinis.

“Gue akan bawa Yumel untuk ikut bersama gue.” Kak Ali. Dicky terkejut.

“Kak. Plis, jangan Kak. Jangan bawa Yumel. Gue sayang sama dia, Kak.” Dicky memohon.

“Lo menyesal? Terlambat! Lo kira adik gue itu sampah daur ulang? Yang bisa lo buang terus diambil lagi. Adik gue bukan boneka yang bisa lo mainin.” Kak Ali menghilang dari pandangan Dicky

“Yumeeeeeeeeeeeelllllll......” teriak Dicky. Dadanya naik-turun. Ternyata cuma mimpi. Bukan, seperti sebuah peringatan. Dicky melirik ke arah jam. Sudah pagi. Dicky segera bersiap untuk pergi ke rumah Yumel.



***

‘Menyia-nyiakanmu itu penyesalan terbesarku.’ – Dicky

“Yumel di rumah sakit media. Ruang nomor 211.” kata-kata Tante Nisa masih terngiang di pikiran Dicky. Ia segera menancap gas langsung ke rumah sakit. Mengendarai mobilnya dengan cepat. Akhirnya ia sampai di rumah sakit. Dicky segera berlari menuju lift karena ruang rawat nomor 211 berada di lantai 5.

                Dicky membuka pintu ruang itu. Dilihatnya Yumel terbaring lemah dengan alat-alat medis yang tertempel di tubuhnya. Dicky menatap sedih. Yumel sangat pucat dan kurus. Di bagian tangannya banyak memar bekas suntikan. Dicky meraih tangan Yumel.

“Yumel.. Maaf. Karena aku, kamu jadi seperti ini.” Dicky. Matanya berkaca-kaca.

“Yumel, bangun. Aku ingin menyatakan perasaanku..” lirih Dicky.

“Kak Ali..” igau Yumel. Dicky terkejut.

“Yumel? Kamu siuman?” Dicky. Ia segera menekan tombol merah yang ada di kamar rawat itu untuk memanggil dokter. Tak lama dokter dan suster segera datang.

“Dok, pasien mengigau. Apakah ia sudah siuman?” tanya Dicky.

“Sebentar. Kami akan memeriksa pasien.” Dokter dan suster segera memeriksa Yumel.

“Pasien masih koma. Pasien mengigau karena sedang bermimpi di alam bawah sadarnya. Saya tidak tahu kapan pasien akan sadar. Kita berdoa saja. Saya permisi.” Dokter itu menjelaskan lalu segera pergi. Dicky menunduk. Ternyata tidak ada perubahan sama sekali pada Yumel.

“Tadi kamu mengigau nama Kak Ali, Mel. Berarti Kak Ali sekarang ada di mimpi kamu. Jangan mau, Mel. Plis jangan mau diajak Kak Ali untuk ikut dengannya. Aku masih butuh kamu, Mel. Aku ingin hidup denganmu selamanya.” Dicky menangis sambil mengelus tangan Yumel.

“Ujung pelangi...” igau Yumel lagi. Dicky tertegun.

“Ujung pelangi?” gumam Dicky. Ia menghapus air matanya.

“Kata nenekku, jika berdiri di ujung pelangi, akan tertarik ke Surga.” Dicky mengingat kata-kata Yumel. Ia kembali bersedih.

“Yumel, apakah kamu menemukan Ujung Pelangi-mu itu? Meninggalkanku sendiri di sini? Meninggalkan perasaan yang tak akan pernah mungkin terjawab ini?” lirih Dicky.

                Tiba-tiba kelopak mata Yumel bergerak. Bertepatan dengan itu, Tante Nisa dan Om Agung datang.

“Dicky, kamu di sini. Bagaimana keadaan Yumel?” tanya Om Agung.

“Iya, Om. Yumel baik-baik sa― Om, Tante. Yumel siuman!” seru Dicky. Mereka langsung mengerumuni Yumel.

“Yumel.” Om Dimas.

“Yumel. Kamu udah sadar. Apa yang sakit, nak?” tanya Tante Nisa. Yumel hanya tersenyum.

“Yumel.” Dicky. Yumel menoleh ke arah Dicky dan ia terdiam.

“Ma, Pa. Aku izin pamit ya.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung mengerutkan dahinya.

“Mau kemana, Yumel?” tanya Om Agung.

“Mau ke ujung pelangi, Pa. Aku diajak Kak Ali.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung terheran. Sedangkan Dicky terkejut.

“Yumel, plis jangan mau diajak Kak Ali. Aku cinta kamu, aku sayang kamu, Mel. Aku ingin kita tetap bersama terus.” lirih Dicky.

“Terlambat.” ucap Yumel dengan ekspresi datar.

“Aku baru sadar kalau aku cinta sama kamu. Dulu aku takut menyatakan cinta ke kamu. Aku takut kalau kita pacaran, terus putus, kita gabisa dekat seperti ini lagi, Mel.” jelas Dicky.

“Kamu sayang sama kamu?” tanya Yumel. Dicky mengangguk mantap.

“Aku sayang sama kamu lebih dari yang kamu tahu.” Dicky.

“Ada satu hal yang mau aku tanyain ke kamu. Bagaimana rasanya kehilangan orang yang kamu sayang? Apakah sedih? Apakah kamu akan merasakan yang jika yang hilang itu aku?” ucap Yumel datar. Dicky terbelalak kaget.

“Yumel, kamu jangan ngomong seperti itu.” Dicky. Tante Nisa dan Om Agung hanya diam. Mereka tahu ini urusan Yumel.

“Dick. Aku sudah lelah. Kamu menggantungkann aku terus. Kamu terlambat.” Yumel.

“semua ngga terlambat. Kita masih bisa bersatu. Kita masih bisa bahagia.” ucap Dicky meyakinkan.

“Terlambat! Aku sudah dijemput Kak Ali.” Yumel.

“Mama ngga siap untuk kehilangan anak kedua kalinya, Pa.” Tante Nisa menangis di bahu Om Agung.

“Maaf, Ma. Ali ngga bermaksud buat Mama sedih. Tapi Mama juga salah. Mama ngga seharusnya ikut ke Singapura dengan Papa dan meninggalkan Yumel sendirian di rumah. Yumel sudah cukup merasakan sakit. Ali sayang Yumel, Ma.” Ucap Kak Ali yang tiba-tiba berada di samping Yumel. Yumel menoleh ke arah Kak Ali dan tersenyum.

“Ayo, Yumel.” ajak Kak Ali yang tidak terlihat oleh siapapun kecuali Yumel.

“Sebentar, Kak.” balas Yumel. Dicky, Tante Nisa, dan Om Agung terheran

“Yumel, kamu bicara dengan siapa?” tanya Dicky.

“Dick, aku ngantuk. Kamu bisa menyanyikan lagu untukku?” pinta Yumel.

“Ba.. Baiklah.” balas Dicky menaruh curiga pada Yumel.



Aku menatap dengan sungguh-sungguh, melihat kepadamu bahwa aku tidak bisa melihat.

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, untukmu Aku tidak bisa mendengar .



Melihat adegan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya,

Mendengar suara-suara yang tidak akan pernah aku dengar .

Kau memberiku kekuatan super,

Ketika dirimu meninggalkan aku.



Dulu diriku terlalu egois,

Hanya peduli tentang diriku sendiri.



umur yang aku punya digunakan terlalu bodoh,

Aku tidak mengerti hatimu.

sekarang aku berubah dari hari ke hari,

Meskipun kau tidak disisiku lagi.

Tetapi aku berubah untukmu.

Karena cinta yang kau berikan kepadaku.



Setiap waktu aku berpikir tentangmu,

Kau ada dimana-mana diseluruh dunia.

di butiran salju dibawah langit malam,

Semua dari mereka adalah air matamu.



Betapa aku berharap untuk memilikimu di depan mataku sekarang.

Betapa aku berharap kau kembali di sisiku.

Menggunakan kekuatan super,

Ini tidak memiliki kemampuan mengambil anda kembali.



Membekukan waktu,

Kembali ke sisimu.

Buku kenangan,

Membalik kembali ke masa lalu.

Halaman tentang kau dan aku.

Kau dan aku di masa lalu.



Aku yang tidak cukup kuat,

Aku berubah dari hari ke hari, untuk cinta mu.

Kau mengubah segalanya. ( Seluruh hidupku )

Semuanya. ( Seluruh dunia )



Umur ini kugunakan untuk tidak menghargai dan menghargai cinta.

umur ini kugunakan untuk berpikir bahwa mengakhiri hubungan bukanlah apa-apa.

Tapi aku sekarang, berubah dari hari ke hari,

Meskipun kau tidak di sisiku lagi.

Cintaku padamu terus berlanjut, seperti tidak ada batas.



                Dan akhirnya Yumel tertidur. Dicky memandang wajah Yumel dengan penuh perasaan. Ia menarik tangan Yumel dan ingin mengelusnya. Tiba-tiba, Dicky terkejut. Dicky tak measakan denyut nadi di tangan Yumel.

“Yumel!” Dicky panik. Ia menyentuh leher Yumel, berharap menemukan nadi Yumel. Tapi tak kunjung ditemukan.

“Om, Tante. Yumel!” seru Dicky pada Tante Nisa dan Om Agung.

“Kenapa, Dicky?” tanya Om Agung.

“Aku gak merasakan denyut nadi Yumel, Om.” Dicky. Tante Nisa dan Om Agung terkejut. Om Agung mengarahkan jari telunjuknya ke hidung Yumel, berharap merasakan hembusan. Tetapi, sama dengan Dicky.

“Yumel..” lirih Tante Nisa sambil menangis. Om Agung menenangkan Tante Nisa.

“Nggak nyangka kamu akan pergi secepat ini, Mel.” lirih Dicky.

                Om Agung menghapus air matanya. Ia segera keluar dari ruang rawat Yumel untuk mengurus pemakaman. Tante Nisa pun menyusul Om Agung. Dicky enggan beranjak dari tempatnya. Ia masih menatap Yumel. Dicky menghela napas.

“Bahagialah kamu di sana, Mel. Kamu pasti senang ya di sana. Ngga seperti di sini, kamu tersiksa terus. I love you, Yumeliasari Adhitama, My Rainbow Girl.” lirih Dicky. Air matanya menumpuk di pelupuk matanya. Dicky mencium kening Yumel.



Terlambat ku sadari kau teramat berarti



Terlambat tuk kembali dan tuk menanti

Kesempatan kedua yang tak kan mungkin pernah ada



***

“Yumeliasari Adhitama, perempuan yang sangat cantik, manis, ceria, dan tegar. Dia pernah menyukai saya. Tapi dia memendam rasa itu selama 2 tahun. Sangat tegar, bukan? Dia mempunyai penyakit kanker. Dan 2 tahun juga, ia mengidap penyakit kanker itu. Tapi ia berhasil menyembunyikan rasa sakitnya itu dengan fake smiling-nya. Saya kagum dengannya. Saya menyesal telah menyia-nyiakan dia. Kini, dia berada di Surga-nya Tuhan. Mungkin dia bahagia di sana. Sekarang, saya sudah mengikhlaskan Yumel. Tenyata Tuhan lebih sayang Yumel. Rasa sayang Tuhan pada Yumel melebihi rasa sayang saya pada Yumel. Yumel, kau takkan tergantikan. Kesekian kalinya, saya ingin mengatakan, I LOVE YOU, MY RAINBOW GIRL!” Dicky.



TAMAT




==========================================================================

Karya = Alya Nur Aisyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nggak Komentar, Nggak Kece :p