‘Lelah? Pasti. Itu aku. Lelah menunggu kepastian yang tak mungkin ada untukku.’ – Yumelia.
Perempuan ini berjalan menuju parkiran sekolah. Belum sampai di
parkiran sekolah, ia sudah disambut oleh seorang pria.
“Mel,
hari ini mau pulang bareng?” ajak pria tadi. Perempuan yang disapa
‘Mel’ tadi adalah Yumeliasari Adhitama, kelas 2 SMA. Dan pria tadi
adalah Dicky Muhammad Prasetya. Mereka bersahabat sejak lama dari mereka
kecil. Tapi, tanpa Dicky ketahui, Yumel menyukai Dicky sejak mereka
lulus SMP. Sebelum Yumel terkena kanker ganas yaitu kanker otak. Dicky
tak mengetahui jika Yumel terkena penyakit itu. Tapi pernah hidung Yumel
mengeluarkan darah di depan Dicky. Dicky sangat khawatir. Tapi, Yumel
hanya bilang ‘Gak apa-apa. Cuma kurang minum aja.’
“Mau, Dick.” balas Yumel.
“Ohya,
nanti sore ke bukit yuk.” ajak Dicky lagi. Bukit adalah tempat favorit
mereka. Di sana anginnya sejuk, sepi, dan tenang. Yumel membalas ajakan
Dicky dengan anggukan. Dicky tersenyum. Yumel terenyuh. Senyuman Dicky
manis sekali, batinnya. Itu yang membuat Yumel suka dengan Dicky.
Senyuman dan perhatiannya. Kadang Yumel pernah ingin melakukan hal
konyol yaitu menyatakan cinta. Tapi saat Yumel ingin bilang, selalu saja
ada halangan. Misal, Dicky mengatakan kalau dia jadian dengan
seseorang. Hal itu yang membuat Yumel terus memendam perasaannya entah
sampai kapan lamanya.
***
‘Walaupun diri ini menyukaimu. Kamu seperti tak tertarik kepadaku. Siap patah hati kesekian kalinya.” – JKT48 - Fortune Cookie.
Kini Yumel dan Dicky sedang di bukit mereka. Yang mereka lakukan adalah
melakukan aktivitas masing-masing. Yumel tiduran sambil membaca novel.
Lalu Dicky tiduran sambil mendengarkan lagu lewat iPod-nya dan menutup
matanya. Tiba-tiba Yumel merasakan ada yang mengalir di dalam hidungnya.
Ia selalu bisa merasakan kalau ia mimisan. Lalu Yumel beranjak dan
berlari menuju tempat di balik pohon.
“Sial. Aku
lupa meminum obatnya tadi siang.” batin Yumel sambil membersihkan darah
di hidungnya. Setelah membersihkan darah, ia meminum obat yang ia bawa.
Bentuknya bulat, sebesar koin Jepang nominal 1 yen, dan berwarna merah
muda. Rasanya pahit. Lalu, Yumel kembali ke tempat Dicky berada. Dicky
tidak ada! Kemana dia? Yumel merasakan ada yang menyentuh pundaknya.
Yumel berbalik.
“Yumel, kamu kemana aja? Aku cari kamu.” Dicky sangat cemas.
“Darimana ya? Hehe..” Yumel terlihat kikuk menjawabnya. Tiba-tiba Dicky memeluk Yumel.
“Di..Dicky.” gumam Yumel. Dicky mempererat pelukannya.
“Maaf
kalau kamu kaget. Sejak lulus SMP, aku selalu merasa cemas terhadapmu.
Apakah ada yang kamu sembunyikan dariku?” tanya Dicky. Yumel menggeleng
pelan.
“Sekarang kita pulang?” tanya Dicky. Yumel menggeleng.
“Aku masih mau di bukit.” jawab Yumel.
“Oke. Kita keliling bukit yuk.” Dicky merangkul Yumel. Yumel terkejut dan tersenyum. Lalu mereka mengelilingi bukit.
“Dicky..
Aku suka kamu. Kenapa kau tak sadar itu? Kau anggap aku apa selama ini?
Kelakuan kita seperti orang pacaran. Aku tak suka kau menggantungkanku
seperti ini.” batin Yumel. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba langkah Dicky
terhenti.
“Oh iya hampir lupa. Aku juga mau memberitahu sesuatu, Mel.” Dicky.
“Apa?”
“Kalau aku...” ucapan Dicky terpotong karena hujan mendadak turun.
“Yah, hujan.” Yumel menadahkan tangan.
“Teduh
di sana yuk.” Dicky menarik Yumel ke sebuah pohon yang daunnya rimbun,
cocok untuk berteduh. Yumel menggosok tangannya berkali-kali. Yumel
alergi dingin, tangannya sudah mulai muncul bintik-bintik merah. Dicky
melihat tangan Yumel. Ia sudah tahu kalau Yumel alergi. Dicky segera
membuka jaketnya dan memakaikannya pada Yumel. Yumel tersenyum.
"Tuhan, jika ini mimpi, jangan bangunkan aku. Biarkan aku larut dalam mimpi ini.” batin Yumel menatap Dicky. Tak lama...
“Eh, hujannya udah reda tuh. Lanjut lagi yuk.” ajak Dicky. Yumel mengangguk. Yumel menatap sebelah barat.
“Dicky, Dicky. Lihat! Ada pelangi.” seru Yumel.
“Iya. Pelangi itu favoritmu kan?” tanya Dicky. Yumel mengangguk sambil terus menatap pelangi.
“Kata nenekku, jika berdiri di ujung pelangi, akan tertarik ke Surga.” Yumel.
“Ohya?” Dicky.
“Iya. Aku ingin ke ujung pelangi itu.” tutur Yumel. Dicky menatap Yumel.
“Apa maksud dia?” batin Dicky. Yumel menatap Dicky.
“Dicky?” Yumel melambaikan tangannya di depan wajah Dicky.
“Eh.. ngg.. Iya, Mel.” Dicky tersadar dari lamunannya.
“Hhh... Dia malah melamun.” Yumel.
“Ehehehe... Eh iya, Mel. Aku mau ngomong sesuatu.” Dicky. Yumel mengerutkan dahinya.
“Apa?” Hati Yumel berdebar-debar. Apakah Dicky akan menembaknya?
“Kamu tahu Riva kan?” tanya Dicky. Yumel mengangguk dan terlihat cuek.
“Aku sudah jadian dengannya.” Dicky terlihat senang. Yumel menghela napas. Ia sudah biasa seperti ini.
“Tuhan, ini mimpi burukku. Bangunkan aku, Tuhan. Aku tidak ingin mimpi seperti ini.” batin Yumel. Matanya terlihat berkaca-kaca.
“Mel? Kamu nangis?” Dicky. Ternyata Dicky mengetahuinya.
“Ngga kok. Kemasukan debu. Hehe..” Fake smiling Yumel.
“Eh iya. Besok mau jalan dengan aku dan Riva?” ajak Dicky.
“Hah? Sama Riva? Ngga deh. Nanti mengganggu.” Yumel.
“Udah, gak apa-apa. Nih, aku telepon Riva. Pasti dia mau.” Dicky mengeluarkan ponsel di sakunya dan segera menelpon Riva.
“Halo, Dicky?” terdengar suara seorang perempuan. Dicky men-loudspeaker ponselnya.
“Riva, besok kita jalannya sama Yumel ya?” Dicky.
“Hah?
Sama Yumel? Ih, ngga ah. Kalau kamu ajak dia, aku gak mau ikut!
Daripada jadi obat nyamuk antara kamu sama dia.” seru Riva. Dicky
terkejut. Ia segera menonaktifkan loudspeaker dan menjauh dari Yumel.
Yumel terdiam.
“Riva tahu aku? Kapan kami bertemu?
Kami kan belum kenalan. Kenal mukanya saja ngga. Kenapa dia tidak suka
padaku?” batin Yumel. Lalu Dicky kembali.
“Yumel,
maaf ya perkataan Riva tadi. Dia mau kok kamu jalan sama kami.” Dicky
tersenyum kecil. Yumel membalasnya dengan senyuman paksa.
“Kita pulang ya.” Dicky. Yumel mengangguk.
“Dicky,
apa yang kamu rasakan saat bersamaku? Apa kau tidak merasakan apa yang
ku rasakan? Sakit memendam rasa ini terlalu lama.” batin Yumel sambil
menangis.
***
‘Akankah
perasaan ini sampai padamu? Aku tak terlalu yakin. Tapi tolong jangan
tertawa dan dengarkan aku. Aku akan menaruh perasaanku pada lagu ini.
Aku berterima kasih padamu dengan sepenuh hati. Aku tak akan pernah
melupakan perasaan ini.” – Houkagou Tea Time - U&I
Esok harinya, Yumel telah siap berangkat untuk pergi jalan dengan Dicky
dan Riva. Tinggal menunggu mobil Dicky datang menjemputnya. Terdengar
suara klakson mobil di depan rumah Yumel. Ia segera keluar. Tampak mobil
Dicky di depan teras rumahnya. Terlihat seorang perempuan yang duduk di
samping Dicky. Mungkin itu Riva, pikir Yumel.
“Pagi, Mel. Maaf ya. Kamu duduk di belakang.” Dicky. Yumel mengangguk. Perempuan di samping Dicky tersenyum sinis.
“Mel, sampingku Riva. Udah tahu kan?” Dicky.
“Udah.” jawab Yumel datar.
“Dicky,
ke taman yuk.” ucap Riva sambil merangkul tangan Dicky dan bersandar di
bahu Dicky. Dicky tersenyum dan mengangguk. Yumel terdiam. Sakit,
itulah yang dirasakannya. Tapi, Yumel sudah terbiasa. Ini yang kesekian
kalinya ia melihat Dicky dengan kekasihnya seperti itu.
“Sabar,
Mel. Ngapain cemburu? Umurku sudah tak lama lagi. Aku tak butuh cinta.
Aku menyerah, tak ingin menyatakan cinta lagi padanya. Mulai besok aku
akan menjauhi Dicky dan mulai fokus pada sakitku.” batin Yumel.
“Untung saja aku meminum obatnya. Tapi aku harus bawa obatnya selesai makan siang nanti.” batin Yumel lagi.
***
‘Apakah
cinta itu seperti ini? Apakah ini akan lebih sakit daripada sakit yang
telah ku rasakan? Semakin aku mendekatimu, perasaan ini semakin besar.
Dan itu membuatku takut.’ – Jessica - The One Like You
Sampai di taman, Dicky turun duluan dari mobil. Saat Yumel hendak turun, Riva menahannya.
“Gue
tau lo dekat sama Dicky. Lo tahu semua tentang Dicky lebih dari gue.
Gue suka sama dia dari dulu. Tapi karena lo halangin gue buat dekat
dengan Dicky, gue baru pacaraan sama Dicky sekarang. Gue peringatin sama
lo, jangan kecentilan sama Dicky! Karena Dicky selamanya milik gue.”
Riva. Yumel mengangguk kikuk. Riva menatap Yumel sinis dan pergi ke luar
mobil. Yumel terdiam di dalam mobil.
“Tuhan,
salahkah aku dekat dengan Dicky? Memilikinya saja Kau tak mengizinkanku.
Sekarang ada yang mengirikan kedekatanku dengan Dicky. Salahkah aku
masih merasakan kebahagiaan? Apakah ini pertanda kalau aku harus
melupakan Dicky?” batin Yumel.
“Yumel?” sapa Dicky yang muncul dari jendela mobil.
“Eh, iya, Dick.” balas Yumel.
“Kok masih di dalam? Ayo keluar.” Dicky. Yumel mengangguk dan segera keluar dari mobil.
Yumel, Dicky, dan Riva berhenti di salah satu bangku panjang yang ada
di taman. Sebenarnya bangku panjang itu cukup untuk 3 orang. Tapi Riva
sengaja menyempitkan ruang yang kosong. Jadi, hanya Dicky dan Riva yang
menempati bangku tersebut. Yumel berdecak sebal.
“Dicky,
aku ke toilet ya. Titip tasku.” Yumel menaruh tasnya di pangkuan Dicky.
Dicky mengangguk dan Yumel langsung pergi ke toilet. Riva melirik ke
tas Yumel.
“Kalau gue jailin tuh cewek seru kali ya.” batin Riva tersenyum sinis.
“Mmm..
Dicky. Aku haus. Tolong beli minuman yang ada di sana ya.” Riva
menunjuk sebuah cafe yang cukup ramai dan jauh dari tempat mereka.
“Hah? Itu? Gak salah? Itu ramai, Va. Terus jauh..” dumel Dicky.
“Tapi aku haus.” rengek Riva. Dicky menghela napas.
“Iya..iya.
Aku belikan. Tunggu sini ya. Titip tas Yumel.” Dicky memberi tas Yumel
pada Riva. Setelah Dicky berlalu, Riva tersenyum sinis. Ia segera
mengobrak-abrik tas Yumel. Lalu, ia mengambil sesuatu.
“Lho?
Ini kan obat kanker otak. Sama kayak obat yang diminum papah sebelum
beliau meninggal. Jangan-jangan...” Riva menggantungkan ucapannya dan
mulai tersenyum licik.
“Kalau dia beneran terkena
kanker otak, gue bakal bikin dia mati. Dan Dicky bakal jadi milik gue
seutuhnya.” Riva tertawa licik. Ia menginjak obat Yumel yang masih
berada di dalam bungkusnya. Setelah obat itu hancur, ia membuangnya ke
tempat sampah. Lalu, Dicky kembali.
“Nih, minumnya.” Dicky memberi Riva minuman Iced Soda sambil mengatur napas. Mungkin dia lelah~ :D
“Makasih, Dick.” Riva. Yumel pun kembali dari toilet.
“Kenapa tasku ada di Riva?” batin Yumel. Ia mengambil tasnya di Riva.
“Lama banget, Mel. Abis ngapain? Hehe.” canda Dicky.
“Tadi
toilet penuh.” balas Yumel sambil bermain ponsel. Ternyata ada 1 pesan
dari Mama Yumel yang meminta Yumel menjemput beliau di bandara.
“Dick, sorry nih. Aku harus pulang. Gabisa temani kalian lama-lama. Aku disuruh Mama untuk menjemput beliau.” Yumel.
“Mau aku antar, Mel?” Dicky menawar.
“Dicky! Kamu mau tinggalin aku?” protes Riva.
“Tapi dia sendirian, Va.” Dicky.
“Udah gak usah. Dia bukan anak kecil lagi. Dia bisa kok sendiri.” Riva menahan tangan Dicky. Yumel menarik nafas panjang.
“Gapapa, Dick. Aku bisa sendiri.” Yumel tersenyum dan segera pergi.
***
‘Ku
akui sungguh beratnya. Meninggalkanmu yang dulu pernah ada. Namun harus
aku lakukan. Karena ku tahu ini yang terbaik. Ku harus pergi
meninggalkan kamu. Yang telah hancurkan aku. Sakitnya, sakitnya, oh
sakitnya. Cintaku lebih besar darinya. Mestinya kau sadar itu. Bukan
dia, bukan dia, tapi aku..’ – Judika - Bukan Dia Tapi Aku.
“Mama..
Papa..” sapa Yumel. Selama ini orang tua Yumel di Singapura untuk
bekeja dan juga mengirim obat Yumel dari sana. Obat Yumel memang dikirim
dari Singapura karena di Indonesia tidak ada. Orangtua Yumel pulang ke
Indonesia sebulan sekali untuk melihat kondisi Yumel.
“Yumel, gimana kondisimu? Baik-baik saja kan?” tanya Mama Yumel, Tante Nisa. Yumel mengangguk sambil tersenyum.
“Ya sudah. Kita pulang yuk. Papa bawa makanan favoritmu.” Papa Yumel, Om Agung. Lalu mereka segera pulang ke rumah.
Setelah makan siang, Yumel menuju kamar untuk mengambil obatnya di dalam tas.
“Lho? Kok gak ada? Padahal aku taruh di sini.” gumam Yumel. Ia segera mencari ke tempat lain.
“Duh.. Gak ada. Gimana nih?” keluh Yumel.
“Mama... Lihat obatku gak?” teriak Yumel dari kamarnya.
“Ngga, sayang. Memangnya kamu taruh di mana?” Tante Nisa.
“Di sini. Tapi gak ada.” cemas Yumel.
“Coba cari kotak persediaan obat kamu. Masih ada cadangan kan?” tanya Tante Nisa. Yumel menatap mamanya.
“Ng.. Obat yang hilang itu yang terakhir.” jawab Yumel gugup. Tante Nisa menghela napas.
“Kenapa kamu tidak bilang sama Mama? Mama kan bisa membawakan obat dari Singapura.”
“Maaf, Ma. Yumel kira obatnya cukup sampai sebulan.” sesal Yumel.
“Ya
sudah. Terpaksa kamu harus konsumsi suntikan obat keras.” Tante Nisa.
Yumel menghela napas dan mengangguk. Ia segera tiduran di kasur dan siap
mengkonsumsi obat keras.
“Argh... Kenapa obatku
harus hilang? Jadinya, aku harus merasakan dinginnya reaksi obat-obat
keras yang masuk ke dalam tubuhku.” batin Yumel.
Suntikan obat keras itu pengganti obat Yumel. Obat keras berfungsi menghambat kanker menyebar
luas
di tubuh Yumel. Tapi obat yang hilang itu lebih maksimal manfaatnya.
Manfaatnya menjaga kekebalan tubuh dari kanker. Ini memang takkan bisa
membuat Yumel sembuh. Yah, mau bagaimana lagi. Kemo yang dijalani Yumel
tak membuahkan hasil.
Tante Nisa
mengambil jarum suntik yang masih terbungkus rapi dan juga mengambil
satu botol berukuran kecil. Tante Nisa memasukkan cairan obat keras dari
botol itu ke dalam suntikan. Lalu menyuntikannya ke pergelangan tangan
Yumel. Yumel menutup matanya untuk menahan sakit ketika merasakan
zat-zat kimia itu bercampur dengan darahnya.
“Dingin..” batin Yumel. Ia menggigil. Lalu, Yumel pingsan seketika.
***
‘Semakin
ku menyayangimu, semakin ku harus melepasmu dari hidupku. Tak ingin
lukai hatimu lebih dari ini. Kita tak mungkin trus bersama.’ – Drive -
Melepasmu
Obat keras itu membuat
Yumel tidur 3 hari lamanya. Ia membuka mata. Yumel ingin memanggil Tante
Nisa, tapi mulutnya terasa kaku. Lalu ia mendengar suara langkah kaki
yang menuju kamarnya.
“Yumel..” sapa Tante Nisa yang masuk ke kamar Yumel.
“Kamu
tidur tiga hari. Mungkin obat keras itu tak terbiasa dengan tubuhmu.
Tubuhmu kan sudah lama tak mengkonsumsi obat keras.” lanjut Tante Nisa.
Yumel masih terdiam.
“Aku nggak sekolah tiga hari ya.” Yumel mencoba berbicara.
“Iya. Kemarin siang Dicky ke sini cari kamu. Mama bilang kamu ke rumah sakit untuk berobat.” Tante Nisa. Yumel tersenyum tipis.
“Bagus deh Mama gak bilang ke dia.” Yumel.
“Memangnya kenapa sih, Mel? Dicky kan sahabat kamu. Nggak ada salahnya kalau dia tahu penyakitmu yang sebenarnya.” Tante Nisa.
“Mama tahu kamu suka Dicky kan?” tanya Tante Nisa penuh selidik. Yumel terdiam.
“Dicky kelihatannya juga suka kamu kok.” lanjut Tante Nisa.
“Dicky
gak mungkin suka sama Yumel kalau dia selalu punya kekasih baru, Ma.
Udahlah, gak usah bahas Dicky. Aku ingin fokus ke penyakitku. Bukan
cinta yang aku perlu.” Yumel membelakangi Tante Nisa dan menutupi
tubuhnya dengan selimut.
"Siapa tahu cinta bisa membuatmu semangat." Tante Nisa. Yumel masih terdiam. Tante Nisa menghela napas panjang.
“Dua hari yang lalu Papa ke Singapura untuk ambil obat kamu.” Tante Nisa. Yumel membalikan badan dan menatap Tante Nisa.
“Tapi
sampai sekarang Papa belum pulang. Tunggu kabar dari Papa ya. Mama mau
masak dulu, pasti kamu lapar kan.” Tante Nisa beranjak dari tempatnya
lalu menuju dapur.
Suara deru mobil taksi berhenti di depan rumah Yumel. Tante Nisa segera keluar. Ternyata itu Om Agung.
“Kamu sudah pulang, Pa.” Tante Nisa menyambut Om Agung dengan wajah penuh harapan.
“Maaf.
Papa gabisa bawa obat Yumel. Di Singapura sudah habis persediaannya.
Papa ingin ke Jepang, tapi uang tabungan Papa sudah hampir habis untuk
pengobatan Yumel dan melunasi hutang perusahaan. Kalau Papa pakai
tabungan itu, kita tidak bisa balik ke Singapura.” terang Om Agung.
Yumel mendengar pembicaraan Om Agung dan Tante Nisa. Ia terkejut.
“Tuhan,
apakah aku begitu merepotkan kedua orangtuaku? Membahagiakan mereka
saja tak ada kesempatan untukku.” batin Yumel sambil menangis.
Dengan tertatih-tatih, Yumel beranjak dari kasur menuju ruang tamu.
“Mama,
Papa. Nggak perlu ke Jepang untuk cari obatku. Nggak apa-apa aku harus
mengkonsumsi obat kimia itu. Asalkan, Mama dan Papa tetap di sini
bersamaku.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung menangis dan memeluk Yumel.
***
‘Kau
akan selalu berada di dalam hatiku. Selalu ada tempat hanya untukmu.
Aku berharap bahwa aku memiliki tempat di hatimu juga. Sekarang dan
selamanya kau masih satu-satunya. Sekarang ini masih sebuah lagu cinta
sedih. Sampai aku bisa menyanyikan lagu yang baru’ – Utada Hikaru -
First Love
Hampir 2 minggu Yumel
tak masuk sekolah dengan beralasan ‘sakit’. Dan juga hampir setiap hari
Dicky mengunjungi Yumel, tapi Tante Nisa selalu bilang dengan alasan
yang sama yaitu sedang berobat ke rumah sakit. Selama 2 minggu Yumel
sudah mengkonsumsi suntikan obat keras. Tapi kondisi Yumel semakin
memburuk. Mungkin karena sudah satu setengah tahun ia tidak
mengkonsumsinya. Tante Nisa dan Om Agung membawa Yumel ke rumah sakit.
Dokter memeriksa Yumel.
“Bagaimana, dok?” tanya Om Agung yang tampak khawatir.
“Kankernya
sudah menyebarluas ke tubuh pasien. Kanker itu sudah merenggut
kesehatannya. Pasien saat ini kritis karena terlalu banyak zat kimia di
dalam tubuhnya. Di seluruh tubuhnya tampak banyak memar biru akibat
suntikan. Saya mohon jangan beri suntikan zat kimia lagi pada pasien.
Karena akan berakibat fatal. Kini obat kimia itu sudah tak berpengaruh
pada kanker itu. Saat ini Yumel mengalami koma, ia membutuhkan rawat
inap selama beberapa hari. Saya akan memberikan obat yang berbeda untuk
menghambat pertumbuhan kankernya. Tapi saya tidak tahu itu akan membuat
pasien sembuh atau tidak. Kita berdoa saja agar Tuhan memberikan
mukjizat pada pasien. Saya permisi.” Dokter itupun pergi. Tante Nisa
menangis.
“Tenang, Ma. Papa akan lakukan sesuatu demi kesembuhan Yumel.” Om Agung berusaha menenangkan Tante Nisa.
***
‘Saat
ku melihatmu jantungku selalu berdebar. Kenangan yang melambai bagaikan
marshmallow yang melayang. Aku selalu berjuang, tak pernah kau sadari.
Tiap saat kutatap wajahmu dari samping. Andaikan ini mimpi, jarak kita
berdua. Akan menjadi lebih dekat.’ – Houkago Tea Time - Fuwa Fuwa Time
Hari ini, Dicky ada janji dengan Riva. Dicky baru saja bangun dari
tidurnya. Padahal 15 menit lagi, ia akan terlambat. Jika ia telat,
mungkin Riva akan marah padanya.
“Aduh, gue bangun
kesiangan. Udahlah, gak usah mandi. Walaupun gak mandi, tetep kece.”
gumam Dicky sambil berpakaian. Lalu ia segera pergi ke rumah Riva.
Sampai di sana, Dicky menekan bel rumah Riva berkali-kali. Tapi sang empunya rumah tak kunjung keluar.
“Gue masuk aja kali ya.” gumam Dicky. Ia membuka pagar rumah Riva dan masuk menuju ruang tamu. Dicky terkejut melihat Riva sedang berduaan dengan laki-laki lain.
“Riva...” Dicky. Riva dan laki-laki itu menoleh ke arah Dicky.
“Eh, ada Dicky.” ucap Riva dengan santai.
“Kamu kenapa tega melakukan ini kepadaku? Salahku apa, Riva?” Dicky.
“Salah lo? Banyak! Akhir-akhir ini lo sering ketemuan kan sama Yumel.” hardik Riva.
“Ngga kok. Gue jarang ketemu dia.” Dicky.
“Walaupun lo jarang ketemu dia. Gue tahu akhir-akhir ini lo sering ke rumah Yumel.”
“Gue ke rumah Yumel karena gue khawatir. Dia sedang sakit, Va.” ucap Dicky lembut.
“Khawatir? Emang Yumel siapa lo? Karena lo terlalu khawatir sama Yumel, sampai lo gak ada waktu buat gue?” Riva.
“Yumel itu sedang sakit, Va. Kalau lo? Sehat-sehat aja kan?” Dicky. Riva tersenyum sinis.
“Lo mau tahu Yumel sakit apa? Kanker otak!” seru Riva. Dicky terkejut.
“Lo.. lo serius, Va? Tahu darimana lo?” Dicky.
“Beberapa
minggu lalu, gue menemukan obat di tas Yumel. Obat itu sama seperti
obat kanker otak punya bokap gue sebelum beliau meninggal dulu. Jadi,
gue hancurin obatnya Yumel biar dia mati.” Riva.
“Lo!” Dicky hendak menampar Riva, tapi ia sadar Riva seorang perempuan. Tak mungkin Dicky menyakiti perempuan.
“Kita putus!” Dicky.
“Wow.
Gue gak kaget.” ucap Riva santai. Dicky menatap tajam Riva lalu ia
segera keluar. Riva tersenyum sinis saat melihat Dicky pergi.
“Gue
udah bosan sama lo, Dick. Lo ngga senyaman yang gue kira. Nyesel gue
pernah suka sama lo.” batin Riva. Lalu ia menghampiri selingkuhannya.
***
‘Meskipun
dengan frustasi melanjutkan hubungan ini. Dengan sedih pula aku tak
dapat mengubah hatiku. Meski aku mencintaimu, meski aku tak ingin
berpisah darimu. Aku harus mengatakannya...’ – Megurine Luka - Just Be
Friends
Dicky segera pergi ke rumah Yumel. Ia membawa mobilnya dengan cepat. Dicky khawatir.
“Kenapa
kamu gak bilang kalau kamu sakit kanker, Mel? Rasa khawatirku sekarang
terjawab. Sejak lulus SMP, aku memang merasa ada yang kamu sembunyikan.”
batin Dicky. Setela sampai di rumah Yumel, Dicky segera mengetuk pintu
rumah Yumel dengan cepat. Pintu pun terbuka.
“Eh, Dicky.” sapa Tante Nisa.
“Tante, Yumel ada?” tanya Dicky dengan sopan.
“Yumel sedang berobat dengan Om Agung, Dick. Yumel memang harus check-up dengan rutih biar cepat sembuh.” dusta Tante Nisa.
“Oh, memangnya kalau sakit kanker otak harus check-up dengan rutin, Tante?” Dicky. Tante Nisa terkejut.
“Yumel bukan sakit kanker, Dicky. Hanya sakit biasa.” Tante Nisa masih berbohong.
“Tante gak usah bohong lagi sama Dicky. Dicky sudah tahu yang sebenarnya. Yumel sakit kanker otak kan, Tante?” tanya Dicky.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Tante Nisa.
“Tante
ngga perlu tahu. Izinkan Dicky bertemu dengan Yumel, Tante. Dicky
mohon.” Dicky berlutut. Matanya berkaca-kaca. Tante Nisa merasa iba.
Beliau membantu Dicky berdiri.
“Tante akan memberi tahu. Tapi besok kamu kembali kesini.” Tante Nisa.
“Tapi, Tante. Kenapa harus besok?” tanya Dicky.
“Turuti saja apa kata Tante.” Tante Nisa segera masuk ke dalam. Dicky menghela napas kecewa.
***
‘Takdir
yang telah menghubungkan kita berdua. Terputus dan menghilang di dalam
kehidupan. Selamat tinggal orang yang ku cintai, sampai di sini.
Janganlah lagi melihat ke belakang, mulailah berjalan.’ – Megurine Luka -
Just Be Friends
Hari begitu lama bagi Dicky. Walau hari sudah larut malam, Dicky belum tertidur. Ia masih menunggu hari esok.
“Sejak
lulus SMP, aku sering lihat kamu mimisan. Waktu kelas 1 SMA, 6 bulan
kamu ngga masuk sekolah, Mel. Tapi kamu hebat. Kamu tetap menduduki
ranking 1. Beberapa bulan lagi, kita kelas 3. Apakah kita masih bisa
bersama, Mel?” gumam Dicky sambil memandang fotonya dengan Yumel ketika
mereka masih kelas 6 SD. Di foto itu tampak Dicky mencubit pipi Yumel
dan Yumel terlihat kesal. Dicky tertawa kecil, matanya berkaca-kaca.
Akhirnya, Dicky tertidur.
Dicky membuka matanya. Dicky terkejut. Kini ia sedang berada di bukit.
“Kok gue ada di sini?” batin Dicky. Ia mencoba berjalan di sekitar bukit. Tiba-tiba, ia melihat Yumel berada di balik pohon.
“Lho,
itu kan Yumel. Dia ngapain?” Dicky mendekati Yumel. Lalu ia terkejut.
Yumel sedang membersihkan darah di hidungnya. Lalu tak lama, Yumel
beranjak. Ia seperti mencari seseorang. Dicky mengikutinya. Tiba-tiba ia
terperangah kaget. Dicky melihat dirinya sendiri sedang menghampiri
Yumel.
“Oh iya. Gue ingat. Ini waktu di bukit beberapa minggu
yang lalu.” gumam Dicky. Lalu angin berhembus, seperti meminta Dicky
mengikuti mereka berdua. Dicky mendengar pembicaraan mereka berdua.
tiba-tiba terdengar suara, suara yang sangat keras, bukan teriakan.
Seperti gemuruh, gemuruh yang lembut.
“Dicky.. Aku suka kamu.
Kenapa kau tak sadar itu? Kau anggap aku apa selama ini? Kelakuan kita
seperti orang pacaran. Aku tak suka kau menggantungkanku seperti ini.”
Begitulah suara itu. Dicky terkejut. Itu seperti suara hati, suara hati
Yumel.
Tiba-tiba, semua menjadi gelap. Dicky ketakutan. Ini
gelap, sangat gelap. Tidak ada cahaya sedikitpun. Dicky mencoba meraba
sekitar. Tidak ada benda di sekitarnya. Dicky mencoba berjalan, tapi
kakinya terasa kaku. Lalu Dicky mendengar suara langkah kaki yang
mendekatinya. Tiba-tiba, semua terang. Dicky terkejut karena ada
seseorang yang berada di depannya. Wajahnya sangat familiar bagi Dicky.
“Kak...” sapa Dicky. Orang yang disapa ‘kak’ itu hanya menatap tajam Dicky.
“Lo
udah ingkar janji lo sendiri..” Kak Ali, kakaknya Yumel. Ia sudah
meninggal saat Yumel kelas 2 SMP karena kecelakaan. Kak Ali beda 4 tahun
dengan Yumel dan Dicky.
“Ma.. Maksud Kakak apa ya?” tanya
Dicky. Ia ketakutan melihat Kak Ali yang merwajah pucat. Kak Ali
mengangkat tangannya dan menempelkan jari telunjuknya di dahi Dicky yang
sebesar banda Soekarno-Hatta itu.
Tiba-tiba,
Dicky seperti tertarik ke belakang. Ia kembali ke masa lalunya, yaitu
saat 2 SMP. Dicky melihat dirinya sendiri di depan rumahnya Yumel.
“Yumel..”
panggil Dicky kecil. Dicky ingat. Ini saat dia memanggil Yumel untuk
berangkat ke sekolah. Keluarlah Kak Ali saat masih hidup.
“Eh, Dicky. Ayo masuk. Yumel-nya belum turun. Tunggu di dalam aja.” Kak Ali. Dicky kecil mengangguk.
“Dicky, kamu sayang ngga sama Yumel?” tanya Kak Ali spontan.
“Dicky sayang banget sama Yumel, Kak Ali.” Dicky kecil menjawab dengan mantap.
“Mau kan jagain Yumel kalau kakak gak ada?” tanya Kak Ali. Dicky kecil mengerutkan dahinya dan mengangguk.
“Janji ya. Jangan bikin Yumel sedih. Kalau Yumel sampai sedih, kakak bakal hantuin kamu.” canda Kak Ali.
“Kak Ali bisa aja bercandanya.” Dicky kecil.
“Pada ngomongin apa sih? Masa Yumel gak diajak.” kata Yumel kecil yang baru turun dari kamarnya.
“Yumel kepo deh. Udah ya. Kakak langsung berangkat sekolah. Kamu bareng Dicky ya.” Kak Ali.
“Iya.
Kakak hati-hati ya.” Yumel Kecil. Dicky menelan ludahnya saat melihat
adegan di masa lalu-nya itu. Ia ingat. Setelah Yumel dan Dicky sampai di
sekolah, Yumel dikejutkan oleh kepala sekolah bahwa Kak Ali kecelakaan.
Ternyata yang diucapkan Kak Ali itu adalah permintaan terakhirnya.
Tiba-tiba, Dicky seperti tertarik ke belakang lagi. Lalu Kak Ali kembali
berada di depan Dicky.
“Dan lo lihat sekarang. Yumel sedang
terbaring lemah. Lo ngga sadar, Dick? Yumel itu suka sama lo! Dia selalu
ingin mengutarakan perasaannya ke lo, tapi selalu gagal. Karena lo
selalu punya cewek baru.” Kak Ali emosi.
“Maaf, Kak. Gue emang
suka Yumel. Tapi gue ragu kalau Yumel suka sama gue. Karena dia memang
gak pernah tunjukin perasaannya.” Dicky.
“Emang lo gak pernah
tanyakan perasaan Yumel terhadap lo? Pengecut lo, Dick. Gak gentle! Gue
kecewa sama lo. Gue gak akan temuin lo sama Yumel lagi.” Kak Ali sudah
naik pitam.
“Ma.. Maksud lo Kak?” tanya Dicky. Kak Ali tersenyum sinis.
“Gue akan bawa Yumel untuk ikut bersama gue.” Kak Ali. Dicky terkejut.
“Kak. Plis, jangan Kak. Jangan bawa Yumel. Gue sayang sama dia, Kak.” Dicky memohon.
“Lo
menyesal? Terlambat! Lo kira adik gue itu sampah daur ulang? Yang bisa
lo buang terus diambil lagi. Adik gue bukan boneka yang bisa lo mainin.”
Kak Ali menghilang dari pandangan Dicky
“Yumeeeeeeeeeeeelllllll......”
teriak Dicky. Dadanya naik-turun. Ternyata cuma mimpi. Bukan, seperti
sebuah peringatan. Dicky melirik ke arah jam. Sudah pagi. Dicky segera
bersiap untuk pergi ke rumah Yumel.
***
‘Menyia-nyiakanmu itu penyesalan terbesarku.’ – Dicky
“Yumel
di rumah sakit media. Ruang nomor 211.” kata-kata Tante Nisa masih
terngiang di pikiran Dicky. Ia segera menancap gas langsung ke rumah
sakit. Mengendarai mobilnya dengan cepat. Akhirnya ia sampai di rumah
sakit. Dicky segera berlari menuju lift karena ruang rawat nomor 211
berada di lantai 5.
Dicky membuka pintu ruang
itu. Dilihatnya Yumel terbaring lemah dengan alat-alat medis yang
tertempel di tubuhnya. Dicky menatap sedih. Yumel sangat pucat dan
kurus. Di bagian tangannya banyak memar bekas suntikan. Dicky meraih
tangan Yumel.
“Yumel.. Maaf. Karena aku, kamu jadi seperti ini.” Dicky. Matanya berkaca-kaca.
“Yumel, bangun. Aku ingin menyatakan perasaanku..” lirih Dicky.
“Kak Ali..” igau Yumel. Dicky terkejut.
“Yumel?
Kamu siuman?” Dicky. Ia segera menekan tombol merah yang ada di kamar
rawat itu untuk memanggil dokter. Tak lama dokter dan suster segera
datang.
“Dok, pasien mengigau. Apakah ia sudah siuman?” tanya Dicky.
“Sebentar. Kami akan memeriksa pasien.” Dokter dan suster segera memeriksa Yumel.
“Pasien
masih koma. Pasien mengigau karena sedang bermimpi di alam bawah
sadarnya. Saya tidak tahu kapan pasien akan sadar. Kita berdoa saja.
Saya permisi.” Dokter itu menjelaskan lalu segera pergi. Dicky menunduk.
Ternyata tidak ada perubahan sama sekali pada Yumel.
“Tadi
kamu mengigau nama Kak Ali, Mel. Berarti Kak Ali sekarang ada di mimpi
kamu. Jangan mau, Mel. Plis jangan mau diajak Kak Ali untuk ikut
dengannya. Aku masih butuh kamu, Mel. Aku ingin hidup denganmu
selamanya.” Dicky menangis sambil mengelus tangan Yumel.
“Ujung pelangi...” igau Yumel lagi. Dicky tertegun.
“Ujung pelangi?” gumam Dicky. Ia menghapus air matanya.
“Kata nenekku, jika berdiri di ujung pelangi, akan tertarik ke Surga.” Dicky mengingat kata-kata Yumel. Ia kembali bersedih.
“Yumel,
apakah kamu menemukan Ujung Pelangi-mu itu? Meninggalkanku sendiri di
sini? Meninggalkan perasaan yang tak akan pernah mungkin terjawab ini?”
lirih Dicky.
Tiba-tiba kelopak mata Yumel bergerak. Bertepatan dengan itu, Tante Nisa dan Om Agung datang.
“Dicky, kamu di sini. Bagaimana keadaan Yumel?” tanya Om Agung.
“Iya, Om. Yumel baik-baik sa― Om, Tante. Yumel siuman!” seru Dicky. Mereka langsung mengerumuni Yumel.
“Yumel.” Om Dimas.
“Yumel. Kamu udah sadar. Apa yang sakit, nak?” tanya Tante Nisa. Yumel hanya tersenyum.
“Yumel.” Dicky. Yumel menoleh ke arah Dicky dan ia terdiam.
“Ma, Pa. Aku izin pamit ya.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung mengerutkan dahinya.
“Mau kemana, Yumel?” tanya Om Agung.
“Mau ke ujung pelangi, Pa. Aku diajak Kak Ali.” Yumel. Tante Nisa dan Om Agung terheran. Sedangkan Dicky terkejut.
“Yumel, plis jangan mau diajak Kak Ali. Aku cinta kamu, aku sayang kamu, Mel. Aku ingin kita tetap bersama terus.” lirih Dicky.
“Terlambat.” ucap Yumel dengan ekspresi datar.
“Aku
baru sadar kalau aku cinta sama kamu. Dulu aku takut menyatakan cinta
ke kamu. Aku takut kalau kita pacaran, terus putus, kita gabisa dekat
seperti ini lagi, Mel.” jelas Dicky.
“Kamu sayang sama kamu?” tanya Yumel. Dicky mengangguk mantap.
“Aku sayang sama kamu lebih dari yang kamu tahu.” Dicky.
“Ada
satu hal yang mau aku tanyain ke kamu. Bagaimana rasanya kehilangan
orang yang kamu sayang? Apakah sedih? Apakah kamu akan merasakan yang
jika yang hilang itu aku?” ucap Yumel datar. Dicky terbelalak kaget.
“Yumel, kamu jangan ngomong seperti itu.” Dicky. Tante Nisa dan Om Agung hanya diam. Mereka tahu ini urusan Yumel.
“Dick. Aku sudah lelah. Kamu menggantungkann aku terus. Kamu terlambat.” Yumel.
“semua ngga terlambat. Kita masih bisa bersatu. Kita masih bisa bahagia.” ucap Dicky meyakinkan.
“Terlambat! Aku sudah dijemput Kak Ali.” Yumel.
“Mama ngga siap untuk kehilangan anak kedua kalinya, Pa.” Tante Nisa menangis di bahu Om Agung.
“Maaf,
Ma. Ali ngga bermaksud buat Mama sedih. Tapi Mama juga salah. Mama ngga
seharusnya ikut ke Singapura dengan Papa dan meninggalkan Yumel
sendirian di rumah. Yumel sudah cukup merasakan sakit. Ali sayang Yumel,
Ma.” Ucap Kak Ali yang tiba-tiba berada di samping Yumel. Yumel menoleh
ke arah Kak Ali dan tersenyum.
“Ayo, Yumel.” ajak Kak Ali yang tidak terlihat oleh siapapun kecuali Yumel.
“Sebentar, Kak.” balas Yumel. Dicky, Tante Nisa, dan Om Agung terheran
“Yumel, kamu bicara dengan siapa?” tanya Dicky.
“Dick, aku ngantuk. Kamu bisa menyanyikan lagu untukku?” pinta Yumel.
“Ba.. Baiklah.” balas Dicky menaruh curiga pada Yumel.
Aku menatap dengan sungguh-sungguh, melihat kepadamu bahwa aku tidak bisa melihat.
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, untukmu Aku tidak bisa mendengar .
Melihat adegan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya,
Mendengar suara-suara yang tidak akan pernah aku dengar .
Kau memberiku kekuatan super,
Ketika dirimu meninggalkan aku.
Dulu diriku terlalu egois,
Hanya peduli tentang diriku sendiri.
umur yang aku punya digunakan terlalu bodoh,
Aku tidak mengerti hatimu.
sekarang aku berubah dari hari ke hari,
Meskipun kau tidak disisiku lagi.
Tetapi aku berubah untukmu.
Karena cinta yang kau berikan kepadaku.
Setiap waktu aku berpikir tentangmu,
Kau ada dimana-mana diseluruh dunia.
di butiran salju dibawah langit malam,
Semua dari mereka adalah air matamu.
Betapa aku berharap untuk memilikimu di depan mataku sekarang.
Betapa aku berharap kau kembali di sisiku.
Menggunakan kekuatan super,
Ini tidak memiliki kemampuan mengambil anda kembali.
Membekukan waktu,
Kembali ke sisimu.
Buku kenangan,
Membalik kembali ke masa lalu.
Halaman tentang kau dan aku.
Kau dan aku di masa lalu.
Aku yang tidak cukup kuat,
Aku berubah dari hari ke hari, untuk cinta mu.
Kau mengubah segalanya. ( Seluruh hidupku )
Semuanya. ( Seluruh dunia )
Umur ini kugunakan untuk tidak menghargai dan menghargai cinta.
umur ini kugunakan untuk berpikir bahwa mengakhiri hubungan bukanlah apa-apa.
Tapi aku sekarang, berubah dari hari ke hari,
Meskipun kau tidak di sisiku lagi.
Cintaku padamu terus berlanjut, seperti tidak ada batas.
Dan akhirnya Yumel tertidur. Dicky memandang wajah Yumel dengan penuh
perasaan. Ia menarik tangan Yumel dan ingin mengelusnya. Tiba-tiba,
Dicky terkejut. Dicky tak measakan denyut nadi di tangan Yumel.
“Yumel!” Dicky panik. Ia menyentuh leher Yumel, berharap menemukan nadi Yumel. Tapi tak kunjung ditemukan.
“Om, Tante. Yumel!” seru Dicky pada Tante Nisa dan Om Agung.
“Kenapa, Dicky?” tanya Om Agung.
“Aku
gak merasakan denyut nadi Yumel, Om.” Dicky. Tante Nisa dan Om Agung
terkejut. Om Agung mengarahkan jari telunjuknya ke hidung Yumel,
berharap merasakan hembusan. Tetapi, sama dengan Dicky.
“Yumel..” lirih Tante Nisa sambil menangis. Om Agung menenangkan Tante Nisa.
“Nggak nyangka kamu akan pergi secepat ini, Mel.” lirih Dicky.
Om Agung menghapus air matanya. Ia segera keluar dari ruang rawat Yumel
untuk mengurus pemakaman. Tante Nisa pun menyusul Om Agung. Dicky
enggan beranjak dari tempatnya. Ia masih menatap Yumel. Dicky menghela
napas.
“Bahagialah kamu di sana, Mel. Kamu pasti senang ya di
sana. Ngga seperti di sini, kamu tersiksa terus. I love you, Yumeliasari
Adhitama, My Rainbow Girl.” lirih Dicky. Air matanya menumpuk di
pelupuk matanya. Dicky mencium kening Yumel.
Terlambat ku sadari kau teramat berarti
Terlambat tuk kembali dan tuk menanti
Kesempatan kedua yang tak kan mungkin pernah ada
***
“Yumeliasari
Adhitama, perempuan yang sangat cantik, manis, ceria, dan tegar. Dia
pernah menyukai saya. Tapi dia memendam rasa itu selama 2 tahun. Sangat
tegar, bukan? Dia mempunyai penyakit kanker. Dan 2 tahun juga, ia
mengidap penyakit kanker itu. Tapi ia berhasil menyembunyikan rasa
sakitnya itu dengan fake smiling-nya. Saya kagum dengannya. Saya
menyesal telah menyia-nyiakan dia. Kini, dia berada di Surga-nya Tuhan.
Mungkin dia bahagia di sana. Sekarang, saya sudah mengikhlaskan Yumel.
Tenyata Tuhan lebih sayang Yumel. Rasa sayang Tuhan pada Yumel melebihi
rasa sayang saya pada Yumel. Yumel, kau takkan tergantikan. Kesekian
kalinya, saya ingin mengatakan, I LOVE YOU, MY RAINBOW GIRL!” Dicky.
TAMAT
==========================================================================
Karya = Alya Nur Aisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak Komentar, Nggak Kece :p