Namaku Ilham Fauzie. Umurku 19 tahun. Saat umurku 7 tahun, aku sudah tidak mempunyai papa. Begini ceritanya.
#Flashback : ON#
“Papa, Papa. Aku mau helikopter, Pa.” rengekku saat masih umur 7 tahun. Kala itu, Papa masih hidup.
“Besok aja ya, Ham. Sekarang sudah malam.” tolak Papa.
“Ahh..
Papa.. Iam maunya sekarang.” rengekku dengan manja. Karena aku anak
tunggal, Papa selalu memanjakanku. Akhirnya Papa mau membelikanku mainan
yang ku inginkan. Aku dan Papa pergi ke toko mainan dengan mobil.
Sedangkan Mama di rumah.
Akhirnya, mainan helikopter yang ku inginkan ada di tanganku. Aku memainkannya sambil berdiri di jok mobil.
“Iam.
Duduk, sayang. Nanti jatuh, nak.” nasihat Papa sambil fokus menyetir.
Tetapi, aku tidak menghiraukan beliau. Aku malah berpindah dari jok
depan ke jok belakang dan berlompat-lompat sambil memainkan helikopter.
“Ilham!
Diam!” tegas Papa sambil menoleh ke belakang. Kalian tahu, itu adalah
peringatan terakhir beliau sampai truk besar menabrak mobil kami.
***
Kini, aku menggunakan kursi roda. Kaki kananku diamputasi karena
terjepit jok saat kecelakaan itu. Papa meninggal. Mama sangat terpukul
akan kepergian Papa. Mama menyalahkanku karena kepergian beliau
“Kamu yang membuat semua ini terjadi! KAMU ANAK YANG TIDAK BERGUNA!” bentak Mama sambil ingin memukulku.
“Hera! Kamu gila? Jangan memukul anak sendiri!” Oma melarang Mama.
“Biarin, Ma. Biar dia mati. Nyawa dibalas nyawa.” Mama seperti orang kerasukan. Oma segera membawaku pergi menjauh dari Mama.
“Hks.. Mama..” tangisku.
Oma yang merawatku. Membiayaiku sekolah dengan hasil keringat Opa.
Semenjak Papa meninggal, Mama selalu menghabiskan waktunya di luar
rumah.
Aku menghampiri Mama yang sedang memainkan ponsel.
“Mama,
ini surat persetujuan Ilham ikut lomba. Mama tanda tangan ya. Setelah
itu datang ke sekolah. Lihat Ilham lomba.” Aku memberikan surat tersebut
pada Mama.
“Ngapain kamu dekat-dekat saya? Saya bukan mama
kamu lagi. Saya tidak sudi punya anak pembunuh seperti kamu!” sentak
Mama, lalu meninggalkanku.
“Ham, sini biar yang tanda tangan.” Oma menghampiriku.
“Oma, hiks.. Kenapa Mama begitu.. hks..” Aku menangis. Oma pun menangis.
“Oma juga gatau, sayang. Iam yang sabar ya. Berdoa agar Mama kembali seperti dulu.” nasihat Oma. Aku mengangguk.
#Flashback : OFF#
Sekarang umurku 19 tahun. Seharusnya aku melanjutkan kuliah. Tetapi,
Oma dan Opa sudah meninggal saat umurku 17 tahun karena kecelakaan.
Kini, tidak ada yang merawatku. Kalau makan, aku hanya memakan nasi-nasi
sisa Mama. Kadang, aku memakan lauk yang sudah basi. Tak jarang,
perutku sakit. Aku hanya bisa meronta kesakitan tanpa berteriak. Jika
teriak, Mama akan memarahiku. Aku dianggap seperti pembawa sial yang
tidak diinginkan keberadaannya. Tubuhku sangat kurus, sangat
memprihatinkan.
Suatu hari, aku mendengar bahwa Mama ingin menikah lagi. Itu terbukti karena Mama membawa pria lain ke rumah.
“Mama, ini siapa, Ma?” tanyaku pada Mama yang sedang berduaan dengan pria itu.
“Ngapain
kamu di sini? Menganggu saja. Sana! Pergi kamu!” usir Mama sambil
mendorong kursi rodaku ke gudang, atau lebih tepatnya kamarku.
Dari gudang, aku menguping pembicaraan Mama dengan pria itu.
“Tadi siapa?” tanya pria itu.
“Sudahlah, Mas. Lupakan anak itu. Sekarang kita bicarakan tentang pernikahan kita.” Mama.
“Maaf,
Hera. Aku menyesal mengatakan ini. Tetapi, sepertinya kita harus
mengundurkan hari pernikahan kita. Kita adakan 3 bulan lagi.” Pria itu.
“Tapi kenapa?” tanya Mama.
“Ngg.. Orangtuaku akan pulang dari Jepang pada saat itu.” Pria itu.
“Hmm.. Ya sudah.” pasrah Mama.
Aku terkejut. Mama akan menikah lagi!? Aku tidak pecaya, tapi ini
nyata. Aku berharap pria pilihan Mama adalah yang terbaik. Aku
melanjutkan menguping pembicaraan Mama dengan pria itu.
“Sebentar ya, Mas. Aku bikin minuman dulu.” Mama beranjak ke dapur. Ku dengar ponsel pria itu berbunyi.
“Iya, Rita sayang. Ada apa?”
“...”
“Iya,
tenang saja. Sekarang saya sedang berada di rumahnya. Nanti saya akan
meminjam uang 5 juta kepadanya.” Pria itu memelankan suaranya.
“...”
“5 juta kurang? Segitu saja sudah cukup. Dasar kau materialistis.”
“...”
“Aku tidak kasihan padanya. Tetapi kita memerasnya sedikit demi sedikit. Sudahlah. Matikan teleponmu.” Telepon terputus.
Jadi, pria itu bukan pria baik-baik? Pria itu berbohong pada Mama. Dia menduakan Mama dan memeras Mama!
“Mama.. Kasihan sekali beliau.” lirihku.
“Aku harus kasih tahu Mama setelah pria brengsek itu pergi.” batinku dengan mantap.
***
“Mama.. Mama kenal dari mana pria tadi?” tanyaku menghampiri Mama.
“Peduli apa kamu? Itu bukan urusanmu! Sana pergi! Saya muak lihat kamu!” sentak Mama.
“Tapi, Ma. Dia itu pria brengsek. Dia menduakan Mama dan memeras Mama. Tadi dia minta uang 5 juta kan?”
“Oh, ternyata kamu menguping ya? Pintar kamu! Sekarang jadi anak bandel ya!” Mama menarik telingaku. Aku meringis kesakitan.
“A..aduh, Ma. Sakit!” lirihku. Mama melepaskan tangannya dari telingaku. Aku memegang telingaku yang memerah.
“Sana pergi!” Mama mengusirku. Aku segera meninggalkan Mama dengan muka iba.
***
‘Apa
yang kuberikan untuk mama. Untuk mama tersayang. Tak kumiliki sesuatu
berharga. Untuk mama tercinta.’ – Kenny - Cinta Untuk Mama
Hari demi hari, pria itu, sebut saja Om Devan, semakin memeras Mama.
Sudah 20 juta habis diambil Om Devan. Ia juga menduakan Mama demi
merampas harta Mama.
“Hera, aku ingin meminjam uang 1 juta, boleh?” Om Devan kembali memeras.
“Tentu
saja boleh, Mas. Sebentar.” Mama beranjak ke kamar untuk mengambil
uang. Aku melihat gerak-gering Om Devan. Ia tersenyum sinis.
“Ini, Mas.” Mama memberi uang. Sebelum Om Devan menerimanya, aku mendorong kursi rodaku, menghampiri Om Devan dan mendorongnya.
“Jangan memeras mamaku lagi!” sentakku sambil mendorong Om Devan. Om Devan jatuh terduduk.
“Ilham! Lancang kamu ya!” bentak Mama.
“Heh! Anak kecil! Berani kamu dorong saya!” Om Devan.
“Iya, saya berani. Saya berani dorong pria yang menduakan dan memeras mama saya!” sentakku. Om Devan terkejut dan kikuk.
“Jangan
sok tahu kamu!” Om Devan mendorong kursi rodaku. Aku terjatuh.
Bersamaan dengan jatuhku, aku menyenggol sebuah gunting. Aku menatap
gunting itu. Aku menghela napas panjang dan segera mengambil gunting
itu. Demi Mama, demi sayangku pada Mama, demi menebus kesalahanku pada
Mama di masa lampau. Aku mencoba bangun, meski aku tahu kakiku hanya
satu. Aku akan...
“AAAARRGGGHHHH.....!” teriak Om Devan saat aku menusukkan gunting ke perut Om Devan. Mama terkejut dan menangis.
“Mas Devan...” lirih Mama. Nafasku tersengal. Kenapa aku lega sekali? Padahal aku telah berdosa membunuh seseorang.
“Dasar!
Kamu membuat hidup saya menderita! Anak tak tahu diri!” Mama menamparku
berkali-kali. Mama mengambil gunting yang terdapat darah Om Devan
*Bahasanya belibet*
“Nyawa dibalas nyawa! Sekarang tidak ada
yang menghalangi saya. Saya ingin sekali membunuh kamu dari dulu.” Mama
mengarahkan gunting tersebut ke arahku.
“Aaaaaaahhhh.....” teriakku kesakitan. Mama memandang sinis tubuhku yang sudah terkulai lemas. Aku berusaha bicara.
“Ma..
terima kasih.. Mama sudah menjadi mama yang baik untuk Ilham. Il..ham..
rela kalau Ilham ha..rus begini..” lirihku terbata-bata. Aku menarik
napas panjang untuk mengucapkan beberapa patah kata lagi.
“Il..ham..
rela. Jika dulu.. Mama.. melahirkan.. Ilham.. berarti..Mama berhak..
membunuh Il..ham. Iya..kan?” Aku berusaha tertawa kecil. Mama menatapku
pilu.
“Seb..benarnya.. Ilham.. ca..pe. Hidup begini..
tan..pa.. kasih sayang Ma..ma. Tapi.. Ilham.. gak.. mau.. ngeluh..
Il..ham gak ma..u balas.. dendam ke.. Ma..ma. Kare..na..hh.. Il..ham
tahu.. Surga.. di tela..pak.. ka..ki.. i..bu. sekarang.. Il..ham
pa..mit. Il..ham sa..yang Mama..” pamitku. Mama menangis.
“Ilham.. Ilham jangan tinggalin Mama, sayang. Maafkan Mama, nak. Mama..” ucapan Mama terhenti saat mendengar aku bernyanyi.
“Ka..sih
Ibu.. kepa..da beta. Tak terhing..ga sepan..jang ma..sa. Ha..nya
memberi.. Tak harap kemba..li.. Ba..gai sang Surya.. me..nyina..ri..
du......ni.......a...” mataku tertutup untuk selamanya. Mama menangis
histeris.
“Ilham!!! Jangan tinggalin Mama, sayang.. Hks.. Mama minta ma..af. Hks..”
Berakhirlah kisah ini. Ilham yang bahagia di Surga telah diberi kakinya
kembali oleh Tuhan. Mama Ilham yang kini dipenjara karena dituduh
membunuh Ilham dan Om Devan.
Mama, Ibu, Mami,
Bunda, Umi, Enyak, Mimi, Emak, apapun panggilannya, kita harus
menyayangi ibu kita. Meskipun Ibu kita mempunyai salah, kita harus
memaafkan beliau. Karena tak ada seorang Ibu yang membenci anaknya
sendiri.
TAMAT
=========================================================================
Karya = Alya Nur Aisyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Nggak Komentar, Nggak Kece :p